Aliran Hukum Alam

Aliran hukum alam, bisa dibilang sebagai sebuah paradigma yang paling tua sekaligus serta paling besar pengaruhnya bagi perkembangan ilmu hukum sampai hari ini. Teori-teori hukum yang dikembangkan setelah periode hukum alam, sesungguhnya merupakan perkembangan atau penyempurnaan saja dari paradigma hukum alam. Dalam teori hukum alam, hukum sebagai nilai yang universal dan selalu hidup di sanubari orang, masyarakat maupun negara. Hal ini disebabkan karena hukum niscaya harus tunduk pada batasan-batasan moral yang menjadi guideline bagi hukum itu sendiri.

Aliran Hukum Alam


Bahkan disebutkaan bahwa di atas sistem hukum positif negara, ada sebuah sistem hukum yang lebih tinggi (lex divina), bersifat ketuhanan yang berdasarkan atas akal budi hukum alam itu sendiri, jadi hukum alam lebih superior dari hukum negara. Hal ini terjadi karena adanya keabsahan dari norma-norma yang bukan makna dari tindakan-tindakan kemauan manusia. Karena itu nilai-nilai yang mereka bentuk adalah sama sekali tidak sewenang-wenang (arbitrariy), subjektif atau relatif.

Hukum alam tampil sebagai suatu hukum dari akal budi (reason) manusia dan menyalurkan hasrat penyelidikan tentang tindakan kemauan dari seseorng yang menampilkan diri (bertindak) sebagai legislator moral atau hukum.

Kekuatan utama dari paradigma ini tidak hanya bertumpu pada nilai moralitas semata, namun juga berorientasi pada pencapaaian nilai-nilai keadilan bagi masyarakat. Para pemikir hukum paradigma hukum alam, berkeyakinan bahwa keadilan merupakan sebuh esensial (essential value) dari hukum, bahkan sering diidentikkan sebagai sebuah nilai yang tunggal dan menyatu. Hukum memiliki banyak tujuan dalam dirinya, karena hukum tidak hanya berfungsi sebgai sebuah alat untuk menegakkan keadilan (as a tool), namun juga berfungsi sebagai “cermin” rasa keadilan dan kedaulatan rakyat suatu negara.

Pada abad ke-8 sebelum Masehi, aliran hukum alam dalam pemikiran di zaman Romawi dimunculkan oleh pemikir-pemikir yang dipengaruhi oleh pikiran-pikiran yang berkembang di Yunani, terutama oleh pikiran Socrates, Plato, dan Aristoteles. Salah satu tokoh Romawi yang banyak mengemukakan pemikirannya tentang hukum alam adalah Cicero, seorang yuris dan seorang negarawan. Cicero mengajarkan konsep tentang a true law (hukum yang benar) yang disesuaikannya dengan right reason (penalaran yang benar), serta sesuai dengan alam, dan yang menyebar diantara kemanusiaan dan sifat immutable danenternal.

Hukum apapun harus bersumber dari true law itu. Pada kesempatan lain Cicero mengatakan bahwa, kita lahir untuk keadilan. Dan hukum tidaklah didasarkan pada opini, tetapi pada man’s very nature. Selain Cicero sebagai salah seorang tokoh pemikir zaman Romawi tersebut, maka salah satu pemikir terkenal adalah Gaius. Gaius membedakan antara ius civile dan ius gentium. Ius Civile adalah hukum yang bersifat khusus pada suatu negara tertentu, sedangkan ius gentium adalah hukum yang berlaku universal yang bersumber pada akal pemikiran manusia.

Kedua zaman itu, Yunani dan Romawi mempunyai perbedaan yang konkret mengenai pandangan terhadap hukum. Menurut pendapat Achmad Ali, pemikiran Yunani tentang hukum lebih bersifat teoritis dan filosofis, sedangkan pemikiran Romawi lebih menitikberatkan pada hal-hal yang praktis dan berkaitan dengan hukum positif.

Perkembangan hukum alam mengalami kemunduran disekitar abad ke-16 dan muncul kembali pada abad ke-19, oleh seorang bangsa Jerman yang bernama Rudolf Stammler. Stammler memberikan pokok-pokok pikirannya mengenai hukum alam sebagai berikut:
  1. Semua hukum positif merupakan usaha menuju pada hukum yang adil;
  2. Hukum alam berusaha membuat suatu metode rasional yang dapat digunakan untuk menentukan kebenaran yang relatif dari hukum dalam setiap situasi.
  3. Metode itu diharapkan menjadi pemandu jika hukum itu gagal dalam ujian dan membawanya lebih dekat pada tujuannya.

Pada prinsipnya hukum alam bukanlah sesuatu aturan jenis hukum, melainkan merupakan kumpulan ide atau gagasan yang keluar dari pendapat para ahli hukum, kemudian diberikan sebuah lebel yang bernama hukum alam. Hal ini sejalan dengan pandangan Satjipto Rahardjo yang mengatakan bahwa istilah hukum alam ini didatangkan dalam berbagai artinya oleh berbagai kalangan dan pada masa yang berbeda-beda pula. Dengan demikian, hakikat hukum alam merupakan hukum yaang berlaku universal dan abadi. Sebab menurut Friedman, sejarah hukum alam adalah absolute justice (keadilan yang mutlak) di samping kegagalan manusia dalam mencari keadilan. Pengertian hukum alam berubah-ubah sesuai dengan perubahan pola pikir masyarakat dan keadan politik di zaman itu.

Pendapat Friedmann di atas, sejalan dengan pendapat Dias yang mengatakan bahwa, hukum alam itu adalah :
  1. Ideal-ideal yang menurut perkembangan hukum dan pelaksanaannya;
  2. Dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga jangan sampai terjadi suatu pemisahan secara total antara yang ada sekarang dan yang seharusnya;
  3. Metode untuk menemukan hukum yang sempurna;
  4. Isi dari hukum yang sempurna, yang dapat didiskusikan melalui akal;
  5. Kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum dalam masyarakat.

Selain Friedmann dan Dias yang merupakan penggagas aliran hukum alam, juga ada Thomas Aquinas, seorang filsuf yang terkenal melalui bukunya Summa Theologica dan De Regimen Principum. Pemikiran yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas mengenai hukum alam banyak mempengaruhi gereja bahkan menjadi dasar pemikiran gereja hingga saat ini.

Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam empat golongan, yaitu:
  1. Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengtaur segala hal dan bersumber dari segala hukum. Rasio ini yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra manusia.
  2. Lex Divina, bagian dari Rasio Tuhan yang ditangkap oleh manusia berdasarkan waktu yang diterimanya.
  3. Lex Naturalis, inilah yang merupakan hukum alam, yaitu penjelmaan dari lex aeterna di dalam rasio manusia.
  4. Lex Positivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia berhubungan dengan syarat khusus yang dipengaruhi oleh keadaan dunia.