Pengertian Politik Islam

Politik dari bahasa Inggris, yakni politics berasal dari bahasa Yunani Politicos (menyangkut warga negara) polites (seorang warga negara) polis (kota, negara) politeia (kewargaan). Politik adalah strategi untuk mendapatkan kekuasaan, menjalankan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Ilmu politik berbeda dengan political action.


Aksi politik adalah reduksi atas ilmu politik, karena itu, aksi politik adalah tindakan yang diambil sebagai konsekuensi untuk menjalankan teori-teori politik. Political aktion is reduction political theory. Menurut Aristoteles merupakan bagian dari etika yang berurusan dengan manusia dalam kegiatan kelompok. Manusia adalah Mahluk Polis (Negara-Kota).[1]

Kamus besar Bahasa Indonesia, mengartikan kata politik sebagai segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan Negara atau terhadap Negara lain. Juga dalam arti kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau mengenai sesuatu masalah).[2]

Kata politik berasal dari bahasa Yunani politicios , yang berarti dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga Negara, adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam Negara. Pengertian ini merupakan penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.[3]

Kamus-kamus bahasa Arab juga memberikan berbagai macam arti untuk kata “siyasat” di antaranya ialah, melakukan sesuatu sesuai dengan kemaslahatan, pekerjaan “sais”, yang membina hewan-hewan, perbaikan mahluk dengan cara membimbing mereka menuju keselamatan dalam waktu dekat
dan untuk hari kemudian, kecakapan memerintah dan mengelola urusan dalam dan luar negeri.[4]

Sedangkan, pengertian Islam ada dua yang dapat digunakan untuk memahami pengertian Islam, yaitu kebahasaan dan sisi keistilahan. Kedua sisi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

Islam dari sisi kebahasaan berasal dari bahasa Arab, yaitu kata salama yang mengandung arti selamat, sentosa dan damai. Kata salama kemudian diubah menjadi aslama yang berarti berserah diri, masuk dalam kedamaian. Pengertian Islam yang demikian relevan dengan Qs: Al-Baqarah (2): 208:

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.


Dan relevan dengan Qs Al-Anfal (8): 61,

Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.


Berdasarkan dari sisi istilah Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Allah kepada masyarakat melalui Nabi Muhammad SAW. sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenal satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia. Islam adalah agama universal yang misinya adalah rahmat bagi semua penghuni alam sebagaimana firman-Nya dalam Qs Al-Anbiya (21): 107:

Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.


Universalitas Islam dipahami sebagai ajaran yang mencakup semua aspek kehidupan, meliputi prinsip ajaran yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesamanya dan lingkungan. Sejak khalifah dihancurkan dan sistem politik diterapkan di negeri kaum Muslimin, politik Islam tersingkir. Pada saat itulah masuk berbagai konsep pemikiran politik barat yang di tegaskan dalam ideologi kapitalisme, ideologi yang memisahkan agama dari kehidupan yang harus dipahami oleh umat Islam bahwa politik Islam tidak dapat diterapkan tanpa tegaknya daulah khilafah, bahwa memisahkan politik Islam dari kehidupan dan agama berarti menghancurkan Islam, sistem, dan hukumnya, serta memusnahkan umat, nilai-nilai, peradaban, dan risalahnya.[5]

Secara lughah, politik (siyasah) berasal dari kata sasa, yasusu, siyasatan yang berarti mengurus kepentingan seseorang. Berdasarkan menurut terminologi ulama, pengertian fiqh siyasah adalah sebagai berikut:
  1. Menurut Ahmad Fathi, fiqh siyasah adalah pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan ketentuan syara’ (Ahmad Fathi Bahantsi dalam al-siyasah al-jinaiyyah fi alsyari’at al-islamiyah).[6]
  2. Menurut Ibnu’Aqil, dikutip dari pendapat Ibnu Al-Qoyyim, fiqh siyasah adalah perbuatan yang membawa manusia lebih dekat pada kemaslahatan (kesejahteraan) dan menghindari mafsadah (keburukan), meskipun Rosul tidak menetapkannya dan wahyu tidak membimbingnya.[7]
  3. Menurut Abd. Wahab Al-Khallaf, siyasah syar’iyah adalah pengurusan hal-hal yang bersifat umum bagi negara Islam dengan cara menjamin perwujudan kemaslahatan dan menghindari kemandaratan (bahaya) dengan tidak melampaui batas dan pokok syariat yang bersifat umum, walaupun tidak sesuai dengan pendapat ulama-ulama Mujtahid. Maksud Abd. Wahab tentang masalah umum negara, antara lain pengaturan perundang-undangan negara, kebajikan dalam harta benda (kekayaan) dan keuangan, penetapan hukum, peradilan serta kebijakan pelaksanaannya, dan urusan dalam negari.[8]
  4. Menurut Abd. Al-Rahman Taj, siyasah syar’iyah adalah hukum-hukum yang mengatur kepentingan negara dan mengorganisasi urusan umat yang sejalan dengan jiwa syariat dan sesuai dengan dasar-dasarnya yang universal (kully).[9]

Gilles Kepel dalam bukunya Jihad: The Trail of Political Islam mendefinisikan Islam politik sebagai gejala sosial politik di berbagai belahan dunia yang berkaitan dengan aktivis sekelompok individu Muslim yang melakukan gerakan dengan landasan ideologi yang diyakini bersama (hastily assumed shared ideologi).[10] Dalam definisi ini, Islam politik dikonseptualisasikan terutama bukan sebagai gejala keagamaan, tetapi lebih merupakan fenomenasosial-politik yang melibatkan sekelompok individu.

Kalimat Zoon politicon, yang diintrodusir Aristoteles, seorang murid filosofis idealis tersohor Plato, yang ketika tahun 342 SM tinggal di istana Pella Macedonia menjadi guru dari putra raja Philippus yang sangat terkenal, Alexander Agung, sampai kini tidak ada seorang pun yang membantah. Manusia adalah makhluk sosial, yang hanya dapat berkembang dan meraih kebahagiaan, jika ia hidup dalam dan bersama masyarakat. Al-Farabi mengatakan bahwa,” sesuai kodratnya, manusia tidak dilengkapi kemampuan untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya tanpa bantuan orang lain. Jika seorang ingin mencapai kesempurnaan kodratnya, dia harus masuk menjadi anggota masyarakat (qaum) dan kerjasama dengan orang lain.[11]

Plato, filsuf Yunani yang banyak mengilhami praktik politik modern, lama abad sebelum masehi, telah membuat sebuah rumusan tentang keadilan (justice) dalam negara ideal (ideal state), yaitu negara yang menjungung tinggi keadilan dan mampu mensejahterakan rakyatnya.[12]

Salah satu ciri negara ideal menurut Plato adalah negara yang mampu melayani kebutuhan dasar manusia dalam rangka membangun kualitas kemanusiaan. Oleh karena itu, Plato mengklasifikasi pekerjaan menjadi tiga bidang, sebagai pengatur atau penguasa, tentara atau penjaga keamanan, dan para pekerja. Bagi Plato, semua manusia bersaudara. Namun, Tuhan telah mengatur sedemikian rupa sehingga ada orang yang cocok sebagai pengatur (pemerintahan atau abdi negara). Ada juga yang corok sebagai tentara dan sebagian pekerja (petani atau pedagang).[13]

Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang lemah, dengan kemampuan terbatas, sehingga untuk menjalani kehidupan dan memenuhi kebutuhannya manusia akan saling tergantung satu sama lain. Dengan jalan ini, Dia telah membuat semua manusia, secara hakiki, saling memerlukan dan cenderung berhubungan sesamanya. Dia telah meletakkan dasar kehidupan bersama dan bermasyarakat bukan sekedar hal biasa, dikehendaki ataupun terpaksa, tetapi juga alami.[14] Dengan kata lain, secara faktual tidak ada manusia mampu hidup sendiri dalam waktu lama tanpa bantuan orang lain. Ketidakmampuan manusia ini, menurut Ibnu Khaldun, paling tidak karena dua alasan: Pertama, ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok: kedua, ketidakmampuan pertahanan diri. Oleh karena itu, kebutuhan hidup bersama dan tolong menolong adalah kebutuhan pokok bagi manusia, apabila itu tidak dilakukannya, ia akan hancur.[15]

Kecenderungan manusia untuk saling kerjasama dalam suasana aman dan damai disatu sisi dan ketidakmampuan manusia disisi lain pada gilirannya melahirkan kehidupan berkelompok, yang kemudian lazim disebut hidup bermasyarakat, yakni sama-sama tinggal dan menjadi penghuni sebuah kota atau kampung untuk hidup bersama dan saling memenuhi kebutuhan, karena dalam watak manusia itu telah terdapat kebutuhan untuk bekerja sama untuk kehidupan.[16]

Masyarakat, yang dalam kajian ilmu politik dan ketatanegaraan didefinisikan sebagai ”any association of human being”[17] atau” sekelompok manusia yang hidup bersama dan bekerjasama untuk mencapainya keninginan-keinginan mereka bersama”, merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia sering dengan kebutuhan alami setiap manusia.

Sebagaimana, Plato dan Aristoteles, Farabi, berpendapat, di antara tiga macam masyarakat sempurna tersebut maka negarakota merupakan sistem atau pola politik yang terbaik dan terunggul. Beberapa pengamat sejarah ilmu politik Islam menganggap aneh pendapat Farabi itu, oleh karena pada waktu itu dia hidup pada zaman dikala Islam telah terbagi-bagi menjadi semacam negara-negara nasional, yang masing-masing terdiri dari banyak kota dan desa serta wilayah luas. Tetapi Farabi tidak seorang diri dalam hal ini. Aristoteles juga menganggap bahwa negara-kota merupakan kesatuan politik yang terbaik di Yunani meskipun waktu itu Yunani sudah menjadi daerah jajahan Macedonia, dan sistem negara-kota sudah tidak berfungsi lagi. Dalam waktu itu pendapat Farabi ini dapat dianggap sebagai bukti bahwa dalam idealisasi pola politik dia tidak menghiraukan kenyataan-kenyataan politik tempat dia hidup.

RUJUAKAN

[1] Lorens Bagus, “Kamus Filsafat”, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2000, Hal: 857
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hal. 687.
[3] Ahmad Rofiq,. Politik hukum Islam di Indonesia. Semarang: CV Karya Abadi Jaya. Hal:15
[4] Ibid, hal. 24
[5] Abdul Qodim Zulham, Pemikiran Politik Islam, Jawa Timur: Al-Izzah, 2001, hal. 1
[6] Ibid., hal. 2
[7] Abdul Qodim Zulham,. Op,cit. Hal 2
[8] Abdul Qodim Zulham,. Op,cit. Hal 2
[9] Abdul Qodim Zulham,. Op,cit. Hal 2
[10] Gilles Kepel, Jihad: The Trail of Political Islam (London: I.B. Tauris, 2002). Hal. 23.
[11] Dikutip dari Majid Khadduri, Perang dan Damai dalam Hukum Islam, Diterjemahkan oleh Kuswanto, Tarawang Press, Yogyakarta, 2002,hal. 4.
[12] Tamsil Linrung. Politik Untuk Kemanusiaan Mainstream Baru Gerakan Politik Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. 2014. Hal 20
[13] Ibid. Hal. 21
[14] Murtadha Muthahhari, Masyarakat dan Sejarah, Mizan, Bandung, 1992, hln. 19.
[15] A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara, Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, Gramedia, Jakarta, 1992, hlm. 74-75.
[16] Ibid., hlm. 77.
[17] C.F. Strong, Modern Political Constitution to the Comparative Study of Their History and Existing Form, Sidgwick&Jacson Limited, London 1996. Hlm. 4. Dilihat juga Ridwan HR.,H.,M.HUM. Fiqih Politik Gagasan Harapan dan Kenyataan. Yogyakarta: FH UII PRESS, 2007. Hlm. 3.