Zakat Fitrah

Daftar Isi

  1. Pengertian Zakat Fitrah
  2. Landasan Hukum Zakat Fitrah
  3. Syarat-Syarat Wajib Zakat Fitrah
  4. Waktu Pelaksanaan Zakat Fitrah
  5. Kadar dan Jenis Zakat Fitrah
  6. Muzakki Zakat Fitrah
  7. Hikmah Zakat Fitrah
  8. Golongan Yang Berhak Menerima Zakat
  9. Pembayaran Zakat Fitrah

Pengertian Zakat Fitrah

Zakat ada dua macam yaitu zakat fitrah dan zakat mâl. Zakat mâl adalah bagian dan harta kekayaan seseorang atau badan hukum yang wajib diberikan kepada orang-orang tertentu setelah mencapai jumlah minimal tertentu dan setelah dimiliki selama jangka waktu tertentu pula.[1] Sedangkan zakat fitrah adalah zakat yang diwajibkan pada akhir puasa ramadhan. Hukumnya wajib atas setiap orang muslim, kecil atau dewasa, .laki-laki atau perempuan, budak atau merdeka.[2]

Berbicara masalah zakat merupakan masalah yang menarik karena zakat menjadi bagian dari rukun Islam. Ditinjau dan segi bahasa, kata zakat merupakan kata dasar (masdar) dari zaka yang berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik. Sesuatu itu zaka, berarti tumbuh dan berkembang, dan seorang itu zaka, berarti orang itu baik.[3] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia zakat berarti jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya) menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara.[4] WJS Poerwadarminta mengartikan zakat sebagai derma yang wajib diberikan oleh umat Islam kepada fakir miskin pada hari raya lebaran.[5]

Menurut Kamus Idris al-Marbawi zakat berarti “menyucikan, membersihkan”.[6] Menurut Kamus Modern Bahasa Indonesia, zakat yaitu pajak agama Islam untuk fakir miskin yang harus dikeluarkan (dibayar) sekali setahun banyaknya kira-kira 2,5% (dua setengah persen) dari harta (sebenarnya tiap-tiap jenis harta ada peraturannya sendiri-sendiri).[7] Ensiklopedi Islam Indonesia, zakat menurut bahasa artinya tumbuh berkembang, bersih atau baik dan terpuji.[8]

Secara terminologi, dapat disimpulkan bahwa zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya, untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan persyaratan tertentu pula. Kitab Fath al-Qarib menegaskan, zakat menurut syara ialah nama bagi suatu harta tertentu menurut cara-cara yang tertentu, kemudian diberikan kepada sekelompok orang yang tertentu pula.[9] Kitab Fath al-Muin menyatakan, zakat adalah nama sesuatu yang dikeluarkan (diambil) dari harta atau badan dengan ketentuan tertentu.[10]

Kitab Kifayah al-Akhyar merumuskan zakat adalah nama dari sejumlah harta yang tertentu yang diberikan kepada golongan tertentu dengan syarat tertentu.[11] Sementara Syekh Kamil Muhammad Uwaidah menyatakan menurut bahasa zakat berarti pengembangan dan pensucian. Harta berkembang melalui zakat, tanpa disadari. Di sisi lain mensucikan pelakunya dari dosa.[12]

Sedangkan al-Jaziri mengatakan zakat ialah memberikan harta tertentu sebagai milik kepada orang yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat yang ditentukan.[13] Ibrahim Muhammad al-Jamâl memaparkan zakat ialah sejumlah harta yang wajib dikeluarkan dan diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya apabila telah mencapai nisab tertentu, dengan syarat-syarat tertentu pula.[14] Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqhus Sunnah menerangkan: “Zakat ialah nama atau sebutan dari sesuatu hak Allah Ta’ala yang dikeluarkan seseorang kepada fakir miskin. Dinamakan zakat, karena di dalamnya terkandung harapan untuk beroleh berkat, membersihkan jiwa dan memupuknya dengan berbagai kebaikan”.[15]

Dari berbagai rumusan di atas dapat disimpulkan, zakat adalah nama bagi kadar tertentu dari harta kekayaan yang diserahkan kepada golongan-golongan masyarakat yang telah diatur dalam kitab suci al-Qur’an.

Adapun pengertian zakat fitrah, yaitu zakat yang sebab diwajibkannya adalah futur (berbuka puasa) pada bulan Ramadhan, disebut pula dengan sedekah fitrah.[16] Zakat fitrah diwajibkan pada tahun kedua Hijrah, yaitu tahun diwajibkannya puasa bulan Ramdhan untuk mensucikan orang yang berpuasa dari ucapan kotor dan perbuatan yang tidak ada gunanya, untuk memberi makanan pada orang-orang miskin dan mencukupkan mereka dari kebutuhan dan meminta-minta pada Hari Raya.[17]

Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa zakat fitrah itu zakat pribadi yang bertujuan untuk membersihkan pribadi, sebagaimana zakat harta untuk membersihkan harta. Kalau kita analogikan dengan pajak, maka ada pajak kekayaan (harta) dan ada pula pajak kepala (pribadi). Dengan demikian, persyaratan zakat fitrah tidak sama dengan persyaratan zakat lainnya.

Landasan Hukum Zakat Fitrah

Sebagai landasan hukum zakat fitrah adalah al-Qur’an, hadis, dan ijma.


1. Al-Qur’an

Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam surah at-Taubah:103 dan surah ar-Ruum: 39:

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenteraman jiwa buat mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS. at-Taubah:103)

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS. ar-Ruum: 39)

Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa kata, yang walaupun mempunyai arti yang berbeda dengan zakat, tetapi kadangkala dipergunakan untuk menunjukkan makna zakat, yaitu infaq, sedekah dan hak, sebagaimana dinyatakan dalam surah at- Taubah: 34, 60 dan 103 serta surah al-An’aam: 141.

Di dalam al-Qur’an terdapat pula berbagai ayat yang memuji orang-orang yang secara sungguh-sungguh menunaikannya, dan sebaliknya memberikan ancaman bagi orang yang sengaja meninggalkan. Karena itu, khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq bertekad memerangi orang-orang yang shalat, tetapi tidak mau mengeluarkan zakat. Ketegasan sikap ini menunjukkan bahwa perbuatan meninggalkan zakat adalah suatu kedurhakaan dan jika hal ini dibiarkan, maka akan memunculkan berbagai kedurhakaan dan kemaksiatan lain.

2. Hadis

Zakat adalah ibadah mâliyyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi sangat penting, strategis, dan menentukan,[18] baik dilihat dan sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun Islam yang lima, sebagaimana diungkapkan dalam berbagai hadis Nabi, di antaranya:

Dari Abdullah ibn Umar, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Islam terdiri atas lima rukun: mengakui tidak ada Tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah; mendirikan shalat; menunaikan zakat; haji ke Baitullah; dan puasa ramadhan. (HR. Muslim).[19]

Sebagai landasan hukum zakat fitrah diwajibkan adalah sabda Rasulullah. Jamaah ahli hadis telah meriwayatkan hadis Rasulullah SAW., dari Ibnu Umar:

Dari Nafi’ dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Rasulullah SAW. telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum kepada setiap orang yang merdeka, hamba sahaya, baik laki-laki maupun perempuan dari kaum muslimin.” (HR. Muslim).[20]

Jumhur ulama Salaf dan Khalaf menyatakan bahwa makna faradha pada hadis itu adalah alzama dan aujaba, sehingga zakat fitrah adalah suatu kewajiban yang bersifat pasti. Juga karena masuk pada keumuman firman Allah: “Dan tunaikanlah oleh kamu sekalian zakat.

Hadis di atas menunjukkan bahwa keberadaan zakat dianggap sebagai ma’luum minad-diin bidh-dharuurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang.[21]

3. Ijma

Setelah Nabi SAW wafat, maka pimpinan pemerintahan dipegang oleh Abu Bakar al-Shiddiq sebagai khalifah pertama. Pada saat itu timbul gerakan sekelompok orang yang menolak membayar zakat (mani’ al-zakah) kepada Khalifah Abu Bakar. Khalifah mengajak para sahabat lainnya untuk bermufakat memantapkan pelaksanaan dan penerapan zakat dan mengambil tindakan tegas untuk menumpas orang-orang yang menolak membayar zakat dengan mengkategorikan mereka sebagai orang murtad. Seterusnya pada masa tabi’in dan Imam Mujtahid serta murid-muridnya telah melakukan ijtihad dan merumuskan pola operasional zakat sesuai dengan situasi dan kondisi ketika itu.[22]

Syarat-Syarat Wajib Zakat Fitrah

Adapun syarat wajib zakat fitrah ialah:[23]

  1. Islam.
  2. Adanya kelebihan dari makanannya dan dari makanan orang yang wajib nafkah baginya pada hari raya dan kelebihan dari rumahnya, perabot rumah tangganya dan kebutuhan pokoknya.
  3. Lahir sebelum terbenam matahari pada hari penghabisan bulan Ramadan.
Anak yang lahir sesudah terbenam matahari tidak wajib fitrah. Orang kawin sesudah terbenam matahari tidak wajib membayarkan fitrah isterinya yang baru dikawininya itu. Karena yang dimaksud dalam Hadis dengan zakat fitrah di atas ialah berbuka pada bulan Ramadan. Dan yang dinamakan berbuka di bulan Ramadan ialah malam hari raya. Jadi, malam hari raya itulah waktu wajibnya fitrah.[24]

Islam di sini menjadi patokan diwajibkannya zakat fitrah, tidak memandang apakah ia seorang budak atau merdeka begitu juga tidak memandang apakah ia kaya atau miskin dan pendapat ini dipegang oleh Imam yang tiga dan jumhur ulama.[25]

Waktu Pelaksanaan Zakat Fitrah


  1. Waktu mubah, dari waktu pengeluaran zakat pada awal bulan Ramadan sampai hari terakhir bulan Ramadan.
  2. Waktu wujub, yaitu waktu wajib mengeluarkan zakat mulai terbenamnya matahari akhir Ramadan sampai terbitnya fajar.
  3. Waktu fadilah, yaitu waktu yang utama mengeluarkan zakat, dibayar sesudah salat subuh sebelum pergi salat hari raya sampai pelaksanaan salat hari raya.
  4. Waktu karahah, yaitu waktu yang dimakruhkan yaitu sesudah salat’ id sampai terbenamnya matahari pada hari raya karena ada suatu udzur.
  5. Waktu tahrim, yaitu waktu yang haram untuk mengeluarkan zakat sesudah terbenamnya matahari pada hari raya.
Ibnu Hazm melarang mendahulukan membayar zakat fitrah sebelum terbenamnya matahari di malam hari raya. Imam Malik dan Imam Hambali berpendapat bahwa boleh membayar zakat fitrah maksimal dua hari sebelum hari raya. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa para sahabat mengeluarkan zakat fitrah satu hari atau dua hari sebelum hari raya. Sementara itu, Imam Syafi’i menyatakan bahwa boleh saja seseorang membayar zakat fitrah sejak awal Ramadan. Sebab, kewajiban zakat fitrah adalah sangat terkait dengan kewajiban ibadah puasa, sehingga membayar zakat fitrah meskipun pada awal bulan adalah sesuatu yang diperbolehkan. Berbeda dengan ketiga pendapat Imam di atas, Imam Hanafi justru membolehkan pada awal tahun.[26]

Imam Hanafi menganalogkan hal ini dengan diperbolehkannya seseorang yang hendak membayar zakat pada awal tahun. Tentu saja, jika pembayaran atau penyaluran zakat menyengaja dilakukan setelah terbenamnya matahari idul fitri, maka berdosa karenanya. Jumhur ulama kemudian berselisih pendapat berapa kadar mempercepat pembayaran zakat fithri tersebut.

Madzhab Hanabilah.

Jumhur ulama madzhab Hanabilah berpendapat tidak boleh mempercepat lebih dari 2 hari (sebelum idul fitri). Sebagian Hanaabilah membolehkan mempercepat setelah pertengahan Ramadlaan, sebagaimana dibolehkan mempercepat adzan Fajr dan berangkat dari Muzdalifah (menuju Mina) setelah pertengahan malam.

Madzhab Maalikiyyah.

Ada dua pendapat yang beredar dalam kebolehan mempercepat sehari hingga tiga hari (ada yang membolehkan, ada pula yang tidak).

Madzhab Asy-Syaafi’iyyah

Jumhur membolehkan mempercepat mulai dari awal bulan Ramadan. Pendapat lain ada yang merincinya, yaitu boleh mempercepatnya mulai terbitnya fajar hari pertama bulan Ramadlaan hingga akhir bulan, namun tidak boleh membayarnya di waktu malam pertama hari pertama bulan Ramadan karena waktu itu belum disyari’atkan untuk berpuasa. Pendapat lain, boleh mempercepat dalam seluruh waktu pada tahun tersebut (sepanjang tahun).

Madzhab Al-Hanafiyyah.

Pendapat yang masyhur, mereka membolehkan mempercepat pembayaran dari awal haul. Dihikayatkan dari Ath-Tahawiy dan shahabat-shahabatnya bahwa mereka membolehkan mempercepat secara mutlak tanpa perincian. Abul-Hasan Al-Karjiy membolehkan mempercepat sehari atau dua hari (sebelum idul fitri). Diriwayatkan dari Abu Haniifah bahwa ia membolehkan mempercepat satu tahun hingga dua tahun. Diriwayatkan dari Al-Hasan bin Ziyaad bahwa ia tidak membolehkan mempercepatnya.[27]

Selanjutnya zakat fitrah juga dapat di sebut zakat puasa atau zakat yang sebab diwajibkanya adalah futhur (berbuka puasa) pada bulan Ramadan. Dan juga bisa di sebut zakat badan karena berfungsi untuk mensucikan diri. Dalam istilah ahli fiqih (fuqaha), zakat fitrah adalah zakat diri yang di wajibkan atas setiap individu muslim yang mampu dengan syarat-syarat yang telah di tetapkan.

Kadar dan Jenis Zakat Fitrah

Sebagaimana disebutkan dalam kitab hadits bahwa zakat fitrah dikeluarkan sebanyak satu sha’. Satu sha’ ialah empat mud, sedang satu mud ialah kurang lebih 0,6 kilogram. Jadi satu sha’ adalah sebanding dengan 2,4 kg, maka dibulatkan menjadi 2,5 kg. Adapun di Indonesia, karena biasa menakar ukuran bahan makanan pokok beras menggunakan liter bukan timbangan maka 2,5 kg diukur sebanding 3,5 liter beras.[28]

Sebagian Ulama menetapkan bahwa zakat fitrah itu berupa gandum, jagung, kurma, anggur kering (kismis), atau keju. Sebagian lagi menetapkan bahwa zakat fitrah berupa makanan pokok yang lain di daerah setempat atau makanan pokok untuk orang-orang dewasa dituturkan oleh Abdul Wahab dalam Madzah Hanafi.[29]

Kadar dan jenis barang yang harus dikeluarkan oleh setiap muslim

diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar r.a. kadar zakat fitrah yang harus dikeluarkan adalah satu sha’,[30] yaitu empat mud.[31] Adapun jenis yang dikeluarkan adalah sesuatu yang menjadi makanan pokok suatu negeri pada umumnya, baik berupa gandum, tamr (kurma kering), kismis (anggur kering), keju, beras, jagung serta makanan-makanan lain yang menjadi makanan pokok sebuah negeri.[32]

Muzakki Zakat Fitrah

Dari Hadits Ibnu Umar menjelaskan bahwa zakat fitrah diwajibkan kepada seluruh umat muslimin baik merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, muda maupun tua.

حدثنا يحي بن محمد بن السكن: حدثنا محمد بن جهضم: حدثنا إسماعيل بن جعفر عن عمر بن نافع، عن أبيه، عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: فرض رسول الله صلى الله عليه و سلم زكاة الفطر، صاعا من تمر او صاعا من شعير على على العبد والحر، والذكر والأنثى والكبير من المسلمين، وأمر بها أن تؤدى قبل خروج الناس إلى الصلاةز (رواه البخارى)


Yahya bin Muhammad bin as-Sakam menyampaikan kepada kami dari Muhammad bin Jahdham, dari Ismail bin Ja’far, dari Umar bin Nafi’, dari ayahnya bahwa Ibnu Umar berkata, “Rasullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebesar 1 sha’ kurma atau 1 sha’ gandum kepada seluruh kaum Muslimin, baik orang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, muda maupun tua. Beliau memerintahkan agar zakat ini ditunaikan sebelum orang-orang berangkat melaksanakan shalat (Id).” (HR. Al-Bukhari)[33]

Menurut pendapat Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad dan Asy-Syaukani bahwa zakat diwajibkan kepada siapa yang memiliki satu sha’ makanan pokok pada hari raya Idul Fitri dan masih mempunyai persediaan selama satu hari satu malam berikutnya. Zakat fitrah ini merupakan kewajiban atas seluruh umat Islam, untuk dirinya sendiri serta orang-orang yang nafkahnya berada di bawah tanggung jawabnya seperti pembantu dan semua yang diberikan nafkah olehnya.[34]

Orang yang diwajibkan membayar zakat fitrah ialah orang yang mempunyai 3 syarat yaitu:

  1. Islam
  2. Sudah terbenam matahari (sudah mulai tanggal 1 syawal)
  3. Mempunyai kelebihan makanan untuk diri dan keluarganya.
Hanya orang Islam saja yang berkewajiban membayar zakat, sedang orang kafir tidak. Sebagaimana disebutkan dalam hadits diatas bahwa Nabi mewajibkan zakat fitrah kepada orang Islam. Zakat fitrah diwajibkan mulai terbenamnya matahari di akhir bulan Ramadhan sampai terlaksananya shalat idul fitri. Jadi orang Islam yang hidup pada saat-saat itu (dan mempunyai kelonggaran makanan) diwajibkan zakat.[35]

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa setiap muslim yang memiliki satu sha’ makanan pokok pada hari raya Idul Fitri diwajibkan untuk mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya, keluarganya dan orang lain yang menjadi tanggungannya baik orang dewasa, anak kecil, laki-laki maupun perempuan.

Hikmah Zakat Fitrah

Adapun hikmah disyari’atkannya zakat fitrah ini ialah

  1. Untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perbuatan ataupun perkataan yang sia-sia dan perkataan keji, yang mungkin telah dilakukan di bulan puasa serta untuk menjadi sarana pertolongan bagi fakir dan orang butuh.[36]
  2. Menolong orang yang lemah dan susah agar dia dapat menunaikan kewajibannya terhadap Allah dan terhadap makhluknya.
  3. Membersihkan diri dari sifat kikir dan akhlak tercela, serta mendidik diri agar bersifat mulia dan pemurah dengan membiasakan membayarkan amanat kepada orang yang berhak dan berkepentingan.
  4. Sebagai ungkapan syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah kepada kita, tidak diragukan lagi bahwa berterima kasih yang diperlihatkan oleh yang diberi kepada yang memberi adalah suatu kewajiban yang terpenting menurut ahli kesopanan.
  5. Guna menjaga kejahatan-kejahatan yang akan timbul dari si miskin dan yang susah.
  6. Guna mendekatkan hubungan kasih sayang dan cinta antara yang kaya dan yang miskin. Rapatnya hubungan tersebut akan memberikan beberapa kemajuan dan kebaikan serta berfaedah bagi kedua golongan.
  7. Sebagai sarana pendidikan yaitu, untuk mendidik setiap muslim untuk menginfakkan hartanya baik dalam keadaan kaya atau miskin, mau berkorban dalam keadaan susah atau senang.[37]

Golongan Yang Berhak Menerima Zakat

Dalam hal menentukan golongan-golongan yang berhak menerima zakat telah ditentukan Alquran. Adapun golongan zakat fitrah ialah terdapat pada surat al-Taubah: 60.

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Taubah: 60)

Dalam ayat di atas terutama al-Taubah ayat 60 di sana dijelaskan mengenai sasaran zakat tersebut dan tidak boleh diberikan kepada selain dari mereka hal ini sudah ijma’ ulama.[38] Menurut Wahbah Zuhyily didasari pada awal kalimat tersebut yaitu ada lafaz inn-nama yang mengandung suatu pengertian pembatasan dan penentuan.[39]

Adapun penjelasan dari delapan golongan tersebut ialah sebagai berikut:

  • Fakir dan miskin, Sasaran yang pertama dan kedua dalam zakat ialah fakir dan miskin hal ini menunjukkan bahwa sasaran pertama zakat ialah penghapusan terhadap kemiskinan ataupun kemelaratan dalam masyarakat. Akan tetapi dalam mendefinisikan mengenai fakir dan miskin ini ulama banyak yang berbeda pendapat di antaranya:

  1. Ahmad Mustafa al-Maraghiy mengatakan bahwa fakir adalah orang yang tidak mencukupi terhadap kebutuhannya, sedangkan miskin ialah orang yang lebih sangat membutuhkan lagi ketimbang fakir.[40]
  2. Imam Hanafi mengatakan fakir adalah orang yang mempunyai harta kurang dari satu nisab, atau mempunyai satu nisab atau lebih tetapi habis untuk keperluannya sedangkan miskin orang yang tidak mempunyai suatu apapun.
  3. Imam Ahmad, fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta atau mempunyai harta kurang dari seperdua keperluannya sedangkan miskin yang mempunyai harta seperdua keperluannya atau lebih tetapi tidak mencukupi.
  4. Pemuka tafsir Imam al-Tabari mengatakan fakir ialah orang yang dalam keadaan butuh akan tetapi menjaga diri dari meminta-minta, sedangkan miskin ialah orang yang juga dalam keadaan butuh akan tetapi suka meminta-minta, diperkuat arti pendapatnya dengan berpegang pada arti maskanah (kemiskinan jiwa) yang menunjukkan arti demikian.[41]
Diperjelas oleh Yusuf Qardawi mengenai fakir miskin ini dibagi menjadi dua macam:[42]

  1. Orang miskin yang sanggup bekerja dan mencari nafkah juga dapat mencukupi dirinya sendiri seperti tukang, pedagang dan petani.
  2. Orang miskin yang tidak mampu mencari nafkah, seperti orang lumpuh, orang buta, orang tua, janda, anak-anak dan sebagainya.
Walaupun demikian menurut M Ali Hasan bahwa keadaan miskin dan fakir tersebut akan berubah sesuai dengan perkembangan masa.[43] Hal ini bisa dipahami dengan dulu orang yang bisa memiliki hand phone adalah orang kaya, sedangkan pada zaman ini alat komunikasi tersebut tidak hanya dipegang oleh orang kaya saja akan tetapi juga dipegang oleh kalangan bawah seperti tukang becak, ojek dll.

Adapun bagian untuk mereka ulama berbeda pendapat ada yang mengatakan diberikan secukupnya ada yang mengatakan diberikan dengan memperhatikan jumlah tertentu dan besar kecilnya disesuaikan dengan bagian mustahik lain. Adapun pendapat yang pertama ini dibagi dua yaitu:

  1. Diberikan seumur hidup dengan alasan bahwa penyebab diberikannya miskin ini ialah karena kemiskinan diberikan zakat supaya menghilangkan terhadap kemiskinannya tersebut, maka ia harus diberikan zakat seumur hidup hingga ia tidak memerlukan lagi terhadap zakat tersebut.[44]
  2. Diberi dengan kadar mencukupi.[45] Dengan prinsip ini maka diharapkan bukan hanya memberikan orang miskin dengan satu suapan nasi atau sekedar menghilangkan kesusahan sesaat mereka akan tetapi bisa mencukupi dan mengangkat perekonomian mereka.
Menurut Masdar Helmy untuk zaman sekarang bagian bagi fakir miskin dibagi dua yaitu:

  1. Bagi fakir miskin yang tidak potensial maka dibuatkan suatu penampungan dan diberikan zakat konsumtif seperti manula.
  2. Bagi fakir miskin yang memiliki potensial untuk bekerja maka diberikan pinjaman modal usaha dari harta zakat tersebut.[46]
Walaupun ulama berbeda pendapat dalam hal pemberian ini tapi yang pasti pemberian tersebut hendaklah bukan hanya menjadi ritual saja akan tetapi diharapkan bisa membantu sesuai apa yang dibutuhkan oleh mereka.


  • Amil zakat
Mengenai amil ini ulama empat mazhab sepakat bahwa yang dimaksud ialah orang-orang yang bertugas untuk meminta sedekah.[47] Dan dalam tafsir al-Maraghi dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan a’mil zakat ialah orang yang bertugas untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat. Dan semakin diperjelas dengan ‘amil zakat adalah pengelola zakat baik mengumpulkan, menentukan siapa yang berhak, mencari mereka, membagi maupun mengantarnya kepada mustahik zakat.[48]

Yusuf Qardawi menjelaskan adanya ‘amil sebagai salah satu mustahiq zakat dalam Alquran menunjukkan bahwa zakat bukan hanya merupakan tugas perseorangan akan tetapi juga merupakan tugas negara.[49] Dalam sejarah disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah mempekerjakan pemuda dari suku Asad yang bernama Ibnu Lutaibah untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaym dan pernah pula mengutus ‘Ali bin Abi Talib ke Yaman untuk mengambil zakat, demikian pula para khulafa ur-rasyidin setelahnya mereka selalu mempunyai petugas khusus untuk bidang perzakatan ini.[50]

Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat mempunyai beberapa manfaat di antaranya:

  1. Untuk menjamin kepastian dan disiplin dalam membayar zakat.
  2. Untuk menjaga perasaan rendah diri mustahik zakat jika berhadapan langsung dengan para muzakki.
  3. Untuk mencapai efisiensi dan sasaran yang tepat dalam pemberian zakat tersebut sesuai dengan skala prioritas dalam satu tempat.
  4. Untuk memperlihatkan syi’ar Islam dalam semangat pemerintahan yang Islami.[51]
Adapun syarat-syarat untuk menjadi amil zakat ialah:

  1. Hendaklah ia seorang muslim, sebab zakat ini merupakan urusan kaum muslimin sebab Umar telah menolak seorang Nasrani yang dipekerjakan oleh Abu Musa sebagai penulis zakat karena zakat rukun Islam yang utama.
  2. Mukallaf yang sehat akal dan pikirannya, kemudian harus bertanggung jawab dan mempertanggung jawabkan tugasnya itu.
  3. Petugas itu hendaklah orang yang jujur, karena ia diamanati harta kaum muslimin
  4. Memahami hukum-hukum zakat sebab ia harus mengetahui harta apa yang wajib dizakati ataupun tidak serta masalah-masalah yang timbul dalam suatu perzakatan dikemudikan hari.
  5. Kemampuan untuk melaksanakan tugas.
  6. Amil disyaratkan laki-laki menurut sebagian ulama karena tugas tersebut berat.
  7. Amil tersebut harus merdeka hal ini menurut sebagian ulama.[52]
Mengenai berapa bagian amil zakat dalam hal zakat ini, ialah diberi sesuai dengan pekerjaannya tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil sebab ia merupakan pegawai. Sedangkan menurut imam Syafi’i, Amil diberi sesuai besar kelompok lainnya sebab beliau menyamaratakan bagian semua golongan yakni 1/8 dan Jumhur berpendapat diberi sesuai haknya meskipun lebih besar dari yang ditentukan.[53]

  • Mu’allaf
Sebab zakat sebagaimana disebutkan di atas bukan hanya ibadah yang mendapatkan pahala akan tetapi lebih dari itu yaitu, sebagai media dakwah maka Allah juga memberikan hak terhadap para mua’llaf ini. Adapun golongan ini terbagi menjadi beberapa golongan di antaranya:

  1. Golongan kafir yang diharapkan keimanannya seperti Sofwan bin Umayyah yang pada fathu Makkah diberikan keamanan atau kebebasan oleh Rasulullah saw dan diberi kesempatan untuk memikirkan dirinya selama empat bulan berdasarkan perintah nabi dan memberikan beberapa ekor unta yang dibawa dari sebuah lembah.
  2. Golongan orang yang masih baru masuk Islam atau lemah imannya diharapkan dengan diberikan zakat akan lebih memantapkan atau menguatkan keimanannya.
  3. Golongan kaum muslimin yang bertempat tinggal di benteng-benteng dan daerah perbatasan dengan musuh.[54]
Dan Yusuf Qardawi menambahkan dalam kitabnya dengan:

  1. Golongan orang yang dikhawatirkan kelakuan jahatnya, mereka dimasukkan dalam kelompok mustahik zakat guna mencegah kejahatannya
  2. Pemimpin atau tokoh masyarakat yang telah memeluk Islam dan mempunyai sahabat-sahabat orang kafir.
  3. Pemimpin atau tokoh masyarakat yang sangat berpengaruh pada kaumnya akan tetapi imannya masih lemah
  4. Kaum muslimin yang membutuhkannya untuk mengurus zakat orang yang tidak mau mengeluarkan kecuali dengan paksaan seperti diperangi.[55]
Dalam perkembangan zaman ini pemberian zakat terhadap muallaf ini pembagian seperti di atas dapat dipahami dalam situasi dan kondisi tertentu, sebab disinyalir dalam masyarakat ada orang yang ingin memeluk Islam hanya untuk ekonomi walaupun secara lahiriah dapat diterima maka dari itu perlu adanya pembatasan.

Dalam pemberian terhadap golongan ini, ulama berbeda pendapat, menurut imam Hanafi hukum ini hanya berlaku pada permulaan Islam, karena lemahnya kaum muslimin. Kalau dalam situasi seperti ini di mana Islam sudah kuat maka hilanglah hukumnya karena sebab-sebabnya sudah tidak ada. Dengan adanya dalil bahwa Abu Bakar dan Umar tidak pernah mengeluarkan zakat untuk golongan mu’allaf ini, dan tidak seorang sahabat pun yang mengingkarinya. Hal ini sesuai dengan kaidah usul fiqih ketetapan hukum selalu berkaitan dengan ‘illatnya.[56]

Sedangkan imam Mazhab yang tiga mengatakan bahwa tidak ada pennaskhan dalam hukum ini, akan tetapi haruslah pemberian itu mendatangkan kemaslahatan kepada kaum muslimin.[57]


  • Budak
Kata ar-Riqab ini adalah bentuk jamak dari raqabah yang pada mulanya berarti leher kemudian berkembang menjadi hamba sahaya karena tidak jarang hamba sahaya berasal dari tawanan perang yang saat di tawan tangan mereka dibelenggu dan diikatkan ke leher mereka. Menurut mazhab Syafi’I yang dimaksud ar-Riqab di sini adalah budak mukatib, yaitu budak yang dalam proses memerdekakan dirinya. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Hasan al-Basri, Malik.[58]


  • Sabilillah
Yusuf Qardawi menerangkan secara panjang lebar tentang hal ini bahwa di dalam al-Quran telah diterangkan sebanyak lebih dari 60 kali mengenai sabilillah ini, dan kalimat ini dikemukakan dengan dua cara:[59]

  1. Kadang-kadang dikasrahkan dengan huruf fi seperti terdapat pada ayat yang menerangkan sasaran zakat (al-Taubah:60) dan setelah huruf an seperti pada ayat (alquran 4:67).
  2. Ketika kalimat dikasrahkan dengan huruf fi, ia datang setelah kata kerja infak, hijrah, jihad dan setelah kata peperangan.
Dalam segi artinya pun demikian yaitu terdapat dua arti:

  1. Arti bersifat umum, berdasarkan pada yang ditunjuki lafaznya yaitu meliputi semua jenis kebaikan, ketaatan dan semua jalan kebajikan sebagaimana (alquran 2:261).
  2. Arti bersifat khusus, yaitu menolong agama Allah, memerangi musuhNya dan menegakkan kalimatNya sehingga di muka bumi ini tidak ada fitnah dan agama semuanya bagi Allah. Seperti alquran 57:10.

Karena itulah maksud fi sabilillah dalam hal zakat terdapat perbedaan ulama menurut pendapat imam Mazhab yang empat sabilillah adalah orang yang berperang secara suka rela untuk membela Islam. Serta mereka yang tidak digaji oleh pemerintah. Sebab orang-orang yang sudah mempunyai gaji dari pemerintah telah dapat memenuhi keperluan keluarganya, bahkan menurut Abu Hanifah orang-orang yang berperang ini tidak dapat dari zakat kecuali mereka fakir.[60]

Untuk sekarang ini dana zakat terhadap bagian fi sabilillah dapat diberikan kepada:

  1. Lembaga-lembaga seperti lembaga dakwah yang tujuannya untuk meningkatkan kegiatan dakwah
  2. Orang-orang yang mengurus urusan sosial keagamaan dan kemasyarakatan,
  3. Lembaga-lembaga penelitian ilmu keagamaan,
  4. Lembaga-lembaga pendidikan keagamaan dan kemasyarakatan.[61]
Jadi, dengan bergulirnya zaman maka yang dimaksud fi sabilillah ialah telah mengalami perluasan makna yang berarti jihad dalam semua kemaslahatan untuk umat muslim tidak hanya mengangkat senjata untuk berperang, seperti halnya para pengajar ilmu syari’at untuk kemaslahatan umat mereka juga berhak atas zakat ini.[62]


  • Ibnu sabil
Adapun ibnu sabil secara harfiah berarti anak jalanan, maka para ulama dahulu memahaminya dalam arti siapa pun yang kehabisan bekal dan dia sedang dalam perjalanan walaupun dia kaya di negeri asalnya. Alquran telah menyebutkan Ibnu sabil ini sebanyak delapan tempat yang menunjukkan harus berkasih sayang dan berbuat baik kepadanya.[63]

Adapun hikmah mementingkan Ibnu sabil dalam alquran ialah karena Islam senantiasa merangsang untuk melakukan bepergian dan memberikan kabar gembira bagi perjalanan dan bepergian di muka bumi seperti menuntut ilmu, mengaji dll.

Adapun syarat memberi zakat kepada Ibnu sabil ialah sebagai berikut:

  1. Hendaknya dalam keadaan membutuhkan pada sesuatu yang dapat menyampaikan ke negerinya, sehingga apabila dia memiliki sesuatu yang dapat menyampaikan ke negerinya maka jangan diberi.
  2. Hendaknya perjalanannya bukan perjalanan maksiat.

Pembayaran Zakat Fitrah

Harta yang dapat dikeluarkan dalam zakat fitrah adalah sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadist Nabi Saw yang diriwayatkan oleh muslim dari Ibn Umar ra. Menurut lafazd hadist yang menerangkan ukuran zakat fitrah, tidaklah boleh mengeluarkan uang seharga fitrah melainkan wajib mengeluarkan bahan makanan yang dapat mengenyangkan. Akan tetapi, melihat kegunaan zakat fitrah itu bagi fakir miskin yaitu agar mereka tidak meminta-minta pada ahari araya maka tidaklah ada halangan mengeluarkan zakat fitrah berupa uang seharga fitrah yang menjadi tanggungannya. Hal itu lebih memenuhi hajatnya bila dibandingkan dengan makanan. Pada hari raya, bukan kenikmatan makanan saja yang harus diberikan kepada mereka, akan tetapi harus pula kenikmatan pakaian sekadarnya, dan itu hanya dapat diperoleh dengan uang.

Bila pihak yang menerima dapat membeli bahan makanan dengan harga murah seperti dapat membeli langsung dari pemerintah, maka qimat (nilai) fitrah itu boleh dibayarkan secara murah. Akan tetapi, kalau yang berhak menerima mungkin tak dapat membeli karena harganya mahal, wajiblah qimat (nilainya) itu dibayar mahal pula.[64]

Dalam hal pengeluaran zakat fitrah dengan qimat ( nilainya) ini, ulama berbeda pendapat:

  • Jumhur ulama termasuk Maliki, Syafi’I dan Ahmad berpendapat bahwa zakat fitrah itu haruslah maknan pokok dengan alasan:

  1. Nash menetapkan menyuruh memilih antara benda yang menjadi makanan pokok masing-masing negeri. Bukan hanya jenis makanan yang disebut saja diperbolehkan, akan tetapi jenis makanan yang menjadi makanan pokok negeri masing-masing secara umum.
  2. Memperbolehkan zakat dengan harga berarti mengubah nash, maka hal demikian tidak dibolehkan.

  • Menurut Ibnu Hazm, boleh dengan selain tamar atau sya’ir dan tidak boleh dengan harga nilai karena yang demikian itu bukan yang diwajibakan Rasulullah SAW. Memakai harga dalam hak-hak manusia tidak boleh kecuali saling rela, sedangkan zakat belum diketahui siapa pemilik yang tertentu untuk diminta kerelaannya atau pembebasannya.
  • Golongan Hanafiyah berpendapat tidak harus dengan jenis-jenis harta seperti yang ditegaskan dalam hadist akan tetapi boleh memberikan zakat fitrah dengan menilai harga dengan jenis- jenis harta itu, boleh memberikan zakat dengan dirham, satu dinar atau mata uang lain, atau harga benda yang lain atau apa saja yang dikehendakinya dengan alasan bahwa yang diwajibkan itu pada hakikatnya adalah dapat memenuhi kebutuhan orang-orang fakir.[65]
Dari beberapa pendapat ulama diatas dapat penulis simpulkan bahwa jenis harta yang dapat dijadikan zakat fitrah adalah yang menjadi bahan pokok suatau negeri. Misalnya di Indonesia beras, karena beras merupakan makanan pokok di Indonesia dan juga berlaku begi daerah-daerah yang makanan pokoknya seperti jagung gandum dan lain-lainnya.

RUJUKAN

[1] Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1988), h. 42.
[2] Farida Prihatini, dkk, Hukum Islam: Zakat dan Wakaf, (Jakarta:Papas Sinar Sinanti, 2005), h. 52.
[3] Yusuf al-Qardawi, Fiqhuz Zakah, Terj. Salman Harun, “Hukum Zakat”, (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2002), h. 34.
[4] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 1279.
[5] WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h. 1155.
[6] Muhammad Idris Abd al-Ro‟uf al-Marbawi, Kamus Idris Al-Marbawi, Juz 1, (Beirut: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, tt), h. 267.
[7] Sutan Muhammad Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, (Jakarta: Grafika, tt), h. 1088.
[8] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2000), h. 1003.
[9] Syekh Muhammad ibn Qâsim al-Ghazzi, Fath al-Qarîb al-Mujîb, (Dâr al-Ihya al-Kitab, al-Arabiah, Indonesia, tt), h. 158.
[10] Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Mâlîbary, Fath al-Mu’în, (Kairo: Maktabah Dar al-Turas, 1980), h. 50.
[11] Imam Taqi al-Din, Kifâyah Al Akhyâr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, 1973), h. 386.
[12] Syekh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, Terj. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998), h. 263.
[13] Abdurrrahmân al-Jazirî, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, Juz 1, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1972), h. 501/449.
[14] Ibrahim Muhammad al-Jamâl, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Terj. Anshori Umar Sitanggal, “Fiqih Wanita”, (Semarang: Asy-Syifa, 1986), h. 180.
[15] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz I, (Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tt), h. 318.
[16] Yusuf Qardawi, Fiqhuz Zakah, Terj. Salman Harun, dkk, “Hukum Zakat”, (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011), h. 920.
[17] Ibid., h. 921.
[18] Hamid Abidin, (ed), Reinterpretasi Pendayagunaan ZIS Menuju Efektivitas Pemanfaatan Zakat, Infak, Sedekah, (Jakarta: Piramedia, 2004), h. 1.
[19] Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, (Mesir: Tijariah Kubra, tt), h. 683.
[20] Ibid., Juz. 2, h. 68.
[21] Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, (Bandung: Mizan, 1994), h. 231.
[22] Abdurrahman Qadir, Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 49.
[23] Qardawi, Fiqih Zakat, jilid 3, h. 928
[24] Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Al-Gesindo, 1994), h. 208.
[25] Qardawi, Fiqih Zakat…, jilid 3, h. 928.
[26] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Penerjemah Salman Haris, Didin Hafidhuddin dan Hasanuddin, (Jakarta : Utera Antar Nusa, 1997), h. 958.
[27] Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma‘il al-Bukhariy, Matan Bukhariy, juz I (Beirut: Maktabah wa Matba’ah, tt), h. 270.
[28] Hikmat Kurnia dan A. Hidayat, Panduan Pintar Zakat, (Jakarta: Qultum Media, 2008), h. 346.
[29] Abul Walid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, diterjemahkan Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Analisis Fiqh Para Mujtahid Jilid 1, Cet. II: (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h. 626.
[30] Satu Sha’ adalah 2.172 gram.
[31] Satu mud adalah 543 gram.
[32] Abdul hayyie al-Kattani, Ahmad Ikhwani dan Budiman Mushtofa, Fiqih Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 272.
[33] Al-Bukhari, Shahih …, h. 465.
[34] Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, Terj. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), h. 316.
[35] Moh Rifa’i, moh Zuhi, Salomo dkk, Terjamah Khulashah Kifayatul Akhyar, (Semarang: Toha Putra, 1978), h. 140.
[36] As-shiddiqy, Pedoman Zakat… , h. 221.
[37] Qardawi, Hukum Zakat…., h. 934.
[38] Abi Syuja’, Iqna’ jilid 1-2, (Surabaya: al-Hidayah, tt), h. 199.
[39] Wahbah Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: Rosdakarya, 1997), h. 290.
[40] al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Jilid IV, (Semarang: Karya Thoha Putra, 1993), h. 143.
[41] Qardawi, Hukum Zakat…, h. 511.
[42] Qardawi, Hukum Zakat…, h. 536.
[43] M. Ali Hasan, Zakat dan Infak, ( Jakarta: Kencana Prenadda Media Group, 2006), h. 94.
[44] Qardlawi, Hukum Zakat, h. 529.
[45] Syuja’. Iqna’…, h. 199.
[46] Masdar Helmy, Pedoman Praktis Memahami Zakat dan Cara Menghitungnya, (Bandung, al- Ma’arif, 2001), h. 78.
[47] Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali , (Jakarta: Lentera, 2007), h. 192.
[48] Quraisy Syihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 5, cet, 9, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 651.
[49] Qardawi, Hukum Zakat…., h. 555.
[50] Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, ( Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 125.
[51] Ibid, h. 126.
[52] Qardawi, Hukum Zakat…., h. 552.
[53] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 1,( Beiru: Dar Al-Fikr, tt), h. 33.
[54] Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi …, h. 143.
[55] Qardawi, Hukum Zakat…, h. 565.
[56] Syihab, Tafsir al-Misbah…, h. 632.
[57] Ibid, 192.
[58] Sabiq, Fiqih Sunnah…, h. 331.
[59] Qardawi, Hukum Zakat…, h. 627.
[60] Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Madzhab…, h. 288.
[61] Masdar Helmy, Pedoman Praktis Memahami Zakat dan Cara Menghitungnya (Bandung: al-Ma’arif, 2001), h. 79.
[62] Sabiq, Fiqih Sunnah…, h. 334.
[63] Qardawi, Hukum Zakat… , h. 665.
[64] Zainal Abidin, Fiqih Mazhab Syafi’i, ( Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 544.
[65] Sjakal Hadi Purnomo, Sumber-sumber Zakat, ( Jakarta; Pustaka Firdaus, 1992), h. 157.