Hukum Untuk Siapa?

Dimulai dengan sebuah pertanyaan sederhana, “hukum itu untuk siapa?”, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan pertanyaan “hukum untuk manusia atau manusia untuk hukum?”. Gampang-gampang susah untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu melihat sisi filsafati dari hukum itu sendiri yang dapat saja berbenturan dengan sisi empiris dari hukum tersebut. disinilah filsafat hukum memainkan peran pentingnya untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita tengok ide yang disampaikan oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, yang dalam bukunya berjudul “Hukum Progresif;Sebuah Sintesa Hukum Indonesia” menuliskan bahwa “hukum adalah untuk manusia”, bukan sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Maka setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki serta bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan dalam skema hukum.[1]



Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang merupakan penentu. Memang menghadapkan manusia kepada hukum mendorong kita melakukan pilihan-pilihan yang rumit. Tetapi pada hakekatnya teori-teori hukum yang ada berakar pada kedua faktor tersebut. semakin landasan suatu teori bergeser ke faktor hukum, semakin suatu teori menganggap hukum sebagai sesuatu yang mutlak-otonom dan final. Semakin bergeser ke manusia, semakin teori tersebut ingin memberikan ruang kepada faktor manusia.[2]
Oleh karena itu, Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, terutama terinspirasi oleh kondisi hukum di Indonesia, mengajukan sebuah gagasan baru yaitu hukum progresif, dalam pandangan hukuim progresif, hukum bukanlah institusi yang mutlak serta final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Dalam konteks pemikiran tersebut, hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaannya dapat diverifikasikan ke dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian terhadap rakyat dan lain-lain. Inilah hakekat “hukum yang selalu dalam proses menjadi” (law as a process, law in the making).

Hukum tidak ada untuk hukum itu sendiri, tetapi untuk manusia.[3] Hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya dan semangat menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia sebagai tujuan utama dari hukum”.[4]

Dilanjutkan bahwa dalam menghadapi kondisi transisional dimana persoalan saling berhimpitan, serba darurat, dan penuh komplikasi, maka aparat penegak hukum dituntut melakukan langkah-langkah terobosan dalam menjalankan hukum, tidak sekedar menerapkan peraturan secara hitam putih. Ini penting dilakukan karena banyak peraturan yang sudah ketinggalan zaman, terhampar begitu banyak kenyataan dan persoalan kekinian yang secara redaksional sulit ditemukan dalam teks-teks aturan yang ada. Jika pun ada aturannya, banyak yang tidak mutu karena saling kontradiktif dan tumpang tindih disanasini.

Karena itu, kehadiran pelaku hukum yang arif, visioner, dan kreatif mutlak perlu untuk “memandu” pemaknaan yang kreatif terhadap aturan-aturan yang demikian itu. Aparat penegakan hukum, entah polisi, jaksa, maupun hakim dituntut mencari dan menemukan keadilan-kebenaran dalam batas dan di tengah keterbatasan kaidah-kaidah hukum yang ada. Inilah inti terobosan dalam hukum progresif.[5]

Masih untuk menjawab pertanyaan “hukum untuk siapa?”, setelah melihat gagasan dari Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, coba kita beralih ke teori yang lebih klasik, setidaknya dari waktu teori ini dimunculkan, teori ini dilontarkan oleh Mochtar Kusumaatmadja yang berkeyakinan bahwa hukum merupakan salah satu “alat pembaharuan masyarakat”. Berikut kalimat yang tertuang dalam bukunya yang berjudul “Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional”:[6]

“Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perobahan itu terjadi dengan cara yang teratur. Ada anggapan yang boleh dikatakan hampir merupakan keyakinan bahwa perobahan yang teratur demikian dapat dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi dari kedua-duanya. Perobahan yang teratur melalui prosedur hukum, baik ia berwujud perundangundangan atau keputusan badan-badan peradilan lebih baik daripada perobahan yang tak teratur dengan menggunakan kekerasan sematamata. Karena baik perobahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan tujuan kembar daripada masyarakat yang sedang membangun maka hukum menjadi suatu alat yang tak dapat diabaikan dalam proses pembangunan”.

Dari pernyataan di atas, sekail lagi ditegaskan bahwa Mochtar Kusumaatmadja berkeyakinan bahwa hukum merupakan salah satu “alat pembaharuan masyarakat”. Dalam sebuah literatur lain disebutkan bahwa bagi Mochtar Kusumaatmadja, bahwa hukum itu harus peka terhadap perkembangan masyarakat dan bahwa hukum itu harus disesuaikan atau menyesuaikan diri dengan keadaan yang telah berubah.[7]

Sekali lagi kita dapat mengambil “benang merah” dari teori Mochtar Kusumaatmadja di atas bahwa memang “hukum untuk manusia”. Masih kurang yakin lagi?. Coba kita melanglang memperhatikan teori-teori yang dikemukakan oleh pakar-pakar hukum yang berasal dari luar Indonesia.

Sebutlah Nonet dan Selznick yang terkenal dengan tipe hukum responsifnya, pendek kata, bagi tatanan hukum responsif, hukum merupakan institusi sosial, oleh karena itu, hukum dilihat lebih dari sekedar suatu sistem peraturan berlaku, melainkan juga bagaimana hukum menjalankan fungsi-fungsi sosial dalam dan untuk masyarakatnya.[8] Baca keseluruhan kalimat tersebut dan cermati bagian akhirnya.

Menarik juga untuk dicermati teori yang dikemukakan oleh Roscoe Pound tentang law as a tool of social engineering yang menyebutkan bahwa yang harus digarap oleh hukum adalah menata kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat. Kepentingankepentingan tersebut harus ditata sedemikian rupa agar tercapai keseimbangan yang proporsional. Manfaatnya adalah, terbangunnya suatu struktur masyarakat sedemikian rupa hingga secara maksimum mencapai kepuasan akan kebutuhan dengan seminimimum mungkin menghindari benturan dan dan pemborosan. Hukum tidaklah menciptakan kepuasan, tetapi hanya memberi legitimasi atas kepentingan manusia untuk mencapai kepuasan tersebut dalam keseimbangan.[9]

Lihat juga pemahaman terhadap hukum oleh mahzab utilitarianisme dengan Jeremy Bentham sebagai tokohnya. Bentham believed in the philosophy of utilitarianism. He defined it as the principles of the greatest happiness of the greatest number of people. To him the springs of human actions were pleasure and pain. Man by nature follows pleasure and discards pains.[10]

Bentham mengatakan bahwa hukum harus berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia. Tapi bagaimana agar hukum benar-benar fungsional menyokong kebahagiaan itu? Menciptakan kebebasan maksimum bagi individu agar dapat mengejar apa yang baik baginya. Cara yang paling efektif untuk itu adalah memelihara keamanan individu. Hanya dengan kebebasan dan keamanan yang cukup terjamin, si individu dapat maksimal meraih kebahagiaan. Hak-hak individu harus dilindungi dalam kerangka memenuhi kebutuhankebutuhannya.

Selain itu, untuk menghindari pengejaran kebebasan yang tak terkekang, Bentham mengintroduksi konsep “tahu diri”. Dari sinilah Bentham menghubungkan hak-hak individu (yang tahu diri) dengan kebutuhan-kebutuhan orang lain. Ini memungkinkan terwujudnya kebahagiaan maksimum bagi orang-orang lain, sekaligus (secara tidak langsung) kebahagiaan bagi si individu secara pribadi. Dengan “tahu diri”, tiap-tiap orang saling toleran akan inisiatif dan kebebasan masing-masing dalam meraih kebahagiaan.

Masing-masing individu tahu mana titik toleransi yang harus dipertahankan dalam meraih kebahagiaan serta menghindari kesusahan. Titik dimaksud, adalah ini: ketika tiap orang menjaga dirinya sendiri, ketika tiap orang tahu hak dan kewajibannya sebagai sesama individu-individu yang butuh kebahagiaan, dan ketika tiap orang sadar bahwa tidak seorang individu yang mau menderita, maka kepentingan umum pun (yang tidak lain adalah individu-individu dalam masyarakat) juga akan terjamin. Oleh karena itu, hukum harus mampu menyokong penghidupan materi yang cukup pada tiap individu, mendorong persamaan, memelihara keamanan, dan meraih hak milik.[11]

Walaupun teori Bentham tersebut mendapat kritik dari J.S Mill dan juga oleh John Rawls, tetap saja inti dari teorinya bahwa “hukum harus mengusahakan kebahagiaan maksimum bagi tiap-tiap orang” mampu menginspirasi beberapa pemikir-pemikir hukum selanjutnya untuk menyempurnakan dan mengembangkan teori Bentham tersebut.
Selanjutnya, jika kita membaca buku-buku Pengantar Hukum Indonesia kita akan menemukan beberapa teori tentang tujuan hukum seperti tersebut di bawah ini:
  1. Betapa pun, tujuan hukum adalah untuk menciptakan damai sejahtera dalam hidup bermasyarakat. Oleh karena itulah perlu dirujuk pandangan Ulpianus yang menyatakan: iuris praecepta sunt haec: honeste vivere, alterum non-ladere, suum cuique tribuere yang kalau diterjemahkan secara bebas artinya “perintah hukum adalah: hidup jujur, tidak merugikan sesama manusia, dan setiap orang mendapatkan bagiannya.[12]
  2. Dalam perbincangan mengenai tujuan hukum ini, perlu juga dikemukakan pendapat Bellefroid yang menyatakan “het recht beoogt de geestelijke, zedelijke en stoffelijke behoeften der gemenschaap op passende wijze te bevredigen of ook: de persoonlijkheid der mensen in het gemeenschapsleven te volmaken, d.w.z. de gemeenschap zo te ordenen, dat de persoon zijn geestelijke, zedelijke, en lichamelijke vermogens daarin ontplooien en tot hun hoogste ontwikkeling brengen” (Terjemahan Bebas: hukum berusaha untuk memenuhi kebutuhan jasmani, kejiwaan, dan rohani masyarakatnya, atau juga meningkatkan kepribadian individu-individu dalam hidup bermasyarakat. Dengan demikian, apabila dikatakan bahwa masyarakat dalam keadaan tertib berarti setiap orang di dalam masyarakat tersebut dapat mengembangkan keadaannya baik secara jasmani, pikiran, maupun rohaninya).[13]
  3. Inilah maksud dan tujuan hukum yang sebenar-benarnya. Hukum menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Hukum itu mengisi kehidupan yang jujur dan damai dalam seluruh lapisan masyarakat.[14]
  4. Perundang-undangan tertua yang diketahui dari studi hukum ialah perundangan Hammourabi, Raja Babylonia (± 2000 tahun SM). Maksud tujuan hukum dalam perundang-undangan itu, berintikan ketentuan yang menyatakan “janganlah hendaknya yang kuat merugikan yang lemah”.[15]
  5. Tujuan hukum versi teori pengayoman (pengayoman sebagai lambang keadilan yang disimbolkan dengan Pohon Beringin. Ditemukan oleh Menteri Kehakiman Sahardjo untuk menggantikan simbol keadilan negara barat yang dirupakan oleh Dewi Themis (puteri Ouranos dan Gala). Menurut teori pengayoman tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksud dengankan secara pasif, adalah mengupayakan pencegahan atas tindakan yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak.

Usaha mewujudkan pengayoman tersebut termasuk di dalamnya adalah: a). Mewujudkan ketertiban dan keteraturan, b). Mewujudkan kedamaian sejati, c). Mewujudkan keadilan, dan d). Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.[16]

Cermati semua teori tujuan hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa selalu terdapat hubungan yang erat antara hukum dengan keberadaan manusia, semua tujuan hukum pasti diarahkan untuk manusia, untuk ketertibannya, untuk keadilannya, untuk kebahagiannya, untuk kedamaiannya, untuk kesejahteraannya dan lain sebagainya. Belum lagi jika kita meninjau teori-teori dalam hukum dan hak asasi manusia. It all about human.

Pada akhirnya, memperhatikan apa yang telah disampaikan oleh Satjipto Rahardjo, Muchtar Kusumaatmadja, Nonet-Selznick, Jeremy Bentham, Roscoe Pound ditambah kajian teori tujuan hukum terjawab sudah pertanyaan “hukum untuk siapa?”. Jawabannya adalah “hukum benar-benar untuk manusia”.

Memang materi di atas dapat saja diragukan validitasnya, misalnya setelah membaca materi ini akan muncul pernyataan “jelas saja jawabannya hukum untuk manusia, lha wong sengaja dicari teori-teori yang memang menyebutkan keterkaitan antara hukum dengan manusia ya hasil akhirnya pasti hukum untuk manusia, bukankah masih banyak teori lain tentang hukum yang tidak terkait dengan langsung dengan manusia?”. Well, menanggapi pernyataan seperti itu, dengan tegas penulis menyatakan bahwa memang sengaja dicari teori-teori yang menguatkan asumsi dasar bahwa hukum itu untuk manusia sehingga padaakhirnya setelah menemukan teori-teori yang menguatkan asumsi dasar tersebut, asumsi dasar tadi berubah menjadi sebuah keyakinan bahwa “hukum memang benar-benar untuk manusia”. Kalau bukan untuk manusia, lantas hukum untuk siapa?. Do you have another idea?. Sebagai catatan, materi ini tidak dimaksudkan untuk melihat “hukum untuk siapa?” dalam tataran praktek, karena itu lain persoalan, sekali lagi ini hanya untuk melihat dalam tataran teoritisnya saja.
Adapun sebagai kelanjutan dari materi ini, ada hal lain yang penting juga untuk diperbincangkan. Sebagaimana diketahui bahwa hukum memang untuk manusia, akan tetapi siapa yang bisa menjamin bahwa hukum yang nota bene dibuat oleh manusia juga dapat benar-benar “memanusiakan manusia” sehingga paradigma “hukum benar-benar untuk manusia” dapat terwujud. Inilah persoalan yang sebenarnya juga penting untuk dijawab. Discussion is still open.

RUJUKAN

[1] Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum Progresif;Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm. 5.
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm. 5-6.
[4] Lihat Bernard L.Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, 2007, Teori Hukum;Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV.Kita Surabaya, hlm. 248-249.
[5] Ibid., hlm. 253.
[6] Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran; diedarkan oleh Penerbit Bina Cipta, Bandung, hlm. 3. Kata “Perobahan” tetap ditulis seperti tulisan aslinya dalam buku.
[7] Khudzaifah Dimyati, 2010, Teorisasi Hukum; Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1950; Edisi Revisi, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm. 190.
[8] Bernard L.Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Op.cit., hlm. 244.
[9] Ibid., hlm. 180-181 dan 188.
[10] Hari Chand, 2005, Modern Jurisprudence, International Law Book Services, Selangor hlm.67.
[11] Bernard L.Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Op.cit., hlm. 106-108.
[12] Peter Mahmud Marzuki, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, hlm. 162.
[13] Ibid.
[14] Soedjono Dirdjosisworo, 2010, Pengantar Ilmu Hukum, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 17.
[15] Ibid.
[16] Dudu Duswara Machmudin, op.cit., hlm. 28. Secara khusus mengenai kisah “Pohon Beringin yang menggantikan Dewi Themis” dan biodata singkat Dr. Sahardjo, SH. dapat dibaca dalam artikel berjudul “Dr Saharjo, Menolak Dewi Keadilan Demi Pohon Beringin” yang dapat diakses pada situs http://hukumonline.com/berita/baca/hol23198/dr-saharjo-menolak-dewi-keadilan-demi-pohon-beringin.