Gugurnya Kewajiban Suami Memberi Nafkah

SUDUT HUKUM | Pada dasarnya nafkah itu diwajibkan sebagai penunjang kehidupan suami istri. Bila kehidupan suami istri berada dalam keadaan yang biasa, di mana suami maupun istri sama-sama melaksanakan kewajiban yang ditetapkan agama tidak ada masalah. Namun bila salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya, maka berhakkah ia menerima hak yang sudah ditentukan, seperti istri tidak menjalankan kewajibannya berhakkah menerima nafkah dari suaminya; sebaliknya suami tidak menjalankan kewajibannya, berhakkah menerima pelayanan dari istrinya; menjadi pembicaraan di kalangan ulama.

Dalam hal istri tidak menjalankan kewajibannya yang disebut dengan nusyuz, menurut jumhur ulama suami tidak wajib memberi nafkah dalam masa nusyuz-nya itu. Alasan bagi jumhur itu adalah bahwa nafkah yang diterima istri itu merupakan imbalan dari ketaatan yang diberikannya kepada suami. Istri yang nusyuz hilang kataatannya dalam masa itu, oleh karena itu ia tidak berhak atas nafkah selama masa nusyuz itu dan kewajiban itu kembali dilakukan setelah nusyuz itu berhenti.

Ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa istri yang nusyuz tidak gugur haknya dalam menerima nafkah. Alasannya ialah nafkah itu diwajibkan atas dasar akad nikah tidak pada dasar ketaatan. Bila suatu waktu ia tidak taat kepada suaminya atau nusyuz, ia hanya dapat diberi pengajaran, atau pisah tempat tidur atau pukulan yang tidak menyakiti, sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa (4) ayat 34:
Istri-istri yang kamu khawatirkan akan berbuat nusyuz beri pengajaranlah dia, dan pisahkan dan tempat tidur clan pukullah dia. Bila dia telah taat kepadamu janganlah. kamu mencari jalan (untuk menceraikannya). Sesungguhnya Allah Maha Tahu dan Maha Besar. (Q.S. an-Nisa (4): 34).
Bila suami tidak menjalankan kewajibannya dalam memberikan nafkah, istri dapat menarik ketaatannya dengan cara antara lain tidak mau digauli suaminya. Jumhur ulama berpendapat bahwa istri yang tidak mendapat nafkah dari suaminya, berhak tidak memberikan pelayanan kepada suaminya, bahkan boleh memilih untuk pembatalan perkawinan atau fasakh.

Ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa istri yang tidak menerima nafkah dari suaminya tetap menjalankan kewajibannya sebagai istri dan tidak boleh menolak permintaan suami untuk digauli. Istri harus sabar menerima kenyataan ketidakmampuan suaminya itu.

Pandangan di atas dapat disederhanakan bahwa hak istri menerima nafkah menjadi gugur apabila:
  • Bila ternyata akad nikah mereka batal atau fasid (rusak), seperti dikemudian hari ternyata kedua suami isteri itu mempunyai hubungan mahram dan sebagainya, maka isteri wajib mengembalikan nafkah yang telah diberikan suaminya jika nafkah itu diberikan atas dasar keputusan pengadilan. Bila nafkah itu diberikan tidak berdasarkan keputusan pengadilan, maka pihak isteri tidak wajib mengembalikannya.
  • Isteri masih belum baligh dan ia masih tetap di rumah orang tuanya. Menurut Abu Yusuf isteri berhak menerima nafkah dari suaminya jika isteri telah serumah dengan suaminya, karena dengan serumah itu berarti isteri telah terikat di rumah suaminya.
  • Istri dalam keadaan sakit karena itu ia tidak bersedia serumah dengan suaminya. Tetapi jika ia bersedia serumah dengan suaminya ia tetap berhak mendapat nafkah.
  • Bila isteri melanggar larangan Allah yang berhubungan dengan kehidupan suami isteri, seperti meninggal tempat kediaman bersama tanpa seizin suami, bepergian tanpa izin suami dan tanpa disertai/mahram, dan sebagainya.
  • Bila isteri nusyuz, yaitu tidak lagi melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai isteri.