Dissenting Opinion dalam Sistem Civil Law

SUDUT HUKUM | Civil Law lahir sekitar pada abad XIII, kemudian berkembang di negara- negara Eropa Kontinetal, yaitu German, Perancis dan Belanda. Secara luas, civil law dapat didefenisikan sebagai:

Civil law may be defined as that legal tradition which has its origin in Roman Law, as codified in the Corpus Juris Civilis of Justinian, and subsequently developed in Continental Europe and around the world. Civil Law eventually divided into two streams : The codified Roamn Law (French Civil Code 1840 and its progeny and imitators- continental Europe, Quebec and Lousiana) and uncodified Roman Law (Scotland and South Africa). Civil Las is highly systematized and structured and relies on declarations of board, general principles, oftem ignoring details.


Sumber hukum utama dari sistem civil law adalah peraturan perundang- undangan atau hukum yang tertulis sehingga sistem civil law yang bersifat administratif yang menjadi muasal munculnya droit administratief yang intinya adalah hubungan antara administrasi negara dengan rakyat. Dengan de mikian, dalam civil law pembentuk undang-undang mempunyai peranan yang penting dan strategis untuk menentukan hukum positif atau peraturan perundang-undangan yang akan diberlakukan di negara tersebut. Hukum positif atau peraturan perundang-undangan dari legislatif itulah yang kemudian digunakan oleh para hakim untuk memecahkan dan memutuskan kasus di pengadilan.

Sistem common law kemudian masuk ke Indonesia setelah Indonesia merdeka dan mengundang kembali datangnya modal asing pada tahun 1967. Sebelum kemerdekaan Indonesia, hanya Inggris yang mencoba menerapkan sistem common law, diantaranya adalah beberapa konsep peradilan ala anglo saxon seperti peradilan jury dan konsep peradilan pidana. Namun se jak akhir 1970, konsep hukum yang biasa digunakan di sistem common law banyak diadopsi dalam sistem hukum di Indonesia.

Di Indonesia sebagai salah satu negara yang menganut sistem hukum civil law, memang sangat asing dengan istilah dissenting opinion. Dimana sebelumnya dissenting opinion tidak mempunyai landasan yuridis formal, tetapi ada karena praktek hakim yang berkembang. Sebagaimana dikatakan Julia:

In the continental European legal systems, the disssenting opinion is allowed and disclosed only in some countries (in Western Europe: Germany, Spain, Portugal, Greece) and even there it is made avaliable in the published from mostly only in higher or constitutional courts”. Dissenting opinion kemudian berkembang dan diadopsi oleh negara-negara yang menganut sistem hukum civil law seperti di Indonesia, Belanda, Perancis dan Jerman.


Dissenting opinion diatur pertama kali dalam KUHAP yang merupakan hasil konkoordasi dari penjajahan Belanda. Selanjutnya dissenting opinion diatur dalam PERMA RI Nomor 2 tahun 2000 yang merevisi PERMA RI Nomor 3 tahun 1999 tentang hakim ad hoc disebutkan bahwa yang dimaksud dengan dissenting opinion adalah pendapat yang berbeda dari salah seorang anggota majelis baik mengenai fakta atau hukumannya, dalam musyawarah majelis. Dalam pasal lain dijelaskan bahwa dissenting opinion dalam putusan kepailitan diperbolehkan dan dicantumkan beserta putusan dalam bentuk lampiran serta dianggap sebagai suatu kesatuan dengan naskah putusan. Sampai dengan ta hun 2004 hanya terdapat sejumlah empau putusan yang terdapat lampiran dissenting opinion di Pengadilan N iaga, dimana tiga diantaranya oleh hakim ad hoc dan selebihnya oleh hakim niaga.

Perkembangan selanjutnya, dissenting opinion diadopsi dan diatur dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia, yaitu diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009, tetapi tidak terdapat ketentuan yang mengatur defenisi dissenting opinion melainkan teknis pelaksanaan apabila terjadi dissenting opinion. Meskipun dalam penyelesaian perkara sudah mulai diterapkan dissenting opinion, namun dalam peradilan umum, yaitu perkara perdata dan pidana sipil hal ini belum ada landasan yurisdisnya.

Dissenting opinion merupakan kejadian langka dalam lingkungan kehakiman di Indonesia yang hakim bersifat majelis serta menganut sistem civil law, hal ini dikarenakan dissenting opinion tidak dikenal di semua negara karena adanya perbedaan sistem hukum. Dalam sistem hukum civil law, hakim merupakan corong undang- undang, sehingga dengan adanya dissenting opinion yang tertulis akan merusak keseimbangan dalam peradilan. Sehingga adanya dissenting opinion masih dianggap sebagai hal yang tabu dalam lingkungan peradilan di Indonesia.

Akan tetapi keberadaan dissenting opinion merupakan suatu wujud dari adanya keberagaman pandangan dasar tentang konsep keadilan dan teori hukum yang dianut oleh tiap-tiap penegak hukum. Hal tersebut merupakan hal yang manusiawi atau wajar sebagai konsekuensi dari adanya perbedaan pengalaman hidup, pola pemikiran dan keyakinan subyektif pada tiap-tiap penegak hukum termaksud hakim, serta adanya perbedaan interpretasi hukum terhadap suatu fakta, prinsip atau teori hukum.