Dasar Hukum Tentang Harta Bersama

SUDUT HUKUM | Berbagai peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum yang mengatur tentang harta bersama:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.


Buku pertama kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang orang. Pasal yang relevan dengan pembahasan adalah Pasal 119 sampai dengan Pasal 138 yang mengatur tentang harta bersama.Pengaturan dalam BW tentang kekayaan dalam perkawinan menganut sistem pencampuran harta kekayaan antara suami isteri secara bulat. Semua kekayaan dari masing-masing suami dan isteri, baik yang mereka bawa pada permulaan perkawinan maupun yang mereka peroleh selama perkawinan berlangsung, dicampur menjadi satu kekayaan selaku milik bersama dari suami isteri.

Namun ada suatu pengecualian dalam pencampuran kekayaan secara bulat tersebut, yaitu apabila suami atau isteri masing-masing mendapat suatu hibah atau wasiat dalam mana yang menghibahkan menentukan bahwa barang yang dihibahkan itu tidak boleh dimasukkan dalam pencampuran kekayaan antara suami dan isteri. (Pasal 119, 120, 121 dan 122 BW).

Kemudian tentang pembubaran persatuan dan tentang hak melepaskan diri dari itu, pada Pasal 128 BW diuraikan tentang besarnya bagian harta kesatuan yang harus dibagi antara para pihak maupun antara para ahli warisnya setelah bubarnya persatuan yaitu ketika persatuan bubar maka harta benda kesatuan harus dibagi dua. Kemudian barang-barang berupa pakaian, perhiasan dan perlengkapan lainnya yang merupakan mata pencaharian masing-masing pihak begitu pula dengan surat-surat berharga boleh diminta kembali oleh pemilik awalnya dengan syarat harus membayar harga barang tersebut sesuai dengan nilai taksiran yang dilakukan oleh para pihak ataupun oleh seorang yang ahli dalam hal itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 129 BW.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Perkawinan.


Ketentuan yang relevan dengan pembahasan yakni tentang harta benda dalam perkawinan terdapat dalam Bab VII Pasal 35, Pasal 36 dan Pasal 37 sebagai berikut: Pasal 35 (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. (2)Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal 36 (1)Mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak (2)Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 Bila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

Secara yuridis formal, ketentuan tentang harta bersama sudah diatur dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, dimana dijelaskan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh oleh suami isteri selama dalam perkawinan. Hal ini berarti bahwa harta bersama itu adalah semua harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, tanpa dipersoalkan siapa diantara suami isteri yang mencarinya dan juga tidak mempersoalkan atas nama siapa harta kekayaan itu terdaftar. Harta bersama itu dapat berupa benda berwujud atau juga tidak berwujud. Benda berwujud meliputi benda bergerak, benda tidak bergerak dan surat-surat berharga, sedangkan yang tidak berwujud dapat berupa hak dan kewajiban.

Berdasarkan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan disebutkan mengenai harta yang menjadi milik pribadi suami isteri yang meliputi:
  1. Harta bawaan yaitu harta yang sudah ada sebelum perkawinan.
  2. Harta yang diperoleh masing-masing selama perkawinan, tetapi terbatas pada perolehan yang berbentuk hadiah, hibah, dan warisan.


Di luar dari jenis ini semua harta langsung menjadi harta bersama dalam perkawinan. Namun ketentuan ini berlaku sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan sebelum akad nikah dilaksanakan. Jika telah dibuat perjanjian perkawinan maka para pihak harus tunduk pada perjanjian yang telah mereka buat secara sah. Mengenai perjanjian perkawinan yang dimaksud diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 45 KHI.

Oleh karena adanya kebersamaan harta kekayaan antara suami isteri, maka harta bersama menjadi hak milik keduanya. Untuk menjelaskan hal ini sebenarnya ada dua macam hak dalam harta bersama, yaitu hak milik dan hak guna. Harta suami isteri memang telah menjadi milik bersama, namun jangan dilupakan bahwa di dalamnya juga ada hak gunanya. Artinya, para pihak berhak menggunakan harta tersebut dengan syarat harus mendapat persetujuan dari pasangannya. Jika salah satu pihak akan menggunakan harta bersama, maka dia harus mendapat izin terlebih dahulu dari pihak lainnya. Mengenai hal ini disebutkan dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.

Kemudian berdasarkan Pasal 36 Ayat (2) harta bawaan yang dimiliki secara pribadi oleh masing-masing pihak tidak diperbolehkan adanya campur tangan pihak lain. Dalam hal ini, Isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta pribadinya. Para pihak bebas menggunakan harta tersebut tanpa campur tangan suami atau isteri untuk menjual, menghibahkan, atau menjaminkan. Tidak pula diperlukan bantuan hukum dari suami untuk melakukan tindakan hukum terhadap harta pribadi masing-masing.

Ketentuan dalam Pasal 36 sebagaimana diuraikan diatas mengindikasikan bahwa ketika terjadi perceraian, harta bersama yang diperoleh selama perkawinan dapat diatur dengan menggunakan aturan hukum yang berbeda-beda tergantung pada variasi hukum adat atau hukum lain di luar hukum adat. Bagi umat Islam ketentuan pembagian harta bersama diatur dalam KHI, sedangkan bagi penganut agama lainnya diatur dalam BW.

Berdasarkan uaraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam Undang-undang Perkawinan mengenal adanya tiga jenis harta dalam perkawinan, meliputi harta bersama, harta bawaan dan harta perolehan yang menjadi milik pribadi masing-masing pihak.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.


Ketentuan yang berkaitan dengan harta bersama diatur dalam Bab XII tentang kekayaan dalam perkawinan pada Pasal 85-97. Dalam Pasal 85 KHI disebutkan bahwa “adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami isteri”. Uraian pasal tersebut mengakui adanya harta bersama dalam perkawinan. Dengan kata lain KHI mendukung adanya persatuan harta dalam perkawinan menjadi harta bersama.

Meskipun sudah bersatu, tidak menutup kemungkinan adanya sejumlah harta milik masing-masing suami isteri. Adanya kata “kemungkinan” dimaksudkan bahwa harta bersama masih diperbolehkan selama tidak ditentukan lain dalam perkawinan. Berdasarkan Pasal 86 Ayat (1) KHI kembali ditegaskan bahwa tidak ada pencampuran harta karena perkawinan. Sedangkan dalam Pasal 86 ayat (2) lebih lanjut ditegaskan bahwa pada dasarnya harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya. Demikian pula sebaliknya, harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.

Berdasarkan Pasal 87 ayat (1) KHI memperkuat pernyataan dalam Pasal 35 ayat (2), dimana berdasarkan ketentuan ini, suami isteri berhak memiliki sepenuhnya harta bawaannya masing-masing, selama tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Kemudian ketentuan dalam Pasal 87 ayat (2) KHI senada dengan ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, bahwa isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta pribadi masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya. Dalam hal ini undang-undang tidak membedakan kemampuan melakukan tindakan hukum terhadap harta pribadi suami isteri masing-masing.

Mengenai pembagian harta bersama dapat dilakukan secara adil, sehingga tidak menimbulkan ketidakadilan antara mana yang merupakan hak suami dan mana hak isteri. Jika kemudian terjadi perselisihan diantara para pihak mengenai hal ini maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui jalur pengadilan agama, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 88. Namun, penyelesaian melalui jalur pengadilan ini merupakan sebuah pilihan. Para pihak lebih juga boleh memilih cara yang lain, yaitu dengan cara damai melalui musyawarah untuk mufakat.

Bentuk harta bersama dalam Pasal 91 ayat (1 dan 2) diuraikan bahwa harta bersama dapat berupa benda berwujud, meliputi benda bergerak dan tidak bergerak, dan benda tidak berwujud yang meliputi hak dan kewajiban. Kemudian dalam ayat (4) diuraikan bahwa suami atau isteri diperbolehkan menggunakan harta bersama sebagai jaminan asalkan mendapat persetujuan dari salah satu pihak. Jika penggunaan harta bersama tidak mendapat persetujuan dari salah satu pihak dari keduanya, tindakan tersebut dianggap melanggar hukum karena merupakan tindak pidana yang bisa dituntut secara hukum, dasar pengaturannya adalah Pasal 92 KHI.

Dalam pasal 95 ayat (1 dan 2) KHI telah mengantisipasi apabila salah satu pihak melakukan pemborosan, judi, mabuk, dan lain-lain yang dapat merugikan dan membahayakan harta kekayaan, dalam hal yang demikian salah satu pihak meminta kepada pengadilan agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan cerai. Selama masa sita tersebut dapat dilakukan penjualan harta bersama untuk kepentingan keluarga, rumah tangga, isteri dan anak-anaknya, maka dipandang hakim memiliki otoritas untuk menangani dan menjaga agar harta tersebut diamankan dengan meletakkan sita jaminan. Selain dari itu otoritas yang diberikan kepada hakim tersebut adalah untuk mengendalikan atau setidak-tidaknya mengurangi kebiasaan suami atau isteri melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan syariat Islam.

Mengenai besarnya bagian harta bersama yang harus dibagi antara suami isteri diatur dalam Pasal 96 ayat (1) dan (2) dan Pasal 97 KHI. Ketentuan mengenai pembagian harta bersama didasarkan pada kondisi yang menyertai hubungan suatu perkawinan, seperti kematian, perceraian atau karena adanya perkawinan poligami. Pada Pasal 96 ayat (1) diuraikan mengenai pembagian harta bersama dalam kasus cerai mati. Mengenai cerai mati biasanya dipahami sebagai bentuk perpisahan hubungan suami isteri karena meninggalnya salah satu pihak. Pembagian harta bersama dalam hal ini yaitu, salah satu pihak yang hidup paling lama berhak atas separuh (1/2) dari harta bersama. Selanjutnya dalam Pasal 96 ayat (2) dikatakan bahwa mengenai status kematian salah satu pihak, baik suami maupun isteri, harus jelas terlebih dahulu agar penentuan tentang pembagian harta bersama menjadi jelas. Jika salah satu dari keduanya hilang, harus ada ketentuan tentang kematian dirinya secara hukum melalui pengadilan agama.

Di dalam Pasal 97 KHI diatur bahwa Janda atau Duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.,diuraikan dalam Pasal 49 Ayat (1), bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perdata, yaitu mengenai perkawinan, termasuk di dalamnya masalah perceraian dan pembagian harta bersama, waris, wasiat, Hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Bidang-bidang hukum perdata tersebut menjadi porsi fungsi kewenangan mutlak untuk mengadili bagi lingkungan Peradilan Agama.

Kemudian dalam Pasal 86 terkait dengan proses gugatan sengketa harta bersama diuraikan bahwa gugatan mengenai penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam penjelasannya dikatakan bahwa hal tersebut adalah demi tercapainya prinsip bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Ketentuan tersebut memberikan pilihan bagi penggugat, apakah akan menggabung gugatan perceraiannya dengan pembagian harta bersama atau akan mengajukan gugatan tersendiri setelah perkara perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.

Namun jika gugatan harta bersama digabung dengan gugatan perceraian secara praktis dan rasional dapat terselesaikan dua perkara secara bersamaan, dengan cara mendudukkan gugatan pembagian harta bersama sebagai gugatan assessor terhadap gugatan perceraian. Sehingga tentu saja hal ini dapat mengefisienkan waktu, tenaga, dan menghemat biaya, serta penikmatan atas harta bersama akan lebih cepat dirasakan oleh penggugat.