Jenis-jenis Hukuman dalam Hukum Pidana Islam

SUDUT HUKUM | Menurut hukum pidana Islam tindak pidana dari segi berat ringannya hukuman, dapat dibagi menjadi:

Jarimah Hudud

Jarimah hudud yaitu perbuatan melanggar hukum dan jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nash, yaitu hukuman had. Hukuman had yang dimaksudkan tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi dan tidak dihapuskan oleh perorangan (si korban atau wakilnya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri).

Jarimah hudud itu ada tujuh macam, yaitu: jarimah zina, jarimah qadzaf, jarimah syurbul khamr, jarimah pencurian, jarimah hirabah, jarimah riddah, jarimah al bagyu (pemberontakan). Dalam jarimah zina, syurbul khamr, hirabah (perampokan), riddah (murtad), dan pemberontakan yang dilanggar adalah hak Allah semata-mata. Sedangkan dalam jarimah pencurian dan qadzaf penuduhan zina) yang disinggung disamping hak Allah, juga terdapat hak manusia (individu), akan tetapi hak Allah lebih menonjol.

Jarimah Qishash

Qishash dalam arti bahasa adalah عبتت رثلاا artinya menyelusuri jejak. Selain itu qishash dapat diartikan keseimbangan dan kesepadanan. Sedangkan menurut istilah syara, qishash adalah memberikan balasan kepada pelaku sesuai dengan perbuatannya. karena perbuatan yang dilakukan oleh pelaku adalah menghilangkan nyawa orang lain (membunuh), maka hukuman yang setimpal adalah dibunuh atau hukuman mati.

  • Dasar Hukum Qishash

Dasar dari hukuman qishash dalam jarimah pembunuhan yaitu al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 178 – 179 yang berbunyi:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (QS. Al Baqaarah 178-179).


Selain itu hukuman qishash ini dijelaskan dalam hadits an-Nasa’i yang berbunyi :

(Nasa’i-6983) : Al Harits bin Miskin berkata dengan membacakan riwayat dan saya mendengar dari Sufyan dari ‘Amru dari Mujahid dari Ibnu Abbas, dia berkata; dahulu pada Bani Israil terdapat hukum qishas namun tidak ada diyat pada mereka, lalu Allah Azza wa jalla menurunkan ayat: (Hai orang- orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula)). Pemberian maaf itu adalah menerima diyat pada pembunuhan dengan sengaja, dan hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula)), serta melaksanakan ini dengan kebaikan. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat dari apa yang diwajibkan atas kaum sebelum kalian, sesungguhnya hal tersebut adalah qishas bukan diyat.


  • Syarat-syarat Qishash

Untuk melaksanakan hukuman Qishash perlu adanya syarat-syarat yang harus terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi syarat-syarat untuk pelaku (pembunuh), korban (yang dibunuh), perbuatan pembunuhannya dan wali dari korban.

Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut;

a) Syarat-Syarat Pelaku (Pembunuh)
Menurut Ahmad Wardi Muslich yang mengutip dari Wahbah Zuhaily mengatakan ada syarat yang harus terpenuhi oleh pelaku (pembunuh) untuk diterapkannya hukuman qishash, syarat tersebut adalah pelaku harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, pelaku melakukan pembunuhan dengan sengaja, pelaku (pembunuh) harus orang yang mempunyai kebebasan.

b) Korban (yang dibunuh)
Untuk dapat diterapkannya hukuman qishash kepada pelaku harus memenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan korban, syarat-syarat tersebut adalah korban harus orang orang yang ma’shum ad-dam artinya korban adalah orang yang dijamin keselamatannya oleh negara Islam, korban bukan bagian dari pelaku, artinya bahwa keduanya tidak ada hubungan bapak dan anak, adanya keseimbangan antara pelaku dengan korban (tetapi para jumhur ulama saling berbeda pendapat dalam keseimbangan ini).

c) Perbuatan Pembunuhannya
Dalam hal perbuatan menurut hanafiyah pelaku diisyaratkan harus perbuatan langsung (mubasyaroh), bukan perbuatan tidak langsung (tasabbub). Apabila tassabub maka hukumannya bukan qishas melainkan diyat. Akan tetapi, ulama-ulama selain hanafiyah tidak mensyaratkan hal ini, mereka berpendapat bahwa pembunuhan tidak langsung juga dapat dikenakan hukuman qishash.

d) Wali ( Keluarga ) dari Korban
Wali dari korban harus jelas diketahui, dan apabila wali korban tidak diketahui keberadaanya maka qishash tidak bisa dilaksankan.

  • Hal-Hal yang Menggugurkan Hukuman Qishash

Ada beberapa sebab yang dapat menjadikan hukuman itu gugur, tetapi sebab ini tidaklah dapat dijadikan sebab yang bersifat umum yang dapat membatalkan seluruh hukuman, tetapi sebabsebab tersebut memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap hukuman.

Adapun sebab-sebab yang dapat menggugurkan hukuman adalah:
  1. Meninggalnya pelaku tindak pidana,
  2. Hilangnya tempat melakukan qishash,
  3. Tobatnya pelaku tindak pidana,
  4. Perdamaian,
  5. Pengampunan,
  6. Diwarisnya qishash,
  7. Kadaluarsa (at-taqadum).

Dari beberapa sebab yang dapat menggugurkan hukuman yang paling mendekati dengan remisi adalah sebab yang ke lima yaitu pengampunan.

Jarimah Diyat

Pengertian Diyat sebagaimana dikutip dari Sayid Sabiq adalah harta benda yang wajib ditunaikan karena tindakan kejahatan yang diberikan kepada korban kajahatan atau walinya.

Diyat diwajibkan dalam kasus pembunuhan sengaja di mana kehormatan orang atas yang terbunuh lebih rendah dari pada kehormatan pembunuh, seperti seorang laki-laki merdeka membunuh hamba sahaya. Selain itu diyat diwajibkan atas pembunuh yang dibantu oleh para aqilahnya (saudara-saudara laki-laki dari pihak ayah), hal ini bilamana pembunuh mempunyai saudara. Ini diwajibkan kasus pembunuha serupa kesengajaan dan pembunuhan karena suatu kesalahan.

  • Jenis Diyat dan Kadarnya

Menurut Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad Ibn Hasan, dan Imam Ahmad Ibn Hanbal, jenis diyat itu ada 6 macam, yaitu:
  1. Unta,
  2. Emas,
  3. Perak,
  4. Sapi,
  5. Kambing, atau
  6. Pakaian.

Diyat itu ada kalanya berat dan adakalanya ringan. Diyat yang ringan dibebankan atas pembunuhan yang tidak disengaja, dan diyat yang berat dibebankan atas pembunhan yang serupa kesengajaan.

  • Sebab-Sebab yang Menimbulkan Diyat

Menurut H. Moh Anwar, sebab-sebab yang dapat menimbulkan diyat ialah:
  1. Karena adanya pengampunan dari qishas oleh ahli waris korban, maka dapat diganti dengan diyat.
  2. Pembunuhan di mana pelakunya lari akan tetapi sudah dapat diketahuai orangnya, maka diyatnya dibebankan kepada ahli waris pembunuh. Ini dikarenakan untuk memperbaiki adat kaun jahiliyah dahulu di mana jika terjadi pembunuhan yang disebabkan oleh kesalahan mereka suka membela pembunuh agar dibebaskan dari diyat dan secara logika untuk menjamin keamanan yang menyeluruh, sehingga para setiap anggota keluarga saling menjaga dari kekejaman yang dapat menimbulkan penderitaan orang lain.
  3. Karena kesulitan pelakasankan qishash. Bila wali memberi maaf atau ampunan terhadap pembunuhan yang disengaja, imam Syafi’i dan Hanbali berpendapat diyat harus yang diperberat. Tetapi Abu Hanifah berpendapat, dalam kasus pembunuhan sengaja tidak ada diyat, tetapi yang wajib adalah berdasarkan persetujuan dari kedua belah pihak (wali korban dengan pelaku pembunuh) dan wajib dibayar seketika dengan tidak boleh ditangguhkan.

Jarimah Ta’zir

Ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditentukan oleh syari’at. Dengan kata lain ta’zir adalah hukuman yang bersaifat edukatif yang ditenukan oleh hakim.

Adapun jenis dari hukuman ta’zir bermacam-macam. Menurut H. Zainudin Ali jenis hukuaman yang termasuk ta’zir antara lain hukuman penjara, skors atau pemecatan, ganti rugi, pukulan, teguran dengan kata-kata, dan jenis-jenis hukuman lain yang dipandang sesuai dengan pelanggaran dari pelakunya.

Bahkan menurut Abu Hanifah, pelanggaran ringan yang dilakukan oleh seseorang berulang kali, hakim dapat menjatuhkan hukuman mati, seperti seorang pencuri yang dipenjara tetapi masih tetap mengulangi perbuatan tercela itu ketika ia dipenjara, maka hakim berwenang menjatuhi hukuman mati kepadanya.

Hukuman pengganti yang ke dua setelah diyat yaitu ta’zir. Apabila hukuman diyat gugur karena sebab pengampunan atau lainnya, hukuman tersebut diganti dengan hukuman ta’zir. Seperti halnya dalam pembunhan sengaja, dalam pembunuhan yang menyerupai sengaja ini, hakim diberi kebebasan untuk memilih jenis hukuman ta’zir yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.

Jarimah ta’zir jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Dalam penetapan jarimah ta’zir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari madhorot (bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i (nas).

Dalam menetapkan jarimah ta’zir, prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari madhorot (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i.

Hukuman ta’zir banyak jumlahnya, dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih di antara hukuman-hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya. Hukuman ta’zir antara lain:

1) Hukuman Mati
Pada dasarnya menurut syari’ah Islam, hukuman ta’zir adalah untuk memberikan pengajaran (ta’dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukum ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa.

Akan tetapi beberapa fuqaha’ memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata- mata, pembuat fitnah, residivis yang membahayakan. namun menurut sebagian fuqaha yang lain, di dalam jarimah ta’zir tidak ada hukuman mati.

2) Hukuman Jilid
Alat yang digunakan jilid adalah cambuk yang sedang, tidak terlalu keras dan tidak terlalu lembek. Orang yang sedang sakit kalu tidak tahan dipukul maka cukup dipukul dengan dahan yang bercabang.

Jumlah jilid maksimal menurut Imam Hanafi tidak boleh melebihi hukuman jilid had, misalnya peminum khamr hanya dijilid 40 kali maka jika dijatuhi ta’zir jilidnya 39 kali. Begitu juga dengan mazhab Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan batas terendah dari hukuman ta’zir yang berupa jilid para ulama berbeda pendapat dalam menentukannya, hal ini dikembalikan pada ulil amri yang menentukan berapa kali jilidan yang dikenakan. Dan minimal memberikan dampak preventive dan represif bagi umat.

Alasan lain adalah semakin keras cambukan itu semakin menjerakan. Apabila seseorang yang dihukum ta’zir itu laki-laki maka baju yang menghalangi harus dibuka. Akan tetapi, apabila oring yang terhukum adalah seorang perempuan maka bajunya tidak boleh dibuka karena jika demikian maka terbukalah auratnya.

Hukuman jilid tidak boleh menimbulkan cacat dan membahayakan organ-organ tubuh orang yang terhukum atau membahayakan jiwa karena tujuan dari ta’zir adalah memberikan pelajaran dan pendidikan.

3) Hukuman Kawalan (Penjara Kurungan)
Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, Hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dari hukuman ini adalah satu hari, sedang batas tertinggi, ulama’ berbeda pendapat. Ulama’ Syafi’iyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama’ lain menyerahkan semuanya pada penguasa berdasarkan maslahat.

Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang-ulang melakukan jarimah yang berbahaya.

4) Hukuman Salib
Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirabah), dan untuk jarimah ini hukuman tersebut meruapakan hukuman had. Akan tetapi untuk jarimah ta’zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan hukuman mati, melainkan si terhukum disalib hidup hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalam menjalankan sholat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqaha’ tidak lebih dari tiga hari.

5) Hukuman Ancaman (Tahdid), Teguran (Tanbih) dan Peringatan
Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan syarat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Misalnya dengan ancaman akan di jilid, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakannya lagi.

Sementara hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki maki orang lain dengan menghinakan ibunya. Maka Rasulullah SAW berkata, “Wahai Abu Dzar, Engkau menghina dia dengan menjelek jelekkan ibunya. Engkau adalah orang yang masih dihinggapi sifat sifat masa jahiliyah.”

Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari’at Islam dengan jalan memberi nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam al Qur’an sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.

6) Penyitaan Harta
Ta’zir diperbolehkan berupa penyitaan harta, hukuman ta’zir dengan mengambil harta bukan berarti mengambil harta pelaku untuk diri hakim atau untuk kas umum (negara), melainkan hanya menahannya untuk sementara waktu. Hal tersebut dilakukan apabila pelaku tidak bisa bertaubat, hakim dapat mentasarufkan harta tersebut untuk kepentingan yang mengandung maslahat. Ibnu Taimiyah membagi ta’zir yang berupa penyitaan harta ini menjadi 3 bagian, yaitu menghancurkannya, mengubahnya dan memilikinya.

7) Hukuman Pengucilan (al-Hajru)
Adapun yang dimaksud dengan pengucilan adalah melarang pelaku untuk berhubungan dengan orang lain dan sebaliknya melarang masyarakat untuk berhubungan dengan pelaku. Hukuman ta’zir berupa pengucilan ini diberlakukan apabila membawa kemaslahatan sesuai kondisi dan situasi masyarakat tertentu. Dalam sistem masyarakat yang terbuka hukuman ini sulit untuk dilaksanakan karena masing-masing anggota masyarakat tidak acuh terhadap anggota masyarakat yang lain.

8) Hukuman Denda (Diyat)
Hukuman Denda ditetapkan juga oleh syari’at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, di samping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut.