Prinsip Hukum Islam (2): Meniadakan kepicikan dan Tidak Memberatkan

Meniadakan kepicikan dan Tidak Memberatkan – Tabiat manusia tidak menyukai beban yang membatasi kemerdekaannya dan manusia senantiasa memperhatikan beban hukum dengan sangat hati-hati. Manusia tidak akan tertarik dengan sesuatu perintah ataupun larangan (peraturan) kecuali peraturan itu tidak memberatkan baginya, dan hal itu merupakan fitrah manusia. Berbeda dengan agama lainnya, Islam menghadapkan pembicaraannya kepada akal, itulah sebabnya akal perlu dipelihara. Dan agama Islam itu memang untuk orang yang mempunyai akal. Oleh karena itu syariat Islam menyesuaikan peraturannya dengan fitrah akal manusia, yaitu rasional dan memudahkan serta tidak menyulitkan untuk dilaksanakan.

Hal ini terlihat dari sabda Rasul SAW:

لاضرر ولاضرار

Tidak boleh memudaratkan orang dan tidak boleh dimudaratkan orang”. (HR. al-Thabrani)

الدين يسر

Agama itu mudah”. (HR. Bukhari dan al-Nasa`i).

يسروا ولاتعسروا

Mudahkanlah dan jangan kamu menyukarkan”.

Di dalam al-Qur`an juga ditemukan ayat yang secara lugas menyatakan bahwa beban kewajiban bagi manusia tidak pernah bersifat memberatkan, di antaranya adalah sebagai berikut:

Allah tidak memberati manusia kecuali sekedar kemampuannya”. (QS. Al-Baqarah: 286)

Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan” (QS. Al-Baqarah: 185).

Allah tidak menghendaki menjadikan sesuatu kesempitan bagimu”. (QS. Al-Maidah: 6)

Praktek kemudahan yang diberikan Islam bisa kita temui dalam berbagai kasus yang telah dijelaskan oleh al-Qur`an, seperti pemberian rukhsah bagi orang yang kesulitan ketika bulan Ramadhan. Bagi orang yang sakit dan dalam perjalanan diberikan keringanan untuk meninggalkan puasa dengan syarat diqadha` kembali setelah Ramadhan berlalu. Demikian juga keringanan yang diberikan Nabi SAW kepada seorang Arab Badwi yang telah menggauli istrinya pada siang hari bulan Ramadhan.

Pada awalnya dia harus memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan 60 orang miskin. Akan tetapi melihat kondisinya yang miskin dan sering berpuasa (karena kemiskinan-nya), Nabi SAW memberikan kurma kepadanya untuk dimakannya bersama-sama keluarganya (al-Naisaburi [tth]:450). Hal ini menunjukkan bahwa Islam itu tidak pernah memberikan kesulitan kepada pemeluknya.

Di lain pihak, kita juga mengenal adanya istilah dharurah, yaitu jika terganggunya hal-hal yang berkenaan dengan dharuriyah al-khamsah. Dalam kondisi dharurah itu, maka sesuatu yang pada awalnya dilarang menjadi dibolehkan. Sesuai dengan kaedah:

الضرورة تبيح المحظورات

Hal-hal yang bersifat dharurah membolehkan sesuatu [yang pada awalnya] terlarang”.

Kadang-kadang hal-hal yang pada awalnya hanya bersifat hajiyah, pada suatu saat juga bisa menempati tempat dharurah, sebagaimana kaedah mengatakan:

الحاجة تنزل منزلة الضرورة

Posisi hajiyah dapat menempati tempat dharurah”.

Sebagai contoh sederhana dapat dikemukakan di sini tentang jual beli pesanan yang secara jelas bertentangan dengan ketentuan jual beli. Dalam jual beli, benda yang dijual sudah harus ada terlebih dahulu baru kemudian diadakan akad. Artinya terlarang melakukan transaksi jual beli tanpa ada barang terlebih dahulu. Tapi karena sesuatu hal yang menyulitkan, maka jual beli ini dibolehkan. Begitu juga dengan pemakaian sandal di mesjid untuk berwudhuk. Pada asalnya memakai sandal orang lain itu terlarang tanpa ada izin dari orang yang mempunyainya. Tapi karena prosedur izin itu kadang menyulitkan, maka memakai sandal itu jadi dibolehkan.

Begitulah syariat Islam yang begitu memberi kemudahan. Dengan adanya kemudahan ini diharapkan umat Islam tidak beralasan lagi untuk tidak melaksanakan ketentuan-ketantuan yang digariskan dalam agamanya.