Kontraversi Jilbab

Ada banyak kontroversi mengenai jilbab dalam Islam, sementara sebagian orang mukmin menganggapnya sebagai perintah Allah melalui al-Qur’an. Sebagian lainnya, baik muslim maupun non muslim, khususnya orang Barat, menganggapnya sebagai praktik yang menggelikan dan tidak beradab.


Banyak Muslim juga mengatakan bahwa apapun justifikasi purdah (jilbab) di masa lalu, di era modern ini tidak mempunyai relevansi sama sekali. Muslim ortodoks, khususnya ulama, di sisi lain, menganggap jilbab bagi wanita itu benar-benar wajib dan memaksanya dengan semua kelakuan yang bisa mereka lakukan. Sehingga kita bisa lihat di negeri-negeri seperti Arab Saudi di mana hukuman berat bisa ditimpakan kepada wanita jika keluar rumah tanpa jilbab.


Di negeri itu perempuan tidak diperkenankan keluar rumah sendirian. Salah seorang kerabat dekat muhrim, yaitu orang yang tidak boleh dikawini harus menyertainya di tempat umum. Jika tidak diiringi oleh salah seorang muhrim dikhawatirkan akan digoda atau diganggu. Di Iran juga, perempuan diharuskan memakai chador, yaitu baju panjang dan longgar untuk menutupi kepala dan menutupi badan bagian atas, paling tidak selendang untuk menutupi kepala.


Di beberapa negara Arab berbagai macam jilbab digunakan oleh perempuan. Sebagiannya menyelubungi seluruh muka serta kepala, hanya kelihatan matanya. Sebagianya menutupi kepalanya serta hidung dan membiarkan beberapa bagian muka dan mata terbuka. Sebagian perempuan hanya membiarkan satu mata terbuka dan menutupi yang selainnya dengan jilbab (pakaian longgar yang umumnya digunakan oleh perempuan Arab tradisional). Namun demikian, tidak ada praktik yang seragam mengenai jilbab di negara-negara Arab. Misalnya, di negara-negara seperti Aljazair, Mesir, Tunisia, Maroko, Irak dan lain-lain, seseorang akan menemukan jilbab yang ketat di antara para perempuan dusun tradisional seiring dengan perempuan kota yang berpakaian modern.


Wanita di wilayah-wilayah perkotaan di negara-negara ini yang berjalan dengan gaya rambut yang berbeda-beda. Sedangkan di Pakistan, ditemukan perempuan yang terbaratkan berjalan dengan perempuan yang berpakaian burqo tradisional. Di India juga yang merupakan negeri sekuler, mengenakan jilbab tidak bisa dijadikan kewajiban. Pemakaian jilbab murni tindakan sukarela. di antara kasus-kasus tertentu, akan terdapat tekanan yang memaksa dari komunitas lokal.


Di negeri-negeri Islam seperti Asia Tenggara, gambaran sangatlah berbeda. Di negara-negara ini perempuan secara tradisional telah memainkan suatu peran ekonomi yang penting. Hampir tidak ada rumaah tangga muslim di mana perempuan tidak mencari nafkah. Sehingga, dari permulaan mereka terbiasa terjun dalam dunia publik. Secara tradisional tidak ada sama sekali jilbab yang syar’i di antara mereka. Hanya setelah Revolusi Iran sebagian perempuan mulai mengenakan chador.

Dengan demikian di Indonesia dan Malaysia, hampir tidak di temukan bentuk burqo atau hijab yang seseorang temui di negara atau masyarakat Muslim lainnya. Hanya sedikit wanita saat ini bisa dilihat mengenakan chador di wilayah-wilayah perkotaan. Dengan demikian, akan terlihat bahwa berjilbab lebih bersifat sosio kultural daripada murni praktik keagamaan.

Namun, argumen keagamaan mengenai jilbab tetap berjalan dengan penuh semangat. Muslim tradisional selalu berargumen bahwa mengenakan kerudung adalah perintah al-Qur’an dan perempuan yang tidak mematuhi perintah berjilbab dianggap bersalah melakukan pelanggaran serius terhadap hukum Islam.


Jilbab menurut pandangan kontemporer perlu kita ketahui bahwa di Mesir cadar dipakai oleh kalangan wanita-wanita maju dan kaya serta menengah hingga sekitar awal abad XX. Benih perubahan baru terjadi setelah sekian banyak cendikiawan Mesir yang berkunjung dan belajar di Eropa, khususnya Prancis. Lalu mereka kembali membawa angin perubahan serta pandangan-pandangan baru yang selama ini belum dikenal oleh negeri-negeri Islam, termasuk Mesir. Memang sebelumnya sudah ada sementara wanita yang menanggalkan pakaian tertutup akibat pergaulan mereka dengan wanitawanita Barat. Khususnya Prancis yang datang ke Mesir.


Dalam penafsiran al-Qur’an dan Hadits tentang pemakaian jilbab pendapat Ulama’ dan cendikiawan berbeda, dalam konteks ini perlu dicactat bahwa pada garis besarnya para cendikiawan dibagi dalam dua kelompokkelompok pertama, mengemukakan pendapatnya tanpa dalil keagamaan atau kalaupun ada, maka itu sangat lemah lagi tidak sejalan dengan kaidah-kaidah dan disiplin ilmu agama. Hal semacam itu tentu tidak dapat diterima. Kelompok kedua, merujuk kepada kaidah-kaidah keagamaan yang juga diakui oleh para Ulama, hanya saja dalam penerapannya antara lain dalam konteks pakaian/aurat, tidak mendapat dukungan Ulama terdahulu, dan sebagian ulama kontemporer.


Mahmud Syahrur merupakan salah seorang cendikiawan yang berusaha menampilkan pendapat baru. Tetapi, karena kelemahan dalam disiplin ilmu agama maka apa yang dikemukakan sungguh sangat sulit diterima. Dalam konteks pemakaian jilbab, Syahrur menjelaskan bahwa pakaian tertutup yang kini dinamai hijab (jilbab) bukanlah kewajiban agama tetapi ia adalah satu bentuk pakaian yang dituntut oleh kehidupan bermasyarakat dan lingkungan serta dapat berubah dengan perubahan masyarakat.


Di sisi lain pendapat Syaikh Ali as-Sais yang mensyaratkan kebiasaan yang dimaksud adalah kebiasaan orang pada masa turunnya al-Qur’an, syarat ini sangat sulit dipahami dalam konteks pendapat Abu Yusuf yang membolehkan membuka setengah tangan, karena tidak ada riwayat yang menunjukkan bahwa pada masa turunya al-Qur’an wanita-wanita muslimah terbiasa menampakkan setengah tangan mereka, dan karena itu membuka setengah tangan mereka, sebagaimana pendapat Abu Yusuf bukanlah kebiasaan pada masa turunya al-Qur’an dari sini kita ketahui bahwa pendapat beliau adalah nalar.


Syaikh Muhammad Su’ud Jalal salah seorang ulama al-Azhar berpendapat bahwa yang menjadi dasar dalam menetapkan apa yang boleh ditampakkan dari wanita adalah apa yang berlaku dalam adat kebiasaan masyarakat. Dalam masyarakat yang tidak membolehkan penampakan lebih dari wajah dan kedua telapak tangan, maka itulah yang berlaku buat mereka. Sedangkan dalam masyarakat yang membolehkan membuka setengah dari betis atau tangan dan mereka menilai hal tersebut tidak mengandung fitnah atau rangsangan, maka bagian-bagian badan itu termasuk dari hiasan lahiriah yang dapat dibuka dan ditampakkan. Seperti wanita yang bekerja di kebun yang terpaksa menyingsingkan bajunya atau mengangkat pakaianya sampai kebetis.


Psikolog Indonesia Sarlito Wirawan mengemukakan bahwa meninjau aurat dari sudut psikologi dan kepribadian bangsa, antara lain, ada dua pihak yang terkena dampak dari aurat yang terbuka yang bersangkutan sendiri dan yang melihatya. Bagi yang bersangkutan menimbulkan rasa malu, sedangkan untuk yang menyaksikan, bisa timbul perasaan seperti terangsang, bangkit syahwatnya perasaan-perasaan yang timbul ini subjektif sifatnya, tergantung pada kondisi orang-orang yang bersangkutan dan sistem nilai yang dianut.


Jadi, jilbab adalah sejenis pakaian yang di pakai oleh wanita untuk menutupi auratnya terutama kepala sampai kedada yang bentuk kainnya tebal tidak tipis dan tidak mencolok dan menimbulkan maksiat apa bila dipandang oleh lawan jenis. Sedangkan tujuan memakai jilbab menurut syari’at adalah semata-mata bentuk ketaatan seorang wanita kepada Allah dan Rasul-Nya dan sebagai bukti keimanan seseorang.