Pengecualian Asas Legalitas

SUDUT HUKUM | Asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP) memiliki pengecualian khusus mengenai keberadaannya, yaitu di atur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang mana pasal tersebut berbunyi seperti ini “jika terjadi perubahan perundang-undangan setelah perbuatan itu dilakukan maka kepada tersangka/terdakwa dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya. Dari ketentuan pasal 1 ayat (2) KUHP ini sebagai pengecualian yakni memperlakukan ketentuan yang menguntungkan bagi terdakwa. Menurut jonkers pengertian menguntungkan disini bukan saja terhadap pidana dari perbuatan tersebut,tetapi juga mencakup penuntutan bagi si terdakwa.

Ada bermacam-macam teori yang menyangkut masalah perubahan peraturan perundanga-undangan yang dimaksud dalam hal ini. Yakni sebagai berikut:

  • Teori formil yang di pelopori oleh Simons, berpendapat bahwa perubahan UU baru terjadi bilamana redaksi undang-undang pidana tersebut berubah. Perubahan undang-undang lain selain dari UU pidana walaupun berhubungan dengan uu pidana bukanlah perubahan undang-undang yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) ini.
  • Teori material terbatas yang dipelopori oleh Van Geuns berpendapat antara lain bahwa perubahan UU yang di maksud harus diartikan perubahan keyakinan hukum dari pembuat undang-undang.perubahan karena zaman atau karena keadaan tidak dapat dianggap sebagai perubahan dalam UU pidana.
  • Teori material tak terbatas yang merujuk pada putusan Hoge Raad tanggal 5 desember 1921 mengemukakan bahwa perubahan undang-undang adalah meliputi semua undang-undang dalam arti luas dan perubahan undang-undang yang meliputi perasaan hukum pembuat undang-undang maupun perubahan yang dikarenakan oleh perubahan jaman (keadaan karena waktu tertentu).

Komentar Penulis berkaitan dengan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (2) KUHP: Pasal 1 ayat (1) mengatur sebuah perbuatan yang sebelumnya belum diatur oleh ketentuan pidana/undang-undang kemudian terjadi kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut sedangkan Pasal 1 ayat (2) mengatur sebuah perbuatan yang sebelumnya memang sudah merupakan bentuk kejahatan atau kriminal sehingga kedua ketentuan tersebut tidak dapat dipandang sebagai ketentuan yang saling mengecualikan karena keduanya sebenarnya tidak ada hubungan dan mengatur substansi yang berbeda.

Contoh: Misalnya Si X adalah pelaku tindak pidana korupsi, di mana perbuatan Si X diketahui tahun 2001 di mana peristiwanya atau tempus delictinya tahun 1996 maka pandangan umum kalangan penegak hukum pastilah akan menerapkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 dengan alasan bahwa memberlakukan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo. UU nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, adalah merupakan suatu pemberlakuan surut aturan pidana, namun dalam pendapat penulis hal tersebut bukanlah pemberlakuan surut karena pada dasarnya perbuatan tersebut sudah merupakan tindak pidana/criminal karena telah diatur sebelumnya oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga penulis menilai bahwa perubahan ketentuan tentang tindak pidana korupsi hanya berubah semata sehingga dalam hal ini Pasal 1 ayat (2) KUHP lah yang harus diperhatkan atau dengan kata lain penulis sependapat menggunakan UU Nomor 3 tahun 1971 sebagai dasar aturan namun didasari oleh alasan yang berbeda.