Hukum Progresif dan Responsif

Gerakan supremasi hukum ternyata amat kurang memberi hasil. Dunia dan kehidupan kita masih jalan di tempat dengan carut marut, maka dari itu hukum harus diorientasikan pada peraturan perilaku. Dari pengamatan terhadap praktek hukum selama ini tampak sekali intervensi oleh perilaku terhadap normativitas dari hukum. Orang membaca peraturan dan berpendapat bahwa orang harus bertindak begini begitu, tetapi yang terjadi ternyata berbeda. Inilah yang disebut intervensi perilaku. Berdasarkan data empirik, dibangunlah konsep teori bahwa hukum bukan hanya urusan bisnis (a business of rules) tetapi juga perilaku (mater of behavior). Van Doon (sosiolog Belanda) mengatakan bahwa hukum adalah skema yang dibuat untuk menata (perilaku) manusia, tetapi manusia itu sendiri yang cenderung jatuh di luar skema, ini disebabkan karena faktor pengalaman pendidikan, tradisi dan lainlain. (Raharjo, 2007: 4).

Hukum Progresif dan Responsif


Karena hukum berkaitan dengan perilaku manusia, maka pantas dipertanyakan hendak kemana hukum dibentuk? Dengan pertanyaan ini maka hukum dibentuk adalah untuk memberikan kebahagiaan kepada rakyat danbangsanya Raharjo, 2007: 10) sesuai dengan cita-cita bangsa dan warganegara. Akan tetapi ukuran kebahagiaan tidak sama di antara individu satu dengan individu lain atau bangsa satu dengan bangsa lain. Oleh karena itu hukum yang diciptakan oleh suatu negara tidak boleh dipaksakan pada negara lain.

Nampaknya kehidupan manusia tidak berhenti pada titik pencapaian keamanan, kedamaian atau juga kebahagiaan dan keadilan tetapi juga menuntut hukum supaya dapat melahirkan nilai kesejahteraan masyarakat (masholihul umat) dengan demikian maka lahirlah konsep-konsep hukum modern.

Karakteristik Hukum Modern (Hukum Progresif)

Salah satu karakteristik hukum modern yang menonjol adalah sifat rasionalitas hukum modern. Rasionalitas itu bahkan bisa berkembang sedemikian rupa sehingga sampai pada tingkat rasionalitas di atas segalagalanya (rationality above else).

Artinya bahwa diyakini hukum sudah dijalankan bila semua orang telah berpegangan pada rasionalitas itu. Dalam rasional ini tidak dikesampingkan aspek liberal yang mengawali kelahiran sistem hukum modern yang bekerja atas dasar netralitas (dalam situasi ini maka lahirlah istilah laizzes faire yang artinya biarkanlah semua berjalan sendiri secara bebas). Di sini hukum bertugas hanya menjaga agar individu-individu di masyarakat berinteraksi secara bebas tanpa ada intervensi oleh siapapun.

Dalam perkembangan nampaknya masyarakat bosan atas kerjanya hukum yang berbasis liberal, yang hanya memperhatikan kemerdekaan dan kebebasan dan kurang memperhatikan masalah kesejahteraan umum, akhirnya lahirlah ide-ide hukum yang berorientasi pada masalah kesejahteraan umum. Dalam arti negara ikut aktif dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat (kesehatan, pendidikan dan kebutuhan publik) (Raharjo, 2007: 10-11).

Kemudian lahirlah metode-metode berpikir menggunakan kecerdasan spiritual. Dewasa ini kemajuan ilmu pengetahuan tentang cara berpikir yang beragam ± 100 tahun yang lalu pemikiran hukum diwarnai dengan mengenal satu model pemikiran yaitu pemikiran rational, ia hanya diukur dengan intelektual question (IQ).

Namun sudah ditemukan tiga model berpikir: rasional, perasaan dan spiritual Berpikir rasional bersifat linier, logis, serial, tidak ada rasa keterlibatan. Sedangkan berpikir dengan perasaan selalu mempertimbangkan habitatnya sehingga tidak semata-mata menggunakan logika. Tetapi sudah menggunakan pikiran yang bersifat kontekstual.

Adapun berpikir melalui kecerdasan spiritual artinya bahwa pemikiran bukan hanya terbatas pada sebuah patokan yang ada tetapi juga tidak hanya bersifat kontekstual tetapi ingin keluar dari situasi yang ada dalam usaha mencari sebuah kebenaran, makna atau nilai yang lebih dalam.

Dengan demikian berpikir menjadi suatu infinite gama. Ia tidak ingin dibatasi patokan yang ada, tetapi ingin menembus melampaui dan menembus situasi yang ada. Kecerdasan spiritual tidak berhenti menerima keadaan dan beku tetapi kreatif dan membebaskan dalam arti kecerdasan spiritual bukan berarti membunuh model berpikir yang lalu (rational dan perasaan) tetapi meningkatkan kualitasnya sehingga mencapai derajat sempurna (Raharjo, 2007: hlm. 18).

Nampaknya pemikiran model inilah yang dimaksud dengan metode istihsan oleh Imam Abu Hanifah. Di mana dengan mencari kebaikan-kebaikan ini akan membuka suatu yang bersifat transendental untuk menemukan makna-makna yang tersimpan. Selanjutnya penulis akan menyampaikan teori-teori hukum yang responsif oleh Nonet Silzniek. Mudah-mudahan dengan teori-teori ini akan ada benang merahnya dengan tesis yang penulis angkat.

Hukum Responsif (Teori Nonet Selznick)

Hukum responsif adalah model atau teori yang digagas oleh Nonet Selznick di tengah kritik pedas Neomarxis, terhadap liberal legalisme. Legalisme liberal mengandaikan hukum sebagai institusi mandiri dengan sistem peraturan dan prosedur yang obyektif, tidak memihak dan benarbenar otonom.

Hukum pada dasarnya adalah sebuah alat bagi manusia, ia merupakan instrumen untuk melayani kebutuhan manusia. Dalam makna ini, isolasi sistem hukum dari berbagai institusi sosial sekitarnya justru berdampak buruk, dari sisi kebutuhan manusia itu sendiri, bukan lagi melayani manusia. Hukum dalam bingkai rasional liberalisme adalah sebagai benteng perlindungan bagi si kaya dan si penguasa. Bingkai ini adalah sebagai pegangan kuat bagi rule of law. Menurut neo arxis bahwa rule of law dianggap tidak mampu menguasai isu-isu mendesak mengenai keadaan sosial, dan lebih parah lagi bahwa rule of law adalah musuh bagi keadilan sosial. Di tengah rangkaian kritik atas realitas kritis otoritas hukum ini, melahirkan Nonet Selznick yang mengajarkan model hukum responsif (Tanya L-B, 2007: 227-228).

Nonet dan Selznik lewat hukum responsif, menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan sosial dan emansipasi publik. Kepedulian pada akomodasi aspirasi sosial menyebabkan teori ini dipandang sebagai wilayah sociological jurisprudence”. Hukum responsif adalah pemahaman mengenai hukum melampaui aturan atau teks dokumen atau looking to words. Pada hasil akhir adalah akibat dan manfaat hukum itu sendiri.

Itulah sebabnya hukum responsif mengandalkan dua doktrin utama:
  1. Hukum itu fungsional, pragmatik bertujuan dan rasional.
  2. Kompetensi menjadi patokan evaluasi terhadap semua pelaksanaan hukum.

Dengan demikian ini (karena kompetensi) maka tatanan hukum responsif adalah menekankan
  1. Keadilan substantif
  2. Merupakan subordinasi dari prinsip kebajikan
  3. Tujuan hukum harus berorientasi pada kemaslahatan hukum
  4. Pengambilan keputusan hukum berorientasi pada tujuan
  5. Memupuk sistem kewajiban daripada paksaan
  6. Moralitas kerjasama sebagai prinsip moral dalam menjalankan hukum.
  7. Kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum dalam melayani masyarakat. (Ibid., Tanya L.B, 2007: 240-241).

Dari pergulatan hukum di atas dapat dimengerti bahwa hukum bergerak dan berubah seiring dengan perubahan zaman dan perilaku manusia. Dan ia berubah dengan bersamaan dengan perubahan sosial politik dan budaya, dengan demikian hukum bersifat dinamis.

Meskipun hukum (publik) bersifat dinamis (dapat mengikuti perubahan zaman dan budaya), hal ini tidak menjadi masalah besar karena mereka mempunyai central yang sama, yaitu bersifat antroposentris. Berbeda dengan hukum Islam ia bersifat antroposentris dan theosentris, hal ini menarik pertanyaan apakah hukum mampu berubah seiring dengan perubahan zaman atau tidak? Untuk itu perlu menjadi sebuah kajian yang mendalam dan mendetail. Dalam pembahasan selanjutnya akan dibahas mengenai respon Islam (hukum Islam) terhadap masalah dinamika perubahan masyarakat.