Sejarah Pengangkatan Anak

SUDUT HUKUM | Secara historis, adopsi atau pengangkatan anak sudah dikenal jauh sebelum Islam berkembang. Mahmud Syaltut menjelaskan, bahwa tradisi pengangkatan anak sebenarnya di praktikan oleh masyarakat dan bangsa-bangsa lain sebelum kedatangan Islam, seperti yang dipraktikan bangsa Yunani, Romawi, India, dan beberapa bangsa pada zaman kuno. Dikalangan bangsa Arab sebelum Islam (masa Jahiliyah) istilah pengangkatan anak dikenal dengan at-Tabani dan sudah ditradisikan secara turun temurun.

Imam Al-Qurtubi ( ahli tafsir klasik ) menyatakan bahwa sebelum kenabian, Rasulullah SAW sendiri pernah mengangkat Zaid bin Zaid bin Haritsah menjadi anak angkatnya. Bahkan Nabi tidak lagi memanggil Zaid berdasarkan nama ayahnya ( Haritsah), tetapi ditukar oleh Rasulullah SAW dengan nama Zaid Bin Muhammad. Pengangkatan Zaid sebagai anaknya diumumkan oleh Rasulullah Muhammad SAW di depan kaum Qurasyi. Nabi Muhammad SAW juga menyatakan bahwa dirinya dan Zaid saling mewarisi.

Zaid kemudian dikawinkan dengan Zainab binti Jahsyi, putri Aminah binti Muthallib, bibi nabi Muhammad SAW. Oleh karena Nabi telah menganggapnya anak sebagai anak, maka para sahabatpun kemudian memanggilnya Zaid bin Muhammad.

Setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul, turunlah surat al- Ahzab ayat 4 dan 5 yang berbunyi:

Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhiharitu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).(4). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(5)” (Al-Ahzab: 4-5)

Surat al-Ahzab tersebut dalam garis besarnya dapat dirumuskan sebagai berikut:
  1. “Allah tidak menjadikan dua hati dalam satu dada manusia”. Pangkal ayat ini adalah dasar hidup untuk jadi pegangan bagi orang yang mempunyai aqidah Tauhid. Dalam ungkapan secara modern ialah bahwa orang yang pecah tujuan hidupnya atau pecah kumpulan cintanya adalah orang yang sebagai menghentakkan kayu yang berjupang dua ke dalam bumi, niscaya tidak akan mau terbenam. Maka tidaklah akan beres berfikir seorang yang dalam hatinya berkumpul menyembah kepada Allah dengan menyembah kepada benda. Itu namanya musyrik. Kalau sekali hati telah bulat menyembah kepada Allah, persembahan kepada kafir dan munafiq atau persembahan kepada benda mesti ditinggalkan.
  2. Anak angkatmu bukan anak kandungmu”. Pada zaman jahiliyah orang memungut anak orang lain lalu dijadikannya anaknya sendiri. Anak yang diangkat itu berhak membangsakan diri kepada orang yang mengangkatnya itu. Bahkan hal ini terjadi pada diri Nabi Muhammad SAW sendiri. Seorang budak, (hamba sahaya) yang dihadiakan oleh istrinya Khadijah untuk merawat beliau, bernama Zaid anak Haritsah. Karena sayangnya kepada anak itu beliau angkat anak dan hal ini diketahui umum.
  3. Panggilan anak angkatmu menurut nama bapaknya”. Dahulu Zaid budak yang dimerdekakan dan diangkat anak di zaman jahiliyah oleh Nabi itu dipanggilkan Zaid bin Muhammad. Dengan ayat ini datanglah ketentuan supaya dia memanggil kembali menurut yang sewajarnya, yaitu Zaid bin Haritsah. Ada juga kejadian seorang anak yang kematian ayah sewaktu dia masih amat kecil. Lalu ibunya kawin lagi dan dia diasuh dan dibesarkan oleh ayah tirinya yang sangat menyayangi dia. Dengan tidak segan-segan si anak menaruhkan nama ayah tirinya di ujung namanya, padahal bukan ayah tirinya itu ayahnya yang sebenarnya. Itu pun salah. Karena walaupun betapa tingginya nilai kasih sayang dan hutang budi, namun kebenaran tidaklah boleh diubah dengan mulut. Mengganti nama ayah itu pun satu kedustaan.

Dari ketentuan diatas sudah jelas, bahwa Allah melarang pengangkatan anak dengan akibat hukum seperti di atas (saling mewarisi) dan memanggilnya sebagai anak kandung.

Adapun pengangkatan anak di negara-negara Barat berkembang setelah berakhirnya Perang Dunia II. Saat itu banyak terdapat anak yatim piatu yang banyak kehilangan orang tua karena gugur dalam perperangan, di samping banyak pula yang lahir di luar perkawinan yang sah. Karena sistem hukum Barat yaitu hukum Belanda berlaku di Indonesia, maka pengangkatan anak di Indonesia selain berdasarkan kepada BW tersebut, juga diatur dalam Staatsblad (Lembaran negara) No. 129 Tahun 1917. Dalam lapangan hukum perdata umum, pengangkatan anak tidak saja berasal dari anak yang jelas asal usulnya, tetapi juga anak yang lahir diluar perkawinan yang sah (tidak jelas asal usulnya).