Pelaksanaaan Pencatatan Perkawinan

SUDUT HUKUM | Pencatatan perkawinan pelaksanaanya diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II pasal 2 ayat (1) . Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkannya menurut agama Islam yang dilakukan oleh PPN. Ini juga sebagaimana yang tercantumkan dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Perkawinan, Talak, Rujuk. Pencatatan perkawinan ini bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan didalam masyarakat.

Pencatatan nikah dilakukan sebagai upaya dari pemerintah untuk melindungi sebuah perkawinan agar tetap terjaga harkat martabatnya dan kesucian perkawinan. Dan juga agar memberikan perlindungan kepada perempuan dalam hal perkawinan. Dengan pencatatan perkawinan ini untuk selanjutnya dengan dibuktikan adanya akta nikah, yang mana masing – masing pihak memegang salinannya. Ini dimaksudkan agar jika suatu saat terjadi perselisihan, percekcokan ataupun pertengkaran atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab , maka dapat melakukan upaya hukum untuk menindak lanjutinya.

Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan adanya pencatatan perkawinan dalam pasal 15. Penjelasannya sebagai berikut :
  • Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam. Setiap perkawinan harus dicatat.
  • Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang – Undang Nomor 32 Tahun 1954.

Adapun teknis pelaksanaannya, dijelaskan dalam Pasal 6 yang berbunyi:
  1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatatan perkawinan
  2. Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatatan perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Berdasarkan pemahaman hukum tersebut, dapat dipahami pencatatan perkawinan adalah sebuah syarat administratif. Perkawinan tetap sah, karena standar sah dan tidaknya ditentukan oleh aturan agama. Jika seseorang tidak mencatatkan perkawinannya dihadapan PPN maka jika suatu hari nanti terjadi permasalahan dalam perkawinan atau salah satu pihak melalaikan kewajibannya , maka pasti ada pihak yang dirugikan dan pihak tersebut tidak dapat melakukan upaya hukum , karena tidak memiliki bukti yang otentik dan kuat dari perkawinan yang dilangsungkannya.

Begitu pentingnya pencatatan perkawinan bagi pasangan suami – istri. yang mana dari pencatatan perkawinan tersebut akan mendapatkan akta perkawinan dari pejabat PPN . akta perkawinan tersebut akan mempunyai kekuatan hukum tersendiri sebagai pembuktian akan adanya sebuah perkawinan.

Namun terkadang dari pencatatan perkawinan oleh pejabat PPN tersebut terjadi kesalahan dalam tulisan redaksionalnya, contoh : Marzuki Ali ditulis Marjuki Aly . dan kesalahan yang menyangkut dengan perubahan biodata yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya, contoh: Jono Pranoto menjadi Tomo Subagyo. Tentu jika terjadi kesalahan penulisan dalam akta nikah akan dapat menimbulkan permasalahan baru jika nanti akta nikah digunakan bersamaan dengan surat – surat penting kependudukan lainnya misalnya : Kartu Keluarga, Akta Kelahiran , KTP dan lain sebagainya.
Jika terjadi kesalahan dalam penulisan akta perkawinan untuk memperbaruinya harus dengan mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama dengan perkara permohonan perubahan biodata. Hal ini berdasarkan pada Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah Pasal 34 ayat (2), yaitu “ Perubahan yang menyangkut biodata suami, isteri ataupun wali harus berdasarkan kepada putusan Pengadilan pada wilayah yang bersangkutan”. Yang mana pada Pasal 1 dijelaskan “Pengadilan adalah Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah.

Sedangkan dalam pasal 52 ayat (1) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juga menjelaskan Pencatatan perubahan nama dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri tempat pemohon.

Dalam pasal 93 angka (2) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil juga menjelaskan: “Pencatatan perubahan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memenuhi syarat berupa:
  1. salinan penetapan pengadilan negeri tentang perubahan nama
  2. Kutipan Akta Catatan Sipil
  3. Kutipan Akta Perkawinan bagi yang sudah kawin
  4. fotokopi KK dan fotokopi KTP.

Kedua Peraturan ini tidak membedakan antara yang beragama Islam maupun non islam sehingga berlaku untuk seluruh warga Negara Indonesia. Sehingga mengenai segala perubahan biodata atau perubahan nama dapat diajukan di Pengadilan Negeri dan harus dengan hanya penetapan dari Pengadilan Negeri.

Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah Pasal 34 ayat (2) tidak menjelaskan secara rinci kesalahan yang mana yang dapat diajukan ke pengadilan agama. Mengenai kesalahan perubahan biodata secara redaksional atau perubahan nama yang berbeda dengan aslinya. Seharusnya diambil langkah penyelesaian yang berbeda terhadap dua macam perubahan tersebut.Agar tidak menimbulkan permasalahan baru dan kebingungan masyarakat jika mengalami permasalahan ini.

Dengan beberapa Peraturan Perundang – Undangan yang mengatur berkaitan dengan Permohonan Perubahan Biodata tersebut. Secara hierarki perundang – undangan pun seharusnya lebih kuat Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil jika dibandingkan dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007. Ini akan menimbulkan kerancuan hukum dan kebingungan dimasyarakat apakah diajukan di Pengadilan Agama ataukah diajukan di Pengadilan Negeri.