Konsekuensi Terhadap Pelanggaran Perjanjian Pra Nikah

SUDUT HUKUM | Pada umumnya, setiap perjanjian yang disepakati mengikat bagi pihak-pihak yang terlibat didalamnya, baik dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis. Akan tetapi yang membedakan adalah ketika suatu perjanjian yang dibuat hanya bentuk lisan, maka tidak ada acuan yang dapat dijadikan pembuktian bahwa perjanjian tersebut pernah disepakati. Meskipun perjanjian yang tidak tertulis tetap mengikat dan tikad menghilangkan baik hak dan kewajiban dari pihak yang bersepakat didalamnya.

Konsekuensi Terhadap Pelanggaran Perjanjian Pra Nikah


Dalam hukum juga dikenal asas pacta sunt servanda bahwa perjanjian itu mengikat bagi pihak-pihak yang bersepakat didalamnya. Namun yang perlu dicermati lagi yaitu asas hanya bersifat abstrak sebagai dasar atau pedoman yang tidak mengikat secara langsung. Oleh karena itu, apabila suatu perjanjian pra nikah yang telah disepakati itu dilanggar oleh salah satu pihak yang turut menyepakatinya, maka secara hukum tidak ada sanksi yang dapat diterapkan kepada pelanggar sebagai konsekuensi atas pelanggaran perjanjian yang telah dilakukan olehnya. Akan tetapi pelanggaran tersebut hanya dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.

Hal ini sebagaimana dalam KHI Pasal 51 yang menyebutkan bahwa:

pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberikan hak kepada istri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukan sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama”

Namun, pasal ini berlaku hanya ketika perjanjian pra nikah yang disepakati dicatatkan oleh notaris dan disahkan secara legal oleh Pegawai Pencatat Nikah. Sehinga dapat dijadikan sebagai alasan dalam mengajukan perceraian. Atau bisa juga masuk ke dalam perkara perdata karena hal tersebut termasuk wanprestasi atau pengingkaran salah satu pihak.

Sedangkan, apabila dilihat dalam konsep fiqh konsekuensi hukum yang dapat diberikan kepada seseorang yang melanggar perjanjian pra nikah yang telah disepakati, maka dapat dijelaskan sebagai berikut :
  • Perjanjian yang syarat-syaratnya sesuai dengan maksud akad dan misi syarat. Misalnya : pemberian nafkah dan persetubuhan. Maka para ulama sepakat syarat-syarat ini hukumnya sah dan wajib dipenuhi. Adapun apabila perjanjian tersebut dilanggar, berarti sama halnya dengan seseorang melanggar syariat yang telah ditentukan oleh Allah SWT dalam firman-firmanNya. Sehingga, apabila perjanjian pra nikah yang termasuk dalam klasifikasi ini dilanggar, maka konsekuensinya mendapat dosa dari Allah SWT, karena telah menelantarkan istrinya dan tidak menjalankan perintah Allah SWT. Namun hal ini tidak menyebabkan batalnya perkawinan dengan sendirinya.
  • Perjanjian yang syarat-syaratnya bertentangan dengan maksud akad dan melanggar hukum Allah dan syariat-Nya (syarat yang illegal).(Kamal, 2007:238) Misalnya: dalam perjanjian sepakat untuk tidak menyetubuhi istrinya, tidak memiliki keturunan. Tidak menafkahi istrinya dan memberi syarat agar istri kedua dari calon suami diceraikan terlebih dahulu. Maka dalam hal ini para ulama sepakat bahwa syarat ini tidak sah sebab mengandung unsur memerintahkan apa yang dilarang Allah dan melarang apa yang diperintahkan-Nya, sehingga syaratnya gugur, dan harus dilanggar. Artinya bahwa perkawinan tersebut tetap mengimplikasikan pengaruh-pengaruh syariat berupa penghalalan senggama, kewajiban nafkah, dan kepastian nasab.(Kamal, 2007:238) Oleh karena itu, dalam perjanjian jenis ini pelanggaran yang dilakukan tidak berkonsekuensi apapun terhadap seseorang yang melanggar suatu perjanjian, karena sama halnya menjalankan perintah Allah SWT.
  • Perjanjian yang tidak diperintahkan maupun dilarang oleh Allah dan persyaratan ini mengandung kemashlahatan yang ingin dicapai oleh salah satu pasangan. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, yakni ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat syarat-syarat tersebut batal. Sedangkan Hanabilah berpendapat bahwa syarat tersebut sah dan wajib dipenuhi berdasarkan hadist khusus dari Uqba bin Amir serta keumuman dari firman Allah untuk menepati janji. Maka, dalam kitab Shahih Fiqh as-Sunnah dijelaskan oleh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim bahwa pendapat yang paling rajah adalah pengajuan syarat mubah menurut syariat (maksudnya boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan) dan tidak ada ketentuan dalam syariat yang melarangnya diperbolehkan dalam konteks perkawinan, juga mengingat kebutuhan manusia dalam beberapa kondisi pada syarat-syarat tersebut, sehingga apabila salah satu pihak melanggar syarat ini, maka pihak lain berhak membatalkan akad atau perjanjian tersebut.(Kamal, 2007:246)