Konsep Kepemimpinan dalam Sejarah Pemerintahan Kerajaan Aceh

Di Aceh kata wali memiliki arti tersendiri baik dalam bidang politik maupun arti pada bidang agama. Secara agama,istilah wali sama maknanya dengan pengertian wali yang dibahas sebelumnya, yaitu wali sebagai gelar yang diberikan kepada tokoh pemuka agama yang sudah sangat tinggi tingkat keimanannya yang dikenal dengan sebutan Auliya. Selanjutnya wali sebagai bagian dari keluarga, kepala keluarga maupun wali dalam pernikahan.Ada pula wali sebagai pemimpin dalah hal sistem pemerintahan.Wali nanggroe (negara) adalah jabatan politik, penguasa tertinggi dalam suatu negara (kepala pemerintahan), setara dengan khalifah, sultan, ulil amri, raja ataupun kaisar.[1]

Dimulai dari raja-raja Islam Aceh kerajaan Perlak hingga Aceh Darussalam dalam pemerintahannya telah menempatkan Islam sebagai dasar negara. Ulama mendapat tempat yang istimewa dalam pemerintahan kerajaan Aceh kala itu. Oleh sebab itu tak heran banyak ulama dari dalam maupun luar Aceh yang pernah menyumbangkan tenaga dan pikirannya bagi kemajuan Kerajaan Aceh Darussalam.

Bentuk pemerintahan kerajaan Aceh banyak mengikuti kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah. Pemakaiaan kata sultan untuk panggilan kepada raja yang berasal dari kata kerja salata yang artinya memimpin atau menguasai, yang awalnya dipakai oleh penguasa Muslim sejak abad ke 11 M.[2] Sistem kesultanan lahir dari asimilasi antara norma Islam dengan tradisi politik kerajaan setempat yang berkembang sejak kesultanan Ottoman, yang kemudian menjadi model sistem politik kerajaan Islam di kawasan Asia Tenggara.[3] Selain sultan ada pula sebutan wali raja yaitu beberapa petinggi kerajaan yang memangku jabatan sultan belum baligh.

Anthony Reid dalam bukunya yang berjudul Asal Mula Konflik Aceh menyebutkan Wali Raja yaitu jabatan sebagai pemangku raja atau mangkubumi:

Dipihak lain Abd Rahman tidak pernah berbaikan kembali dengan Tuanku Hasyim yang khawatir pada ambisi Abd Rahman untuk menggantikannya sebagai wali raja.”[4]

Dalam buku Aceh Sepanjang Abad karya H.Muhammad Said juga disinggung mengenai wali yang artinya juga sebagai pemangku raja atau mangkubumi:

Para petinggi kerajaan memilih Tuanku Muhammad Daud Syah yang berusia 9 tahun, cucu almarhum Sultan Mansyur Syah, telah dipilih menjadi sultan dengan dipangku oleh 4 orang wali.”[5]

H.M Zainuddin dalam bukunya Tarich Aceh dan Nusantara beberapa kali menyebut istilah wali, yang artinya jabatan yang diberikan untuk memimpin daerah taklukkan:

Pada permulaan abad XVI kira-kira tahun 1509 M, orang Portugis datang ketanah Aceh dan Raja Ali Mughayat Syah serta adiknya Raja Ibrahim yang pada waktu menjadi wali negara Pidie.”[6]

Namun istilah wali yang disebutkan oleh H.M Zainuddin tidak ditemukan dalam sumber lainnya, sehingga pendapat ini dinilai kurang bisa dijadikan acuan untuk melihat asal mula penggunaan istilah wali.

Terdapat beberapa pengertian wali yang digunakan dalam sistem pemerintahan di Aceh, baik itu masa kerajaan maupun setelah kerajaan tidak ada lagi. Istilah wali yang pernah digunakan adalah wali raja, wali negara, dan wali nanggroe. Wali raja yaitu jabatan yang mengurusi jalannya pemerintahan dalam hal ini ia sebagai pembantu sultan dikarenakan keadaan sultan yang tidak memungkinkan namun biasanya keadaan sultan yang belum baligh. Setelah sultan baligh dan dianggap mampu, wali raja langsung menyerahkan pemerintahan ketangan raja. Wali raja menjalankan tugasnya sebagai tangan kanan sultan juga dibantu oleh para petinggi kerajaan lainnya untuk memutuskan berbagai perkara dalam pemerintahan.

Wali raja pernah diberlakukan ketika sultan Firman Syah dinobatkan pada usia 1 tahun, kepemimpinan dibantu oleh orang besar dari kerajaan setelah dewasa baru memegang kekuasaan sendiri. Selanjutnya pada tahun 1575-1576 M sultan Muda ibnu sultan Ali Riayat Syah, hanya namanya saja sultan yang memerintah juga para wali raja yaitu orang-orang besar dan para alim ulama.[7] Lalu pada tahun 1802-1830 M sultan Ala Addin Jauhar Alam Syah ia diangkat pada usia yang masih kanak-kanak, pemerintahannya dipangku oleh sang paman yang bernama Tuanku Cut Zainal Abidin.[8]

Wali raja juga pernah terjadi pada saat sultan Mahmud Syah mangkat, ia digantikan oleh putranya yang masih belia sultan Ali Iskandar Syah. Pelaku pemerintahan sehari-hari dipegang oleh wali raja, yaitu Tuanku Ibrahim yang didampingi oleh Tuanku Raja Muda dan Tuanku Abbas. Selanjutnya wali raja berulang kembali pada saat sultan Muhammad Daud Syah naik tahta pada usianya yang juga masih belia. Pemerintahan dibantu oleh Tuanku Hasyim, dan para Panglima Sagi.[9]

Tuanku Hasyim sebelumnya pernah dipercayai menjadi wakil kerajaan Aceh Darussalam di beberapa daerah. Ia memegang peranan yang penting baik pada saat ia menjabat sebagai wali raja maupun sesudah raja mengambil alih kekuasaan. Ia merupakan keluarga sultan Alaiddin Ibrahim Mansyur Syah, yang lahir pada tahun 1840.[10] Tuanku Hasyim dinilai sebagai panglima yang ulung penuh semangat dan sangat baik dalam hal memimpin pasukan. Belanda juga sangat segan terhadap Tuanku Hasyim, mereka berusaha merangkul Tuanku Hasyim agar dapat memadamkan perang yang terus berkecamuk. Namun hal itu tidak sedikitpun mampu membuat Tuanku Hasyim tergoda akan bujuk rayu bangsa Belanda.[11]

Selanjutnya muncul gelar wali negara ketika Muhammad Daud Beureu-eh mendirikan Negara Republik Islam Aceh. Muhammad Daud Beureu-eh mendidik umat untuk memerangi penjajahan Belanda dan menghancurkan kezaliman di bumi Aceh. Pada tanggal 5 Mei 1939 bersama dengan ulama pembaharu lainnya mendirikan PUSA yaitu Persatuan Ulama Seluruh Aceh di Kompleks Pendidikan Al-Muslim Matang Glumpang Dua. Dalam Organisasi tersebut ia terpilih sebagai ketua satu.

Wali negara lalu digunakan kembali oleh Hasan di Tiro ketika menjadi pemimpin Gerakan Aceh Merdeka, ia mengubahnya menjadi wali nanggroe. Dari gambaran tersebut, sebutan wali dalam sistem pemerintahan di Aceh dapat dikatakan sudah digunakan sejak masa kerajaan Walaupun terdapat perbedaan makna dan tujuan tergantung pada tokoh yang menggunakannya. Istilah wali yang pernah ada yaitu wali negara atau wali nanggroe. Konsep wali dalam sistem pemerintahan Aceh pada masa kerajaan maupun setelah runtuhnya kerajaan Aceh Darussalam adalah jabatan sebagai pemimpin, berbeda dengan wali nanggroe yang ada pada saat ini yaitu berfungsi sebagai pemersatu adat.[12]

Rujukan

[1] Baihaqi, “Kedudukan Wali Nanggroe di Aceh”, Jurnal Ilmiah Peuradeun, Volume 11Nomor 01, Januari 2014, hlm. 10.
[2] Hasanuddin Yusuf Adan, Elemen-elemen Politik Islam, (Yogyakarta: Ak Group dan Ar-Raniry Press, 2006), hlm. 39.
[3] Otto Syamsuddin Ishak, Aceh Pasca Konflik Kontestasi 3 Varian Nasionalisme, (Banda Aceh: Bandar Publishing,2013),hlm.199.
[4] Anthony Reid, Asal Mula Konflik Aceh, terj Masri Maris, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2005),hlm. 198.
[5] H. Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad Jilid II, (Medan: Harian Waspada Medan, 2007),hlm.48.
[6] H.M Zainuddin, Tarikh Aceh dan Nusantara, cet 2 (Banda Aceh: LKPSM Aceh: 2012), hlm. 339.
[7] H.M Zainuddin, Tarikh Aceh dan Nusantara, (Banda Aceh: LSKPM, 2012), hlm.530.
[8] Ibid., hlm. 539.
[9] Otto Syamsuddin Ishak, Aceh Pasca Konflik Kontestasi 3 Varian Nasionalisme, (Banda Aceh: Bandar Publishing,2013), hlm 195.
[10] Hardi, Daerah Istimewa Aceh Latar Belakang Politik dan Masa Depannya, (Jakarta: PT Cita Panca Serangkai,1993), hlm 37.
[11] Muchtaruddin Ibbrahim, Riwayat Hidup dan Perjuangan Tuanku Hasyim Bangta Muda Panglima Tertinggi Angkatan Perang Aceh, (Jakarta: Departemen P dan K, 1977), hlm. 47.
[12] Keurukon Katibul Wali, Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe, hlm.5