Pembaruan Hukum Pidana

SUDUT HUKUM | Sejarah pembangunan hukum di Indonesia sudah dirintis sejak setelah proklamasi kemerdekaan dan pada waktu itu telah dilakukan penyesuaian atau screening terhadap Wetboek Van Strafrech atau KUHP. Pembaruan hukum yang dilakukan oleh pemerintah tidak dapat dilepaskan dari landasan dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai sebagaimana telah dirumuskan dalam UUD 1945 secara singkat adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila, hal ini merupakan garis kebijakan umum yang menjadi landasan dan sekaligus tujuan politik hukum Indonesia serta hal ini pula yang menjadi landasan dan tujuan dari setiap usaha pembaruan hukum termasuk pula pembaruan hukum dibidang hukum pidana dan kebijakan penanggulangan kejahatan di Indonesia.

Pembaruan (reform) yaitu suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan Reformasi terhadap sesuatu hal yang akan ditempuh melalui kebijakan, artinya harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan. Berkaitan dengan pengertian pembaruan hukum pidana Barda Nawawi Arief mengemukakan yaitu:

Pembaruan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakkan hukum di Indonesia.

Pembaruan hukum yang akan ditempuh adalah hukum pidana (penal reform). Maka pengertian pembaruan hukum pidana tersebut yaitu pada hakekatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosiokultural masyarakat yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakkan hukum.

Pembaruan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana, yang secara etimologis, istilah kebijakan hukum pidana berasal dari kata “kebijakan” dan “hukum pidana”. Sebagaimana menurut Sudarto yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief: Masalah “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, “usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang.

Bertolak dari uraian tersebut di atas, pembaruan hukum pidana ditentukan dengan kebijakan hukum pidana itu sendiri, artinya pembaruan hukum pidana dapat diarahkan melalui kebijakan hukum pidana, atau adanya kebijakan hukum pidana berarti telah mengadakan suatu pembaruan hukum pidana. Barda Nawawi Arief menyatakan sebagai berikut:

Istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penalpolicy”, “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”.

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari pengertian tentang politik hukum maupun dari politik kriminal. Pengertian politik hukum menurut Sudarto adalah sebagai berikut:
  1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
  2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Mengkaji hal ini maka lebih lanjut Sudarto menjelaskan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundangundangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Selanjutnya juga dikemukakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.

Menurut A. Mulder sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief: Strafrechtspolitiek ialah garis kebijakan untuk menentukan:
  1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui ;
  2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
  3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

Pendapat yang dikemukakan oleh Mulder ini sebenarnya lebih bertolak pada pengertian sistem hukum pidana menurut Marc Ancel sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa tiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari:
  1. peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya;
  2. suatu prosedur hukum pidana, dan
  3. suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).

Menurut Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa setiap usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Maka kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan lewat bantuan pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (sosial defence) dan usaha mencapai kesejahteraan masyarakat (sosial welfare).

Oleh karena itu, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi di dalam pengertian “social policy”, sekaligus tercakup di dalamnya “social welfare policy”, dan “social defence policy”.

Kebijakan hukum pidana dapat juga dilihat sebagai bagian dari politik kriminal. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan atau perbuatan yang dilarang. Maka kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Politik kriminal merupakan usaha yang rasional dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Dirumuskan oleh Marc Ancel, politik kriminal adalah the rational organization of the control of crime by society.

Muladi dan Barda Nawawi Arief menyatakan: Kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu bentuk dari “perilaku menyimpang” yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat; tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Saparinah Sadli menyatakan bahwa perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari
kehidupan atau keteraturan sosial; dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial; dan merupakan ancaman riil atau potensiil bagi berlangsungnya ketertiban sosial. Dengan demikian kejahatan disamping merupakan masalah kemanusiaan, ia juga merupakan masalah sosial, malahan menurut Benedict S. Alper merupakan “the oldest sosial problem (masalah Sosial tertua)”.

Hal ini diperkuat oleh pendapat dari Daniel Galser yang menyatakan bahwa “crime like most topics in social psychology , refers to a class of behavior the separate instances of which have many and diverse subjective and objective aspects (kejahatan seperti topik yang paling dalam dari psikologi sosial, mengacu pada kelas contoh perilaku yang terpisah dari aspek-aspek subyektif dan obyektif yang bersifat banyak dan beragam)”.

Sebagai suatu persoalan sosial yang menuntut penyelesaian, maka upaya untuk penanggulangan kejahatan telah dimulai terus-menerus. Salah satu usaha pencegahan dan pengendalian kejahatan itu ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. Namun demikian usaha inipun masih sering dipersoalkan.

Menurut Roeslan Saleh sebagaimana dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, bahwa ada tiga alasan mengenai perlunya pidana dan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan yang pada intinya sebagai berikut:
  • Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untukmencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan, persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing.
  • Ada usaha-usaha perbaikan perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum dan disamping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja.
  • Pengaruh pidana atas hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaituwarga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.

Bertolak dari hal tersebut maka nampak bahwa prevensi khusus dan prevensi umum menjadi pertimbangan utama. Di sisi lain ada pertimbangan nilai yaitu keseimbangan antara nilai dari hasil perbuatan yang dikenakan pidana dengan biaya yang dikeluarkan.

Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakkan hukum. Disamping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakkan hukum itupun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan (hukum) pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan.

H.L. Packer dalam bukunya “The Limits of Criminal Sanction”, sebagaimana dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief:
  1. (the criminal sanction is indispensable; we could not, now or in the oreseeable future, get along without it) Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang, tanpa pidana.
  2. (the criminal sanction is the best available device we have for dealing with gross and immediate harms and threats of harm).Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya
  3. (the criminal sanction is atau once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used providently and humanely, it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener) Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.

Bertolak dari hal tersebut, maka tidak ada absolutisme dalam bidang kebijakan karena pada hakekatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Dengan demikian masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan problem social seperti dikemukakan Packer di atas, tetapi juga merupakan masalah kebijakan (the problem of policy).

Bertolak dari pengertian kebijakan hukum pidana di atas, Barda Nawawi Arief menyimpulkan, bahwa: Dilihat dari bagian dari politik hukum, maka politik hukum Pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-udangan pidana yang baik….Dengan demikian, yang dimaksud “peraturan hukum positif” (the positive rules) adalah peraturan perundang-udangan hukum pidana. Oleh karena itu, istilah “penal policy” adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”.