Proses Pembentukan KUHP Baru

SUDUT HUKUM | Usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia sudah dimulai sejak masa permulan berdirinya republik yang diproklamasikan pada 7 agustus 1945. Guna menghindari kekosongan hukum, undang-undang dasar 1945 memuat aturan peralihan. Dalam Pasal II Aturan Peralihan itu dikatakan, bahwa “segla adan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”.

Dengan demikian maka hukum pidana yang berlaku saat itu ialah yang digunakan selama masa pendudukan bala tentara Jepang. Dbidang hukum pidana materiil Wetboek van Strafrecht voor Netherland-Indie masih tetap berlaku dan diterapkan selama masa pendudukan itu dengan demikian berarti bahwa selama itu tidak pernah ada suatu produk legislatif yang menyatakan W.v.S atau berapa pasal dari W.v.S itu tidak berlaku, hanya pada tahun 1994 pemerintah bala tentara Jepang mengeluarkan apa yang disebut Gunsei Keizirei yang merupakan suatu peraturan yang serupa dengan KUHP, yang harus diterapkan oleh pengadilan-pengadilan pada waktu itu.

Proses Pembentukan KUHP Baru


Dengan sendirinya apabila suatu perbuatan masuk alam rumusan atau kualifikasi delik W.v.S dan juga dalam Gunzei Keirizei. Keadaan ini berlangsung sampai dikeluarkan Undang-undang No 1946 pada tanggal 26 Februari 1946. Sejak saat itulah dapat dikatakan pembaharuan hukum pidana Indonesia dimulai.

Seperti diuraikan terdahulu, kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) yang dewasa ini masih berlaku, merupakan produk warisan penjajahan Belanda di Indonesia. Malahan dapat dikatakan bahwa KUHP Indonesia itu sebenarnya sama sekali berasal dari KUHP kerajaan Belanda yang diberlakukan di indonesia dengan beberapa penyesuaian disana-sini, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Menurut Soedarto, teks resmi KUHP itu sendiri kini secara formil masih dalam bahasa belanda. Hal ini terjadi karena sejarah awal pertumbuhan oleh hukum indonesia modern, sangat banyak ditentukan oleh kekuasaan hindia belanda di indonesia.

Jadi, pengaruh Belanda sangat besar dalam hukum Indonesia. Artinya, memang beralasan untuk melakukan perubahan hukum pidana yang sekarang berlaku. Besarnya pengaruh hukum Belanda itu dapat terjadi karena:
  1. Prinsip konkordansi yang dianut dalam sistem hukum Belanda.
  2. Ilmu hukum yang berkembang di Indonesia sebagian terbesar didasari oleh ajaran-ajaran dan teori yang dikembangkan di dunia barat. dan
  3. Praktek peradilan yang dilangsungkan di Indonesia, hampir seluruhnya bersumber kepada peraturan perundang-undangan dan doktrin ilmu hukum tersebut diatas.


Setelah Indonesia merdeka, keadaan demikian itu terus berlangsung. Hal ini mulamula dimaksudkan untuk menghindari kekosongan hukum yaitu dengan jalan mencantumkan aturan peralihan dalam UUD 1945. Dalam pasal 2 aturan peralihan itu dinyatakan “segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”.

Dengan demikian hukum pidana yang berlaku saat itu adalah hukum pidana warisan pemerintahan pendudukan jepang. Hanya saja, selama masih pendudukan jepang itu, dibidang hukum pidana materil, wetboek van strafrecht voor nederlands-indie sendiri masih diterapkan dalam praktek. Selama masa itu tidak pernah ada produk legislatif yang menyatakan baik sebagian tau seluruh nya tidak berlaku.

Tahun 1944, pernah dikeluarkan oleh pemerintahan pendudukan jepang peraturan semacam KUHP yang disebut “gunsei keizirei” yang harus diterapkan oleh pengadilan. KUHP jepang ini, jika bertentangan dalam hal-hal tertentu dengan WvS voor nederlands-indie harus lebih diutamakan. Itu berarti bahwa sejak tahun 1944 sampai dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1946, ada dua warisan KUHP penjajah yang berlaku di indonesia. Yang satu merupakan warisan belanda dan yang lain adalah warisan dari jepang.

Kemudian, setelah dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1946 itu, KUHP warisan pemerintahan asing itu tinggal satu, yaitu warisan Belanda. Warisan belanda itu sendiri, mulanya juga masih bersifat rancu sehubungan dengan pecahnya wilayah indonesia menjadi wilayah republik indonesia dan wilayah republik indonesia serikat dimana dimasing-masing wilayah diberlakukan KUHP warisan belanda yang berbeda-beda keadaan kemajemukan hukum pidana inilah kemudian diatasi dengan dikeluarkannya UU
No. 73 Tahun 1958.

Usaha yang lebih khusus dalam rangka pembentukan KUHP yang baru, yang secara total diharapkan dapat menggantikan kedudukan warisan Hindia-Belanda itu, sudah pula dimulai secaa sistematis dengan didirikannya LPHN (Lembaga Pembinaan Hukum Nasional) pada Tahun 1961. Bahkan keinginan untuk itu, sebenarnya sudah terlihat sejak berlakunya UUDS 1950 dalam Pasal 102 UUDS
ini ditegaskan:

Hukum perdata dan hukum dagang, hukum pidana sipil mauun hukum pidana militer, hukum acara perdata dan hukum acara pidana, susunan dan kekuasaan pengadilan, diatur dengan perundang-undangan menganggap perlu untuk mengatur beberapa hal dalam undang-undang tersendiri’’.

Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa sesungguhnya gagasan kodifikasi hukum pidana yang bersifat nasional dalam bentuk kitab undangundang itu sudah ada sejak tahun 1950. Hanya saja gagasan itu belum dapat diwujudkan sampai UUD 1945 diberlakukan kembali. Oleh karena itu, langkah pertama yang perlu dicatat dalam rangka pembentukan KUHP baru itu adalah didirikannya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) dengan Keputusan Presiden No. 194 Tahun 1961.

Keputusan ini menetapkan berdirinya lembaga ini dengan tugas mempersiapkan perencanaan hukum dan perundang-undangan, yang salah satunya adalah bidang hukum pidana. Untuk keperluan penyusunan rancangan KUHP nasional yang baru ini, sebagai bagian dari badan perencana dalam lembaga ini dibentuk suatu panitia kerja hukum yang terdiri dari pada teoritisi dan praktisi hukum pidana.