Hukum Acara Pidana

Daftar Isi


  1. Pengertian Hukum Acara Pidana
  2. Asas-Asas Umum Hukum Acara Pidana

Pengertian Hukum Acara Pidana

Hukum acara pidana disebut juga sebagai Hukum pidana formil yaitu, hukum yang mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberi definisi tentang hukum acara pidana, tetapi bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain, diberi definisi dalam Pasal 11 KUHAP.Akan tetapi definisi dari hukum acara pidana banyak diberikan oleh para sarjana.

Andi Hamzah (2002: 2), memberikan penjelasan mengenai istilah hukum acara pidana yang diuraikan sebagai berikut:

Istilah hukum acara pidana” sudah tepat dibanding dengan istilah “hukum proses pidana” atau “hukum tuntutan pidana” Belanda memakai istilah strafvordering yang kalau diterjemahkan akan menjadi tuntutan pidana, bukannya istilah strafprocesrecht yang padanannya acara pidana.

Istilah itu menurut Menteri Kehakiman Belanda pada waktu rancangan undangundang dibicarakan di parlemen karena meliputi seluruh prosedur acara pidana. Oleh karena itu, menurut pendapat penulis istilah Inggris Criminal Procedure Law lebih tepat daripada istilah Belanda.Hanya karena istilah strafvordering sudah memasyarakat maka tetap digunakan.Orang Perancis memakainya dan menamainya Coded’ Instruction Criminelle.

Sedangkan istilah yang sering dipakai di Amerika Serikat ialah Criminal Procedure Rules. Digunakan istilah rules karena di Amerika Serikat bukan saja undang-undang yang menjadi sumber hukum formal hukum acara pidana, tetapi juga putusan hakim dan dibukukan sebagai himpunan hukum.

Menurut Andi Hamzah (2002: 6), dinyatakan bahwa Ilmu Hukum Acara Pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana:

  1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran.
  2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu;
  3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pelaku dan kalau perlu menahannya;
  4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran, guna dilimpahkan kepada hakim membawa terdakwa ke depan hakim tersebut;
  5. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau denda atau tindakan tata tertib;
  6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut;
  7. Akhirnya melakukan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib;
  8. Pengertian dari Hukum Acara Pidana yaitu hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan.

Menurut Wiryono Prodjodikoro (1974: 15) memberikan batasan hukum acara pidana sebagai berikut:

Jika suatu perbuatan dari seorang tertentu menurut peraturan hukum pidana merupakan perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana, jadi jika ternyata ada hak badan pemerintah yang bersangkutan untuk menuntut seorang guna mendapat hukuman pidana, timbullah soal cara bagaimana hak menuntut itu dapat dilaksanakan, cara bagaimana akan didapat suatu putusan pengadilan, cara bagaimana dan oleh siapa suatu putusan pengadilan, yang menjatuhkan suatu hukuman pidana; harus dijalankan. Hal ini semua harus diatur dan peraturan ini lah yang dinamakan hukum acara pidana.”

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa, hukum acara pidana merupakan hukum yang menggerakkan negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran.Dalam hal ini sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu. Hukum acara pidana memberikan hak untuk mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pelaku dan kalau perlu menahannya, serta mengumpulkan bahan-bahan bukti yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran, guna dilimpahkan kepada hakim membawa terdakwa ke depan hakim tersebut. Melalui hukum acara pidana pula hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau denda atau tindakan tata tertib.

Simons dan J.M. Van Bemmelen menganggap tujuan hukum acara pidana sebagai ketentuan hukum yang mencari kebenaran materiil sehingga kebenaran formal bukanlah merupakan tujuan dari hukum acara pidana. Lilik Mulyadi(2012:12) juga menyatakan bahwa: Pedoman pelaksanaan KUHAP yang menyebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana guna “… mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil rasanya kurang sepadan dan selaras dengan ketentuan hukum acara pidana sebagai bagian dari ketentuan hukum publik yang mengatur kepentingan umum juga mencari, mendapatkan, serta menemukan “kebenaran materiil”. Jadi, bukanlah untuk” setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil.

Hakikat kebenaran materiil yang ingin dicapai oleh hukum acara pidana ini merupakan manifestasi dari fungsi hukum acara pidana, yaitu sebagai berikut:
  1. Mencari dan menemukan kebenaran;
  2. Pemberian keputusan oleh hakim; dan
  3. Pelaksanaan keputusan (Lilik Mulyadi, 2012: 12).

Fungsi mencari dan menemukan kebenaran ini selaras dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP sehingga dapat dikatakan sekali lagi merupakan “hakikat kebenaran materiil sesungguhnya”, jadi bukan “mendekati kebenaran materiil” atau terlebih lagi bukan “setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil”.

Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran meteriil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

Asas-Asas Umum Hukum Acara Pidana

  • Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption Of Innocene)

Hakikat asas ini cukup fundamental sifatnya dalam hukum acara pidana. Ketentuan asas praduga tidak bersalah eksistensinya tampak pada Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 dan penjelasan umum angka 3 huruf c KUHAP yang menentukan bahwa:

Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, danatau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Dalam praktik peradilan manifestasi asas ini dapat diuraikan lebih lanjut selama proses peradilan masih berjalan (pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan mahkamah agung Republik Indonesia) dan belum memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka terdakwa belum dapat dikategorikan bersalah sebagai pelaku dari tindak pidana sehingga selama proses peradilan pidana tersebut harus mendapatkan hak-haknya sebagaimana diatur undang-undang, yaitu hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan dalam tahap penyidikan, hak segera mendapatkan pemeriksaan oleh pengadilan dan mendapatkan putusan seadil-adilnya, hak untuk mendapatkan juru bahasa, hak untuk memperoleh bantuan hukum, dan sebagainya.

  • Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Asas ini terdapat dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 dan penjelasan umum angka 3 huruf e KUHAP. Secara konkret, jika dijabarkan bahwa dengan dilakukan peradilan secara cepat, sederhana dan biaya ringan dimaksudkan agar terdakwa tidak diperlakukan dan diperiksa sampai berlarut-larut, kemudian memperoleh kepastian prosedural hukum serta proses administrasi biaya perkara yang ringan dan tidak terlalu membebaninya.

  • Asas Hak Ingkar

Hak ingkar diatur dalam Pasal 17 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 dan Pasal 157 KUHAP adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.

  • Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum

Keterbukaan dari suatu proses peradilan (openbaarheid van het process) diperlukan guna menjamin objektivitas pemeriksaan. Hal ini secara eksplisit tercermin dari ketentuan Pasal 13 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009, penjelasan umum angka 3 huruf I KUHAP dan diuraikan dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang menentukan bahwa:

untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua siding membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atas terdakwanya anak-anak”.

  • Asas Pengadilan Memeriksa Perkara Pidana dengan Adanya Kehadiran Terdakwa

Asas ini termaktub dalam ketentuan Pasal 154, Pasal 176 ayat (2), dan Pasal 196 ayat (1) KUHAP serta Pasal 12 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 khususnya terhadap perkara-perkara yang diajukan secara biasa (pid. B) dan singkat (pid. S), dengan asas kehadiran terdakwa ini, maka pemeriksaan pengadilan secara in absentia sebagaimana dikenal dalam tindak pidana khusus (ius singulare, ius speciale, atau bijzonder strafrecht) pada tindak pidana korupsi (Undang-undang No. 20 Tahun 2001) dan tindak pidana pencucian uang (Undang-undang No. 7 Drt. Tahun 1955) dalam konteks ini tidak diperkenankan kecuali dalam acara cepat, khususnya acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan.

Akan tetapi, asas ketidakhadiran terdakwa ini kenyataannya diperlemah dalam Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman di mana menurut Pasal 12 ayat (2) undang-undang tersebut bahwa:

dalam hal tidak hadirnya terdakwa, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa”.

  • Asas Equal Before The Law

Asas ini merupakan salah satu manifestasi dari negara hukum (rechtstaat) sehingga harus adanya perlakuan yang sama bagi setiap orang di depan hukum (gelijkheid van ieder voor de wet). Dengan demikian, elemen yang melekat mengandung makna perlindungan sama di depan hukum (equal protection under the law) dan mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum (equal jucstice under the law).
  • Asas Bantuan Hukum

Asas bantuan hukum ditegaskan pada penjelasan umum angka 3 huruf f KUHAP:

setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberikan kesempatan memproleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya”.

Adapun asas bantuan hukum dalam Bab XI Pasal 56 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 dirumuskan bahwa:

setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”.

  • Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dari Lisan Pada asasanya dalam praktik pemeriksaan perkara pidana di depan persidangan dilakukan hakim secara langsung kepada terdakwa dan saksisaksi serta dilaksanakan dengan secara lisan dalam bahasa Indonesia.

Tegasnya hukum acara pidana Indonesia tidak mengenal pemeriksaan perkara pidana dengan cara mewakilkan dan pemeriksaan secara tertulis sebagaimana halnya dalam hukum perdata, implementasi asas ini lebih luas dapat dilihat dari penjelasan umum angka 3 huruf h, Pasal 153, Pasal 154, serta Pasal 155 KUHAP, dan seterusnya.

  • Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi

Apabila seseorang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan, baik mengenal orangnya maupun penerapan hukumnya, wajib memperoleh rehabilitasi apabila pengadilan memutus bebas (vrispraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) sebagaimana dimaksud Pasal 97 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:

memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya”.

  • Asas Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dilakukan oleh jaksa (Bab XIX, Pasal 270 KUHAP, Pasal 54 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009) dan kemudian pelaksanaan pengawasan dan pengamatan ini dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang didelegasikan kepada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan. Dalam praktik hakim tersebut lazim disebut sebagai “hakim wasmat” atau “kimwasmat” (Bab XX Pasal 277 ayat (1) KUHAP, Bab VI Pasal 55 Undang-undang No. 48 Tahun 2009, Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 7 Tahun 1985 tanggal 11 Februari 1985).
  • Asas Kepastian Jangka Waktu Penahanan

Pada KUHAP secara limitatif batas waktu penahanan dalam setiap tingkat pemeriksaan telah dibatasi (Lilik Mulyadi, 2012: 13-19).