Presidential Threshold dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

SUDUT HUKUM | Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menjadi acuan Pemilu 2019, merupakan penyederhanaan dan penggabungan dari 3 (tiga) buah Undang-Undang sebelumnya, yakni UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres, UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, dan UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Alasan penyederhanaan dan penggabungan ini dimaksudkan untuk mewujudkan Pemilu yang adil dan berintegritas, menjamin konsistensi pengaturan sistem Pemilu, mencegah duplikasi pengaturan dan ketidakpastian hukum pengaturan Pemilu, dan menemukan masalah-masalah pengaturan penyelenggara dan peserta Pemilu, sistem pemilihan, manajemen Pemilu, dan penegakan hukum dalam satu undang-undang Pemilu.

Presidential Threshold dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum


Setidaknya dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 ini terdapat 5 poin penting, sebagaimana yang telah dibahas di bab sebelumnya.7 Salah satunya adalah pengaturan ketentuan Presidential Threshold. Presidential Threshold adalah ambang batas bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan calon Presiden atau Wakil Presiden. Dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017, menyatakan:

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

Ambang batas itulah yang akan dijadikan syarat untuk mengajukan calon Presiden pada Pemilu masal 2019. Perlu dicatat bahwa syarat Pilpres 2019 menggunakan ambang batas Pemilu tahun 2014.

Dengan ketentuan Pasal 222 tersebut, dapat dipahami bahwa hanya partai yang memiliki perolehan suara minimal 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah secara nasional. Namun jika tidak memiliki suara sampai pada ambang batas tersebut, maka mau tidak mau partai-partai politik harus berkoalisi untuk memenuhi ambang batas agar dapat mencalonkan Presiden dan Wakilnya, sehingga terpenuhi syarat minimal20% kursi di DPR atau 25% suara sah secara nasional. Hal ini dibenarkan berdasarkan Pasal 222 ini, dan juga Pasal 223 poin (2) UU Nomor 7 Tahun 2017, yang mengatakan: “Partai Politik dapat melakukan kesepakatan dengan Partai Politik lain untuk melakukan penggabungan dalam mengusulkan Pasangan Calon.”

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus dilaksanakan secara serentak dengan Pemilu Legislatif pada Tahun 2019, dijelaskan bahwa Pemilu legislatif yang selanjutnya disebut Pileg, sehingga dengan ketetapan itu, maka acuan perolehan kursi atau suara partai-partai adalah merujuk kepada hasil Pemilu 2014. Sedangkan dalam hasil Pileg 2014, tidak ada satupun partai yang memenuhi minimal ambang batas 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional. Berikut daftar hasil Pileg 2014:

  • Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 109 kursi / 23.681.471(18,95%) suara.
  • Partai Golongan Karya (Golkar) 91 kursi / 18.432.312 (14,75%) suara.
  • Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 73 kursi / 14.760.371 (11,81%) suara.
  • Partai Demokrat 61 kursi / 12.728.913 (10,19%) suara.
  • Partai Amanat Nasional (PAN) 49 kursi / 9.481.621 (7,59%) suara.
  • Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 47 kursi / 11.298.957 (9,04%) suara.

Dengan melihat hasil perolehan suara partai-partai yang mengikuti Pileg 2014, maka dapat dipastikan partai-partai itu harus melakukan koalisi, membangun kekuatan dengan partai yang lainnya agar dapat mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam naskah akademik rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum, dikatakan bahwa alasan diadakannya ambang batas, yang dalam hal ini Presidential Threshold, bertujuan untuk memperkuat sistem pemerintahan Presidensial atau membentuk sistem pemerintahan Presidensial yang efektif. Sebab Indonesia adalah negara yang menganut sistem pemerintahan Presidensiil. Dengan tetap diberlakukannya aturan ambang batas di Pemilu 2019 diharapkan dapat semakin mengokohkan sistem Presidensiil yang dianut Indonesia.

Menurut Jimly Asshiddiqie, pengaturan ambang batas (Threshold) merupakan mekanisme yang niscaya digunakan dalam sistemPresidensial dengan multi partai. Presiden membutuhkan dukungan mayoritas diparlemen. Tanpa dukungan mutlak, Presiden sangat mungkin menjadi kurang decisive dalam upaya menggerakkan jalannya pemerintahan dan pembangunan sehari-hari.Dengan adanya sistem Threshold ini, dalam jangka panjang diharapkan dapat menjamin penyederhanaan jumlah partai politik dimasa yang akan datang. Makin tinggi angka ambang batas, diasumsikan makin cepat pula upaya mencapai kesederhanaan jumlah partai politik.