Landasan Pemikiran Indonesia sebagai Negara Hukum Pancasila

SUDUT HUKUM | Sebagaimana yang telah diuraikaan dalam substansi dari bab-bab sebelumnya maka untuk memperkaya literatur mengenai pembahasan ini sejatinya telah dilengkapi dengan pemahaman bermula dari inisatif mengenai negara hukum yang dikenal sejak abad ke 19, hukum berfungsi sebagai pengendali stabilitas negara. Sehingga penting adanya eksistensi penerapan hukum pada setiap negara dengan perangkat Pemerintahan dan masyarakatnya. Untuk dapat mengetahui kekuatan suatu hukum adalah melalui wujud kesadaran dan kepatuhan sebagai subjek hukum negara dan bukan semata-mata karena kekuatan seseorang (impersonal)”.

Landasan Pemikiran Indonesia sebagai Negara Hukum Pancasila


Ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Fakor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi.

Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”. Sesungguhnya menganggap pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Plato dalam bukunya yang berjudul “Nomoi” diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Laws”, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno.[1]

Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu memiliki kesamaan makna negara hukum Indonesia yang mencakup empat elemen penting, yaitu:
  1. Penghormatan Hak Asasi Manusia.
  2. Pembagian Kekuasaan.
  3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
  4. Peradilan tata usaha Negara.
Kejelasan dari peran pelaksana penegakan hukum di atas melekat dari bentuk dan unsur pelaksananya dikenal sebagai lembaga penegak hukum, artinya baik merupakan lembaga, organisasi maupun Instansi-instansi yang di dalamnya terdapat petugas-petugas yang berkaitan erat dengan sistem peradilan. Bila suatu negara hukum menghendaki adanya unsur-unsur dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan maka acuan awal yang menjadi bahan pemikiran diantaranya:[2]
  1. Adanya penghormatan Hak Asasi Manusia sebagai warga negara. Unsur ini ditempatkan yang pertama kali karena negara itu terbentuk dari adanya kontrak sosial. Karena individu-individu dalam ikatan kehidupan bersama dalam negara menyerahkan hak-hak politik dan sosialnya kepada komunitas negara, maka negara harus memberikan jaminan kepada hak-hak yang melekat di dalam individu-individu maupun di dalam ikatan kehidupan kemasyarakatan. Hal ini bisa terjadi, karena di dalam kontrak sosial tersebut kedudukan antara negara sebagai suatu ikatan organisasi disatu pihak dengan warga negara secara keseluruhan di pihak lain adalah sejajar.
  2. Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan. Untuk memberikan jaminan terhadap perlindungan hak-hak asasi manusia, maka kekuasaan di dalam negara harus dipisah-pisah dan dilaksanakan oleh beberapa organ negara. Sejarah peradaban manusia membuktikan bahwa ketika kekuasaan itu dilaksanakan secara absolut oleh satu tangan dan dilaksanakan secara otoriter karena tidak dilandasi aturan main, maka terjadilah penindasan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan.
  3. Asas Legalitas Pemerintahan. Maksud dari asas ini adalah pemerintah dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya harus berdasarkan pada hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hukum harus menjadi landasan bagi negara dalam menjalankan pemerintahan.
  4. Prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak. Prinsip seperti ini bagi negara hukum sangatlah penting. Supremasi hukum yang diletakkan dalam kehidupan ketatanegaraan harus benar-benar terjamin pelaksanaannya. Peradilan yang bebas dan tidak memihak tidak semata-mata diletakkan dalam konteks kebebasan lembaga peradilan, yakni melalui prinsip independensi hakim, melainkan harus diletakkan dalam konteks proses peradilan dalam rangka penegakan hukum (law enforcement).
Sedangkan ahli hukum seperti Utrecht membedakan antara Negara hukum formil atau Negara hukum klasik, dan negara hukum materiel atau Negara hukum modern.[3] Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu negara hukum materiel yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya.

Bila fakta mengenai makna negara hukum tersebut disandingkan dengan Indonesia maka dapat dikatakan Indonesia adalah negara hukum materiel (Wetmatigheid van Bestuur) karena Indonesia adalah negara hukum yang demokrasi, sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) pada BAB I mengenai Bentuk Kedaulatan Negara dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 versi Amandemen (UUD 1945) dikenal sebagai sebagai Doelmatige Negara Republik Indonesia, dinyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” melalui ketentuan tersebut diperlukan peran pelaksana penegakan hukum yang jelas demi mewujudkan tegaknya supremasi hukum di Indonesia.

Berbeda dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum amandemen, penegasan tentang Indonesia sebagai negara hukum ada dalam Penjelasan UUD 1945 dengan klasifikasi hukum dasar yang tertulis disamping itu berlaku hukum dasar yang tidak tertulis, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis. Bahan kajian hukum dasar suatu negara, tidak cukup hanya menyelidiki pasal-pasal UUD 1945, tapi harus melihat sebagaimana prakteknya dan bagaimana kebatinan dari UUD 1945 pada masa itu. Harmonisasi dalam substansi setelah dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 dengan berpedoman kepada:
  1. Negara Indonesia mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar kemanusiaan yang adil dan beradab;
  2. Adanya persatuan hingga masa pembangunan saat ini, dengan memelihara budi pekerti kemanusiaan dan memegang teguh cita-cita luhur bangsa Indonesia.

Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum;

Negara yang berkedaulatan rakyat berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan;


Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Substansi di atas mencerminkan setiap unsur dari Pancasila sebagai dasar Negara, pedoman dan tolok ukur kehidupan berbangsa dan bernegara di negara Republik Indonesia. Deviasi pedoman dan tolok ukur Pancasila tersebut bisa berupa penambahan, pengurangan, dan penyimpangan dari makna yang seharusnya tidak lain dengan kehidupan berpolitik, etika politik Indonesia tertanam dalam jiwa Pancasila. Proses pengambilan keputusan suatu kebijakan politik mapun yang lainnya haruslah dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila.

Pancasila mempunyai definisi yang sangat fundamental, yaitu dasar falsafah Negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945. oleh karena itu, setiap warga Negara Indonesia harus mempelajari, mendalami, menghayati, dan mengamalkannya dalam segala bidang kehidupan selain itu Pancasila termasuk ideologi yang diakui dunia maka Pancasila bukan termasuk paham komunis dan bukan kapitalis. Pancasila pun bukan berpaham individualisme dan kolektivisme. Bahkan bukan pula berpaham teokrasi dan bukan perpaham sekuler. Posisi Pancasila inilah yang merepotkan aktualisasi nilai-nilainya ke dalam kehidupan praktis berbangsa dan bernegara. Dinamika aktualisasi nilai Pancasila bagaikan pendelum (bandul fisis) yang selalu bergerak ke kanan dan ke kiri secara seimbang tanpa pernah berhenti tepat di tengah.

Sebelum adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Pemerintah Indonesia sempat hendak mengubah haluan politiknya dengan mempraktikan sistem demokrasi liberal. Dengan kebijakan ini berarti Pemerintah Indonesia menjadi pro liberalisme dan haluan politk negara berubah. Saat itu adanya kebijakan menguntungkan dimanfaatkan oleh kekuatan politik di Indonesia yang berhaluan Komunisme, hal ini tampak pada kebijaksanaan pemerintah yang anti terhadap kapitalisme dan pro liberalisme dengan dibuatnya poros Jakarta-Peking dan Jakarta-Pyong Yang. Puncaknya adalah peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Berkat antisipatif melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka negara Indonesia dapat kembali kepada Ideologi Pancasila.

Peristiwa ini menjadi pemicu tumbangnya pemerintahan Orde Lama (Ir. Soekarno) dan berkuasanya pemerintahan Orde Baru (Jenderal Purn. Suharto). Pemerintah Orde Baru berusaha mengoreksi segala penyimpangan yang dilakukan oleh regim sebelumnya dalam pengamalan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah Orde Baru merubah haluan politik yang tadinya mengarah ke posisi Kiri dan anti Barat menariknya ke posisi Kanan. Namun regim Orde Barupun akhirnya dianggap penyimpang dari garis politik Pancasila dan UUD 1945, Ia dianggap cenderung ke praktik liberalisme-kapitalistik dalam menggelola negara. Pada tahun 1998 muncullah gerakan reformasi yang dahsyat dan berhasil mengakhiri 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Setelah tumbangnya regim Orde Baru telah muncul 4 rezim Pemerintahan Reformasi sampai saat ini. Pemerintahan-pemerintahan rezim Reformasi ini semestinya mampu memberikan koreksi terhadap penyimpangan dalam mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam praktik bermasyarakat dan bernegara yang dilakukan oleh Orde Baru.[4]

Bentuk negara hukum Indonesia ini memiliki orientasi terhadap pembagian kekuasaan yang mana Badan Pemerintahan harus ditata sedemikian rupa agar orang tidak merasa takut padanya, seperti halnya setiap orang tidak merasa takut terhadap orang lain di sekitarnya. Penataan badan negara atau pemerintahan yang akan menjamin kebebasan tersebut, menurut Montesquieu dilakukan dengan cara pemisahan badan pemerintahan ke dalam tiga cabang kekuasaan. Tanpa pemisahan itu, maka tidak akan ada kebebasan. Dikemukakan oleh Montesquieu dalam ‘The Spirit of The Laws’ dalam pembenaran doktrin pemisahan kekuasaan (Separation of Power).[5]

Namun penerapan pembagian kekuasaan di indonesia tidak sepenuhnya mengadopsi pembagian kekuasaan sebagaimana konsep yang dikemukakan oleh Montesquieu, sebab memiliki alasan karena Indonesia memiliki ideologi Pancasila yang terkandung dalam UUD 1945 dalam membangun doktrin-doktrin hukum, dapat dikatakan menjadi inti dari keseluruhan reformasi berbagai bidang hingga pada sistem peradilan pidana saat ini dan masih merupakan instrumen penting sebagai sarana penanggulangan kejahatan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Namun demikian di dalam praktek penegakan hukum selama ini terjadi ketimpangan dalam perlakuan terhadap pelaku tindak pidana dan korban kejahatan. Hak-hak dan kepentingan korban tindak pidana lebih banyak terabaikan dibandingkan hak-hak dan kepentingan pelaku tindak pidana. Terabaikannya hak-hak korban terdapat baik pada tataran normatif maupun praktis dalam praktik penegakan hukum melalui mekanisme sistem peradilan pidana.

Deskriptif dalam melakukan penegakan hukum (law enforcement) yang sangat luar biasa. dapat dikatakan menjadi adagium yang tidak realistis. Namun adagium tersebut, menjadi cambuk bagi para pihak yang hidup dan penghidupannya bersinggungan dengan berbagai masalah hukum. Layaknya mata uang yang memiliki dua sisi, disatu sisi semangat melakukan law reform (reformasi hukum) melalui proses law enforcement secara due process of law seakan-akan tidak pernah padam, baik Akademisi dan Praktisi Hukum selalu dengan lantang menyuarakan asas-asas dan norma-norma hukum yang selayaknya diterapkan dalam praktek. Namun di sisi lain, hilangnya semangat dan kepercayaan kepada hukum sebagai ujung tombak dalam memperoleh keadilan dan kepastian hukum oleh sebahagian besar masyarakat. Peradilan pidana sebagai tempat pengujian dan penegakkan hak-hak asasi manusia memiliki ciri khusus, yaitu terdiri dari sub-sub sistem yang merupakan kelembagaan yang berdiri sendiri-sendiri, tetapi harus bekerja secara terpadu agar dapat menegakkan hukum sesuai harapan masyarakat pencari keadilan.

Proses peradilan pidana yang terdiri dari serangkaian tahapan mulai dari penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, hingga pemidanaan, merupakan kegiatan yang sangat kompleks dan dapat dikatakan tidak mudah difahami serta kadang kala menakutkan bagi masyarakat awam. Persepsi yang demikian tidak dapat dihindari sebagai akibat banyaknya pemberitaan di media massa yang menggambarkan betapa masyarakat sebagai pencari keadilan seringkali dihadapkan pada kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, baik disebabkan oleh ketidaktahuan mereka akan hukum maupun perlakuan tidak simpatik dari aparat penegak hukum.

Indonesia sebagai negara yang sedang membangun dan pemerintahan harus mengatur serta mengartikulasikan kepentingan masyarakat yang sangat plural ini, tentunya tidak dapat menghindarkan diri dari pengaruh regional dan internasional, sebagai akibat kemajuan tehnologi komunikasi yang canggih. Saat ini dihadapkan pada persoalan baru, yang menjadi issue internasional, berupa demokratisasi hukum. hukum sebagai alat rekayasa sosial berpasangan dengan sarana ketertiban mulai banyak dikritik sebab itulah ideologi Pancasila harus dapat berperan sebab pengamalan sila pertama sebagai tidak dapat disalah artikan walau telah munculnya konsep baru, hukum sebagai sarana modifikasi sosial, yaitu suatu pemikiran yang berusaha memasukan pemahaman hukum sebagai sarana perlindungan hak-hak warganegara yang berintikan pengaturan dengan mengedepankan kepentingan umum yang menjunjung tinggi nilai Spiritual (Berketuhanan Yang Maha Esa).

Karena lingkup pemikiran itu muncul, bersamaan pula dengan kebutuhan akan keterpaduan sistem peradilan pidana (integrated criminal justice system), yaitu suatu sistem yang menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara, masyarakat dan individu, termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan. Istilah Sistem Peradilan Pidana atau criminal justice system kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan sistem.[6] Karena bersentuhan dengan sistem dan tetap menjaga nilai-nilai Pancasila. Maka wacana perbincangan mengenai suatu Sistem Peradilan Pidana sangat erat kaitannya dengan konfigurasi berbagai macam elemen dari sebuah negara.

Kombinasi subsistem dalam Sistem Peradilan Pidana bukan hanya diarahkan kepada tujuan penanggulangan kejahatan, namun diarahkan pula kepada pengendalian terjadinya kejahatan dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima. Keberhasilan suatu sistem, dapat diketahui dengan jika berbanding lurus dengan diterimanya keluhan-keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan, mampu menghadirkan si petindak ke depan persidangan dan terlaksananya putusan pengadilan. Gesekan kewenangan diantara sub-sistem Polisi dan Jaksa dalam berbagai kasus, yang pada akhirnya bukan menimbulkan keterpaduan sub-sistem dalam Sistem Peradilan Pidana, melainkan “arogansi” di antara sub-sistem tersebut untuk memperlihatkan dan mempertahankan monopoli kewenangannya masing-masing.[7] gelombang ketidak percayaan terhadap Kepolisian dan Kejaksaan, yang kemudian memunculkan lembaga-lembaga baru dalam proses penegakan hukum, yaitu Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), menambah panjang polemik kewenangan dalam proses law enforcement.

Masih segar dalam ingatan masyarakat Indonesia atas benturan kewenangan antara Kepolisian dengan KPK dalam hal melakukan penyidikan terhadap indak pidana korupsi, mulai dari kasus kriminalisasi terhadap pimpinan KPK hingga perebutan proses pemeriksaan kasus tindak pidana korupsi kasus yang sulit diselesaikan seperti kasus Bank Century atau kejahatan pajak atau BLBI. Istilahnya, kasus suap atau gratifikasi kemudian terkait pengadaan alat simulasi SIM ditambah benturan kewenangan antara LPSK dengan Kepolisian terkait status hukum Susno Duadji, ada pula permasalahan antara Komisaris Jendral Budi Gunawan dan Bambang Widjodjanto padahal telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahn 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berkaitan dengan kewenangan KPK dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang berada di atas kewenangan Penyidik Kepolisian, namun lemahnya koordinasi yang berujung kepada munculnya Memorandum of Understanding (MoU) antara Kepolisian, KPK dan Kejaksaan Agung dalam membagi kewenangan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, justru memperburuk keteraturan norma yang diatur secara yuridis normatif dalam suatu peraturan perundang-undangan sehingga hal tersebut menciderai adanya nilai persatuan indonesia yang tersebut dalam Pancasila.

Demikian pula yang terjadi dalam kewenangan untuk menentukan suatu peristiwa adalah merupakan tindak pidana atau bukan, dapat kita cermati dalam peristiwa “Souvenir Ipod” pada pernikahan Sekretaris Mahkamah Agung. Dimana Mahkamah Agung bersama Komisi Yudisial melakukan penafsiran sendiri atas klasifikasi tindak pidana gratifikasi. Merujuk kepada perilaku-perilaku tersebut, jika dilihat dari aspek kebijakan hukum pidana (penal policy), adressat dari hukum pidana tidak hanya mengatur perbuatan warga masyarakat pada umumnya, tetapi juga mengatur penguasa/aparat penegak hukum. Bahwa pembatasan dan pengawasan/pengendalian kekuasaan Negara merupakan dimensi yuridis dari hukum pidana bukanlah “mengatur masyarakat” tetapi “mengatur penguasa”.[8]

Keberlakuan kebijakan Hukum Pidana secara prinsipil mengandung kebijakan mengatur dan membatasi hak warga masyarakat pada umumnya untuk dapat berkesempatan memberikan aspirasinya dalam berkontibusi menilai baik dan buruk dari sistem peradilan dan kondisi ini menjadi fakta bahwa penerapan sila ke-4 (empat) dari Pancasila dalam praktik tidak teraksana termasuk untuk bertindak dalam kewenangan kritisi terhadap tindakan penguasa atau penegak hukum. Karena itulah untuk merancang Sistem Perdilan Pidana seharusnya melekatkan implementasi suatu sistem hukum. Pembentukan sistem hukum yang memiliki perspektif Pancasila, itu pun wajib bergantung bagaimana pembentuk undang-undang (Presiden bersama DPR), dalam menyusun suatu peraturan perundang-undangan yang bersifat integral dan komprehensif. Dan pula seharusnya memahami terkait kajian-kajian atas teori-teori Separation of Power dan kebijakan administrasi publik.

Keterkaitan antara institusi penegak hukum mengatur secara partial, walaupun kemudian terdapat pandangan bahwa kewenangan penyidik memiliki ketergantungan dengan kewenangan Jaksa, dan kewenanan pengadilan dalam memutus perkara tergantung kepada kewenangan Polisi dan Jaksa, namun eksistensi peraturan perundang-undangan tersebut, belumlah mengatur secara komprehensif berkaitan mengenai interrelasi dari masing-masing kewenangan.

Sehingga, jika Sistem Peradilan Pidana menginginkan keterpaduan, maka perlu dibentuk satu kebijakan hukum pidana yang mengatur kewenangan-kewenangan itu dalam satu peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dikarenakan, peraturan perundang-undangan yang ada saat ini mengatur struktur suatu lembaga/institusi yang tercampur dengan kewenangan fungsional, yang pada dasarnya telah pula diatur di dalam KUHAP. Sehingga terjadi pengulangan redaksional dan penafsiran yang sumir atau bersifat illusoir (sia-sia).

Kebijakan pembentukan peraturan perundang-undangan pidana yang menjadi masalah klasik dan hingga kini belum terwujud adalah bagaimana terkatung-katungnya pembahasan Rancangan KUHP dan Rancangan KUHAP. Selama ini usaha pembaharuan KUHP hanya dilakukan secara parsial dan tidak komprehensif, dengan merubah pasal-pasal yang dianggap sudah tidak sesuai melalui beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu antara lain:[9]
  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang merubah nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) menjadi Wetboek van Strafrecht(WvS) atau lebih dikenal dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), serta adanya perubahan beberapa pasal dan krimininalisasi delik pemalsuan uang dan kabar bohong.
  2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan. Undang-undang ini menambahkan jenis pidana pokok yaitu berupa pidana tutupan.
  3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1951 tentang Penangguhan Pemberian Surat Izin kepada Dokter dan Dokter Gigi; Undang-undang ini menambahkan jenis kejahatan yang berkaitan dengan praktek dokter.
  4. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah RI dan Mengubah KUH Pidana dengan menambahkan jenis kejahatan terhadap bendera RI.
  5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP; Adapun ketentuan yang dirubah adalah dengan memperberat ancaman pidana Pasal 359, 360, dan memperingan ancaman pidana Pasal 188.
  6. Undang-Undang Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP yaitu dengan merubah vijf en twintig gulden dalam beberapa pasal dengan menambahkan sejumlah angka, menjadi dua ratus lima puluh rupiah.
  7. Undang-Undang Nomor 18 Prp Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam KUHP dan dalam Ketentuan-ketentuan Pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945.
  8. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, yaitu dengan menambahkan Pasal 156a.
  9. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penerbitan Perjudian; dengan memperberat ancaman pidana bagi perjudian (Pasal 303 ayat (1) dan Pasal 542) dan memasukkannya Pasal 542 menjadi jenis kejahatan (Pasal 303 bis)).
  10. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan ; UU ini memperluas ketentuan berlakunya hukum pidana menurut tempat (Pasal 3 dan 4), penambahan Pasal 95a, 95b, dan 95c serta menambahkan Bab XXIX A tentang Kejahatan Penerbangan.
  11. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara; dengan menambahkan jenis tindak pidana terhadap keamanan negara Pasal 107 a-f.
  12. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945;
  13. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-V/2007 menyatakan Pasal 154 dan 155 KUHP bertentangan dengan UUD 1945.
  14. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP; yang menaikkan jumlah denda Rp 250,- sebanyak 10.000 kali menjadi Rp 2.500.000,-
Kesimpangsiuran proses peradilan pidana tersebut sangat tidak ditanggapi serius oleh Pemerintah terlebih pemerintah hanya sibuk dengan maslah yang lain walaupun pada kenyataannya Pemerintah memiliki bagian-bagian hukum yang membidangi masalah tersebut dan melakukan sosialisasi kepada masyarakat, sehingga seolah-olah proses peradilan pidana menjadi dilematis bagi masyarakat. Kondisi tersebut tidak saja berlangsung pada saat proses peradilan pidana terjadi, namun pada fase pemidanaan atau putusan pengadilan hingga eksekusi putusan, keterlibatan masyarakat sangat diabaikan. Masyarakat seolah-olah menjadi pihak yang tidak berkepentingan atas proses peradilan pidana, dari hulu hingga hilir, sehingga tujuan idee des recht atau Ajaran Cita Hukum Pancasila[10], dalam memberikan kemanfaatan kepastian dan keadilan hukum bagi masyarakat.


Rujukan

  1. Plato: The Laws, Penguin Classics, edisi tahun 1986. (dalam terjemahan bahasa Inggris) oleh Trevor J. Saunders. hlm 3.
  2. Munir Fuady, Negara Hukum Modern. Refika Aditama. Bandung. 2009. hlm 10.
  3. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1962, hal. 9
  4. Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Jurnal Universitas Sriwijaya, Palembang, 2004, hlm 4.
  5. Montesquieu, 1949, The Spirit of the Law, translated by Thomas Nugent, Hafner Press, New York, hlm. 151
  6. Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana, Jakarta 2011, hlm. 2.
  7. Indriyanto Seno Adji, Arah Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Jurnal KKH, 2001, hlm. 21
  8. Larry J. Siegel dan Joseph J. Senna, Essentials of Criminal Justice, USA: Thomson Learning, Inc., 2007, hlm. 4
  9. Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan (Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia), UNDIP, Semarang, 2011, hlm. 30-31.
  10. Darji Darmodhardjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 2008. hlm. 229. Dilihat dari materinya, Pancasila digali dari pandangan hidup bangsa Indonesia yang merupakan jiwa dan kepribadian Indonesia sendiri. Dasar negara Pancasila terbuat dari materi atau bahan dalam negeri yang merupakan asli murni dan menjadi kebanggaan bangsa. Dasar negara kita tidak diimpor dari luar, meskipun mungkin saja mendapat pengaruh dari luar negeri.