Hukum Tanah Adat

SUDUT HUKUM | Salah satu bidang yang menjadi ruang lingkup pengaturan hukum adat adalah tanah. Pembidangan hukum adat menurut Van Vollenhoven (dalam Soekanto, 1983:118), yakni tentang bentuk-bentuk masyarakat hukum adat, tentang pribadi, tentang pemerintahan dan peradilan, tentang hukum keluarga, tentang hukum perkawinan, tentang hukum waris, tentang hukum tanah, tentang hukum hutang piutang, tentang hukum delik, dan tentang hukum sanksi.

Hukum adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang umumnya berbentuk tidak tertulis, tumbuh dan berkembang serta dipertahankan oleh masyarakat hukum adat, dan berpangkal dari kehendak nenek moyang. Soepomo (dalam Sodiki, 2013:14) mengatakan bahwa hukum adat itu berurat akar dalam kebudayaan tradisional, sesuai dengan fitranya sendiri, terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.

Hukum Tanah Adat


Menurut Van Dijk (dalam Andasasmita, 1983:50-51), hukum adat itu mempunyai beberapa corak, yakni mengandung sifat yang sangat tradisional karena berpangkal pada kehendak nenek moyang; hukum adat dapat berubah, tidak statis melainkan dinamis; dan bersifat elastis, sanggup menyesuaikan diri. Mengacu pada pendapat Van Dijk di atas, dapat dikatakan bahwa sifat elastis hukum adat itu dikarenakan bentuknya yang tidak tertulis, sehingga ia mampu mengadaptasi dengan kejadian dan keadaan sosial, dimana ia mudah berubah untuk menyesuaikan dengan perkembangan situasi sosial tersebut.

Istilah hukum adat yang dipakai sekarang adalah terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu dari Adatrecht, yang pertama kali dikemukakan oleh Prof. Dr. C. Snouck Hungronje dalam bukunya yang berjudul “De Atjehers” 1894. Beliau dikenal sebagai salah satu dari “Trio penemu hukum adat” bersama dengan George Alexander Wilken dan Frederik Albert Lefrinck.

Pada tahun 1929, istilah adatrecht secara resmi mulai dikenal, yakni diatur dalam undang-undang Belanda, Stbl. 1929-Nomor 221 jo Nomor 487 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1929 (Setiady, 2013:4).

Berikut dipaparkan beberapa pendapat sarjana yang memberikan pengertian tentang hukum adat.
  1. Soepomo (dalam Saragih, 1984:13), mendefinisikan hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, namun ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
  2. Christian Snouck Hurgronje (dalam Setiady, 2013:8), memberikan pengertian hukum adat, yakni adat yang mempunyai sanksi (reaksi), sedangkan adat yang tidak mempunyai sanksi (reaksi) adalah merupakan kebiasaan normatif, yaitu kebiasaan yang berujud sebagai tingkah laku yang berlaku di dalam masyarakat.
  3. J.H.P Bellefroid dalam bukunya “Inleiding tot de rechtswetenschap in Nederland” (dalam Saragih, 1984:14), memberikan pengertian hukum adat sebagai peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh penguasa namun dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.
  4. Ter Haar dalam pidato Dies Natalis Rechts Hoge School, Batavia, tahun 1937 dengan judul “Het Adatrecht van Nederlandsch Indie in wetenschap, Pracktijk en onderwijs” (dalam Muhammad, 1988:16-17), mengatakan bahwa terlepas dari bagian hukum adat yang tidak penting, yang terdiri dari peraturan desa dan surat perintah raja, hukum adat itu adalah seluruh peraturan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan yang penuh wibawa, dan yang dalam pelaksanaannya diterapkan begitu saja, artinya tanpa adanya keseluruhan peraturan, yang dalam kelahirannya dinyatakan mengikat sama sekali.
  5. Saragih (1984:14) memberikan pengertian hukum adat, yakni suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat hukum (sanksi).

Melalui penjelasan mengenai pengertian hukum adat yang diberikan oleh para sarjana di atas, dapat dikatakan bahwa oleh karena hukum adat lahir dan tumbuh bersama masyarakat, maka keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Masyarakat hukum adat mentaati hukum adat, bukan karena hukum adat tersebut mempunyai sanksi, tetapi lebih didorong oleh keyakinan bahwa hukum adat tersusun dan terbangun atas nilai, kaidah, dan norma yang disepakati dan diyakini kebenarannya oleh komunitas masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Berpedoman pada pengertian “hukum adat” yang diberikan oleh para sarjana sebagaimana telah diuraikan di atas, “hukum tanah adat” dapat didefinisikan sebagai aturan-aturan yang tidak tertulis atau kaidah-kaidah hukum yang diciptakan oleh masyarakat hukum adat untuk mengatur hak atas tanah beserta segala sesuatu perbuatan hukum pemegang hak atas tanah tersebut berkaitan dengan tanah yang dikuasainya. Dengan kalimat lain, hukum tanah adat membicarakan hak-hak atas tanah beserta perbuatan hukum yang terkait dengan tanah. Perbuatan hukum yang terkait dengan tanah meliputi: transaksi tanah dan transaksi yang bersangkutan dengan tanah.

Uraian mengenai hak-hak atas tanah dan perbuatan hukum yang terkait dengan tanah dapat dijelaskan sebagai berikut:

  • Hak-Hak Atas Tanah

Mengenai hak-hak atas tanah menurut hukum tanah adat, Harsono (2008:181) mengatakan:

Konsepsi Hukum Adat dapat dirumuskan sebagai konsepsi yang komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Sifat komunalistik menunjuk kepada adanya hak-bersama para anggota masyarakat hukum adat atas tanah, yang dalam kepustakaan disebut Hak Ulayat. Tanah Ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama, yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan gaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat, sebagai unsur pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa. Di sinilah tampak sifat religius atau unsur keagamaan dalam hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat dan tanah ulayatnya itu. ….. Para warga sebagai anggota kelompok, masing-masing mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah-bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, dengan hak-hak yang bersifat sementara, sampai dengan hak yang tanpa batas waktu, yang umum disebut hak milik.”

Dalam hukum adat, hak penguasaan atas tanah yang tertinggi yakni hak ulayat sebagai hak bersama, dan subyek haknya adalah masyarakat hukum adat, baik masyarakat hukum adat territorial maupun genealogis (Harsono, 2008:183).

Menurut Saragih (1984:74), hukum tanah adat mengenal 2 (dua) macam hak atas tanah, yakni hak persekutuan dan hak perseorangan/individu. Mengenai hak persekutuan, dalam beberapa literatur disebut dengan hak ulayat, hak pertuanan, dan hak purba. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyebut hak persekutuan dengan istilah “hak ulayat”, Soepomo menyebut hak persekutuan dengan istilah “hak pertuanan”, dan Djojodigoeno menyebut hak persekutuan dengan istilah “hak purba” (Sudiyat, 1999:2). Van Vollenhoven memberikan istilah hak persekutuan dengan istilah “beschikkingrecht”, sedangkan tanah yang merupakan wilayahnya dinamakan “beschikkingkring” (Saragih, 1984:74). Untuk pembahasan selanjutnya dalam penelitian ini digunakan istilah “hak ulayat”.

a) Hak Ulayat
Menurut Van Vollenhoven dalam bukunya yang berjudul “Miskenningen in het Adatrecht” dan “De Indonesier en zijn grond”, sebagaimana disimpulkan oleh Saragih (1984:75-76), ada 6 (enam) ciri hak ulayat, yakni:
  1. Persekutuan dan anggotanya berhak untuk memanfaatkan tanah, memungut hasil dari segala sesuatu yang ada di dalam tanah dan yang tumbuh dan hidup di atas tanah ulayat;
  2. Hak individu diliputi oleh hak persekutuan;
  3. Pimpinan persekutuan dapat menentukan untuk menyatakan dan menggunakan bidang-bidang tanah tertentu ditetapkan untuk kepentingan umum, dan terhadap tanah tersebut tidak diperkenankan diletakkan hak perseorangan;
  4. Orang asing yang mau menarik hasil dari tanah-tanah ulayat harus terlebih dahulu minta izin dari kepala persekutuan, dan harus membayar uang pengakuan, dan setelah panen harus membayar uang sewa;
  5. Persekutuan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di atas lingkungan ulayat;
  6. Larangan mengasingkan tanah ulayat, artinya baik bagi persekutuan maupun anggota-anggotanya tidak diperkenankan memutuskan secara mutlak sebidang tanah ulayat sehingga persekutuan sama sekali hilang wewenangnya atas tanah ulayat tersebut.

Menurut hukum tanah adat, hak ulayat mempunyai daya berlaku ke dalam dan ke luar (Saragih, 1984:76), artinya masyarakat hukum adat mempunyai hak tertentu atas tanah ulayat dan melakukan hak itu baik ke dalam maupun ke luar (Haar, 1987:49). Daya berlaku ke dalam, artinya bahwa masyarakat hukum adat berhak untuk memungut hasil dari tanah ulayat mereka beserta isinya (binatang, tumbuhan) yang ada di atas tanah ulayat tersebut.

Masyarakat hukum adat berhak mengatur anggota-anggotanya dalam mengambil hasil di atas tanah ulayat sehingga semua anggotanya mendapatkan bagian, dan membatasi kebebasan berbuat dari dari anggota-anggotanya dalam menggunakan haknya atas tanah ulayat untuk kepentingan sendiri. Daya berlaku ke luar, artinya anggota masyarakat hukum adat berwenang menolak pihak luar untuk ikut menikmati hasil di atas tanah ulayat mereka.

Menurut Saragih (1984:78), apabila orang-orang yang bukan anggota persekutuan/masyarakat hukum adat hendak memasuki tanah ulayat dengan niat untuk mengolahnya, maka harus mendapat izin terlebih dahulu dari kepala persekutuan dengan memberi sesuatu, misalnya di Aceh, berupa uang pemasukan, dan kepada orang luar tersebut hanya diberi hak menikmati untuk satu kali panen saja.

b) Hak Perseorangan
Anggota persekutuan/masyarakat hukum adat berhak untuk memungut hasil dari tanah ulayat mereka beserta isinya (binatang, tumbuhan) yang ada di atas tanah ulayat tersebut. Sebagai konsekuensi dari adanya hak itu, anggota masyarakat hukum adat berhak pula untuk mengadakan hubungan hukum dengan tanah ulayat beserta segala isinya, dan hubungan ini melahirkan hak-hak perseorangan dari anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Macam-macam hak perseorangan menurut hukum tanah adat, yakni hak milik atas tanah, hak menikmati (Genotrecht), hak terdahulu (Voorkeursrecht), hak terdahulu untuk beli (Naastingsrecht), hak memungut hasil karena jabatan (Ambtelijk Profijtrecht), hak pakai (Gebruiksrecht), dan hak gadai dan hak sewa (Pond end huursrecht) (Saragih, 1984:82-84, dan Haar, 1987:67-71), yang masing-masing hak tersebut dijelaskan sebagai berikut:

(1) Hak milik
Hak milik merupakan hak anggota ulayat/masyarakat hukum adat dimana anggota tersebut mempunyai kekuasaan penuh untuk bertindak atas tanah ataupun isinya, dengan membuka tanah untuk ditanami, misalnya menanam kopi, kelapa dan sebagainya. Hak milik merupakan hak yang terkuat, terpenuh dan turun-temurun di antara hak-hak perseorangan yang lainnya, dengan kewajiban agar pemilik tanah tetap harus menghormati hak persekutuan hukum, kepentingan pemilik tanah lainnya, dan peraturan hukum adat setempat.

Dalam suasana hukum tanah adat, hak milik tidaklah bebas, artinya ketika persekutuan membutuhkan tanah dimaksud, maka pemiliknya harus menyerahkan itu. Hak milik menurut hukum tanah adat dapat diperoleh melalui membuka tanah hutan/belukar, pewarisan, jual beli, tukar menukar, atau hadiah.

(2) Hak menikmati
Hak menikmati adalah hak anggota masyarakat hukum adat atau orang luar untuk menikmati hasil tanah dalam satu kali panen. Khusus untuk anggota masyarakat hukum adat, hak menikmati dapat ditingkatkan menjadi hak milik.

(3) Hak terdahulu
Hak terdahulu adalah hak anggota masyarakat hukum adat untuk mengusahakan tanah, dimana anggota tersebut didahulukan daripada anggota yang lain, atau hak yang diperoleh seseorang lebih utama dari yang lain untuk mengolah sebidang tanah yang telah dipilihnya dengan memberikan tanda-tanda batas. Hal ini berarti bahwa di antara anggotaanggota masyarakat hukum adat, hanya anggota yang terdahulu yang berhak mengerjakan tanah itu buat dia sekeluarga.

(4) Hak terdahulu untuk beli/hak wenang beli
Hak terdahulu untuk beli/hak wenang beli, yaitu hak seseorang lebih utama dari yang lain, untuk mendapatkan kesempatan membeli tanah tetangganya dengan harga yang sama. Hak wenang beli dapat diberikan kepada sanak saudara si penjual, anggota masyarakat hukum adat lainnya, atau tetangga yang tanahnya berbatasan langsung dengan tanah yang hendak dijual. Hak wenang beli dimaksudkan untuk mencegah agar tanah tersebut tidak dibeli oleh orang asing dari luar masyarakat hukum adat.

(5) Hak memungut hasil karena jabatan/hak keuntungan jabatan
Hak memungut hasil karena jabatan/hak keuntungan jabatan adalah hak atas tanah yang diberikan kepada pengurus masyarakat hukum adat selama dia menjadi pengurus. Syaratnya adalah selama memegang jabatan ia boleh menggarap, menyewakan, menikmati hasil dari tanah tersebut, tetapi tidak boleh memindahtangankan kepada orang lain, dan jika masa jabatannya telah selesai, dia harus menyerahkan kembali kepada persekutuan guna diberikan lagi kepada pejabat baru.

(6) Hak pakai, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk menggunakan tanah atau memungut hasilnya.
(7) Hak gadai dan hak sewa, yaitu hak yang timbul karena perjanjian-perjanjian atas tanah.

  • Transaksi Tanah

Transaksi tanah (grondtransakstie) merupakan perjanjian tentang tanah yang diatur dalam hukum tanah adat dalam keadaan bergerak, karena dengan perjanjian hak-hak manusia atas tanah beralih dari
seseorang kepada orang lain (Saragih, 1984:86). Dalam transaksi tanah terjadi penyerahan (jual) obyek tanah sebagai prestasi yang berjalan serentak dengan penerimaan pembayaran tunai (seluruhnya, kadangkadang sebagian) selaku kontra prestasi (Sudiyat, 1999:28).

Lebih lanjut Sudiyat menjelaskan bahwa di dalam hukum tanah adat, transaksi tanah (jual) dapat mengandung 3 (tiga) maksud, yakni:
  1. Menjual Gadai, menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai, dengan ketentuan si penjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali;
  2. Menjual Lepas, menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai, tanpa hak menebus kembali, penyerahan itu berlaku untuk selamnya;
  3. Menjual Tahunan, menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai, dengan janji tanpa suatu perbuatan hukum lagi, tanah itu akan kembali dengan sendirinya kepada pemiliknya sesudah beberapa tahun/panen sesuai perjanjian.

Dalam menjual gadai, pembeli gadai berhak untuk: menikmati manfaat yang melekat pada hak milik (dengan pembatasan bahwa pembeli gadai tidak boleh menjual lepas tanah itu kepada orang lain dan tidak boleh menyewakan untuk lebih dari satu musim lamanya); mengoperkan gadai atau menggadaikan kembali jika ia sangat memerlukan uang; dan mengadakan perjanjian bagi hasi/paruh hasil tanam (Sudiyat, 1999:29).

Dalam menjual lepas, perjanjian dilakukan di hadapan kepala persekutuan hukum, dibuktikan dengan pembayaran harga tanah oleh pembeli dan disambut dengan kesediaan penjual untuk memindahkan hak miliknya kepada pembeli (Sudiyat, 1999:33). Dalam jual tahunan, si pembeli tahunan berhak untuk mengolah tanah, menanami dan memetik hasilnya, dan berbuat dengan tanah itu seakanakan miliknya sendiri (Sudiyat, 1999:35).

  • Transaksi Yang Bersangkutan Dengan Tanah

Dalam transaksi yang bersangkutan dengan tanah, obyek transaksinya bukanlah tanah, walaupun dalam transaksi tersebut tanah tersangkut (Saragih, 1984:97). Macam-macam transaksi yang bersangkutan dengan tanah, antara lain:
  1. perjanjian bagi hasil (deelbouw overeenkomst), yakni hubungan hukum antar seorang yang berhak atas tanah/pihak pertama dengan pihak lain/pihak kedua, dimana pihak kedua ini diperkenankan mengolah tanah yang bersangkutan, dengan ketentuan hasil dari pengolahan tanah dimaksud dibagi dua antar kedua pihak (Saragih, 1984:97).
  2. sewa tanah, yakni mengizinkan pihak lain untuk mengusahakan tanahnya dengan keharusan membayar sejumlah uang tertentu sebagai uang sewa kepada pemilik tanah (Saragih, 1984:99).
  3. transaksi pinjam uang dengan tanggungan tanah, yakni seorang berjanji bahwa selama hutangnya belum lunas tidak akan membuat transaksi tanah atas tanahnya, kecuali untuk kepentingan kreditur. Dalam transaksi ini, sebagai transaksi pokok adalah pinjam uang, sedangkan transaksi tambahan (accessoir) adalah tanah sebagai tanggungan (Sudiyat, 1999:42).
  4. numpang rumah dan numpang pekarangan, yakni mengizinkan orang lain untuk mendirikan atau mendiami sebuah rumah di atas pekarangan seseorang. Hampir sama dengan sewa, tapi si penumpang tidak membayar apa-apa. Jika pemilik tanah (rumah) mencabut hak numpang dari si penumpang, pemilik tersebut harus membayar ongkos pindah (Saragih, 1984:102).