Tata Hukum pada Masa 1959-Sekarang (5-7-1959-Sekarang)

SUDUT HUKUM | UUDS 1950 hanya berlaku sampai tanggal 4 Juli 1959, karena dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 UUDS 1950 dinyatakan tidak berlaku lagi dan sebagai gantinya adalah UUD 1945. jadi UUD yang berlaku di Indonesia sejak 5 Juli 1959 hingga sekarang adalah UUD 1945. Tata hukum yang berlaku pada masa ini adalah tata hukum yang terdiri dari segala peraturan yang berlaku pada masa 1950-1959 dan yang dinyatakan masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 ditambah dengan berbagai peraturan yang dibentuk setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu.

Tata aturan perundang-undangan yang berlaku sekarang ini diatur berdasarkan Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 jo Ketetapan MPR No.V/MPR/1973. tata urutan perundang-undangan (Hierarki perundang-undangan) tersebut adalah sbagai berikut:

  • UUD 1945
  • TAP MPR
  • UU (Undang-undang )
  • Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang)
  • Peraturan Pemerintah
  • KepPresiden
  • . Peraturan pelaksanaan lainnya:
  1. Instruksi Menteri
  2. dan lain-lainnya

Tata urutan tersebut di atas mengandung konsekwensi bahwa peraturan yang urutannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Tata urutan tersebut di atas belum pernah diatur sampai lahirnya Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966.

Politik hukum Pemerintah sekarang ini secara tegas diatur dalam Ketetapan MPRS No.I/MPRS/1988. dalam TAP MPR No.I/MPR/1988 itu dirumuskan tentang politik hukum Pemerintah Indonesia saebagai berikut:

  1. Pembangunan hukum sebagai upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran dan ketertiban dan negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, diarahkan untuk meningkatkan kesadaran hukum, menjamin penegakan, pelayanan dan kepastian hukum, serta mewujudkan tata hukum nasional yang mengabdi pada kepentingan nasional.
  2. Pembangunan hukum ditujukan untuk memantapkan dan mengamankan pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilnya, menciptakan kondisi yang lebih mantab sehingga setiap anggota masyarakat dapat menikmati iklim kepastian dan ketertiban hukum, lebih memberi dukungan dan pengarahan kepada upaya pembangunan untuk mencapai kemakmuran yang adil dan merata, serta menumbuhkan dan mengembangkan disiplin nasional dan rasa tanggungjawab sosial pada setiap anggota masyarakat. Di samping itu, hukum benar-benar harus menjadi pengayom masyarakat, memberi rasa aman dan tentram, menciptakan lingkungan dan iklimyang mendorong kreativitas serta mendukung stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
  3. Dalam rangka pembangunan hukum perlu lebih ditingkatkan upaya pembauran hukum secara terarah dan terpadu antara lain kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum tertentu serta penyusunan perundang-undangan baru yang sangat dibutuhkan untuk dapat mendukung pembangunan di berbagai bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan yang berkembang dalam masyarakat.
  4. Dalam rangka meningkatkan penegakan hukum perlu terus dimantapkan kedudukan dan peranan badan-badan penegak hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya masing-masing, serta terus ditingkatkan kemampuan dan kewibawaannya dan dibina sikap, perilaku dan keteladanan para penegak hukum sebagai pengayom masyarakat yang jujur, bersih, tegas dan adil.
  5. Penyuluhan hukum perlu dimantapkan untuk mencapai kadar kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat, sehingga setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajbannya sebagai warga negara, dalam rangka tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman, dan kepastian hukum serta terbentuknya perilaku setiap warga negara Indonesia yang taat pada hukum.
  6. Dalam rangka mewujudkan pemerataan memperoleh keadilan dan perlindungan hukum perlu terus diusahakan agar proses peradilan menjadi lebih sederhana, cepat dan tepat dengan biaya yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Sejalan dengan itu perlu lebih dimantapkan penyelenggaraan pemberian bantuan dan konsultasi hukum bagi lapisan masyarakat yang kurang mampu.
  7. Untuk menunjang upaya pembangunan hukum, perlu terus ditingkatkan penyediaan sarana dan prasaran yang diperlukan serta ditingkatkan pendayagunaannya.
  8. Dalam usaha pembangunan hukum perlu ditingkatkan langkah-langkah untuk mengembangkan dan menegakkan hak dan kewajiaban asasi warga negara dalam rangka mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Jika berbagai uraian tersebut di atas diamati dan diperhatikan dapat disimpulkan bahwa dalam politik hukum di Indonesia dari masa ke masa (dari VOC hingga sekarang) ada persamaan dan perbedaan antara masa yang satu dan masa yang lain. Politik hukum yang dapat dikatakan mempunyai persamaan adalah politik hukum yang dinyatakan oleh Pemerintah bala tentara Jepang (OS), masa berlakunya UUD sementara 1945 periode pertama, masa berlakunya Konstitusi RIS dan masa berlakunya UUD 1950. pada masa-masa tersebut Pemerintah negara untuk sementara waktu memberlakukan peraturan-peraturan yang telah ada sebelum undang-undang dasar atau konstitusi itu berlaku. Politik hukum pada masa-masa tersebut masih bersifat sementara karena penguasa pada waktu itu bermaksud untuk sekedar memenuhi kebutuhan hukum agar tidak terjadi kekosongan (vacuum).

Sedangkan politik hukum pada masa-masa Regerings Reglement (RR) dan masa Indische Regeling sudah lebih tegas lagi hukum apa atau yang bagaimana yang dikehendaki penguasa pada masa-masa itu. Pada masa Besluiten Regerings politik hukum Pemerintah Hindia Belanda menghendaki dua macam hukum yang berlaku bagi dua golongan penduduk yang ada pada waktu itu. Berdasarkan Pasal 6-10 AB, penduduk Hindia Belanda pada waktu itu dibagi menjadi dua bagian, yaitu golongan Eropa dan bukan Eropa. Hukum yang berlaku bagi golongan Eropa adalah hukum perdata Eropa, sedangkan bagi golongan bukan Eropa adalah hukum adatnya. Pemberlakuan hukum seperti itu dinyatakan dalam Pasal 11 AB. Politik hukum Pemerintah Hindia Belanda pada masa RR dicantumkan dalam Pasal 5 RR dan pada asasnya sama dengan yang ditentukan dalam Pasal 11 AB. Perbedaan antara kedua politik hukum tersebut hanya terletak pada cara penggolongan penduduk saja.

Perbedaan golongan penduduk berdasarkan Pasal 6-10 AB adalah berdasarkan agama, sedangkan pada Pasal 109 RR berdasarkan kedudukan ”penjajah” dan ”yang dijajah”. Politik hukum pada masa Indiche Staatsregeling (IS) dicantumkan pada Pasal 131 IS yang pada dasarnya mengandung asas hukum tertulis dan tidak harus dikodifikasikan tetapi diharapkan setiap peraturan dibuat tertulis dan ditetapkan dalam ordonansi. Pemerintah Hindia Belanda membagi penduduknya menjadi tiga golongan sebagaimana yang ditetapkan pada Pasal 163 IS (golongan Eropa, Timur Asing, dan Pribumi/Bumi Putera). Hukum perdata yang berlaklu pada waktu itu bersifat dualistis, karena yang berlaku pada golongan Eropa adalah hukum perdata Eropa/Barat dengan asas konkordansi, sedangkan bagi golongan Timur Asing dan pribumi berlaku hukum perdata adat masing-masing. Namun, jika dilihat dari sistem hukum adat, ia bahkan bukan dualistis dalam hukum perdata tetapi bahkan pluralistis.

Politik hukum yang ada mulai masa Orba (1967 sampai sekarang), atau lebih tepat sejak ditetapkannya GBHN tahun 1973 sampai sekarang, sudah lebih tegas lagi karena Pemerintah RI dalam pembinaan hukumnya sudah mengarah kepada hukum kodifikasi dan unifikasi yang didasarkan pada kebutuhan hukum masyarakat Indonesia, dan dalam jangka panjang Pemerintah menghendaki tata hukum baru yang benar-benar produk Pemerintah RI dan sesuai dengan kebutuhan. Jadi, jika disimpulkan perbedaan politik hukum dari masa ke masa yang pernah diterapkan ialah bahwa ada politik hukum yang tetap dalam tegas dalam arti hukum yang bagaimana yang dikehendaki, dan ada politik hukum yang sementara sekedar untuk menjaga agar tidak terjadi kekosongan hukum.