Kedudukan Harta Benda Dalam Perkawinan

SUDUT HUKUM | Harta benda dapat memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan penunjang hidup manusia. Dengan adanya harta benda berbagai kebutuhan hidup seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, penunjang beribadah dan sebagainya dapat dipenuhi. Dalam perkawinan kedudukan harta benda sebagai harta keluarga disamping sarana untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas, juga berfungsi sebagai pengikat perkawinan. Perlu dipahami bahwa harta benda dalam perkawinan adalah harta serikat atau syrkah. Oleh sebab itu penggunaan harta harus menurut aturan yang telah ada agar menjadi halal, bermanfaat dan mengandung berkah. Dalam perkawinan sering terdapat dua jenis harta benda, yaitu harta benda yang dibawa dari luar perkwinan yang telah ada pada saat perkawinan dilaksanakan dan harta benda yang diperoleh secara bersama-sama atau sendiri-sendiri selama dalam ikatan perkawinan. Merujuk pada ketentuan Pasal 35 Ayat 2 Undang-Undang Perkawinan maka terlihat sebelum memasuki perkawinan adakalanya suami atau isteri sudah memiliki harta benda bawaan.

Dapat saja merupakan harta milik pribadi hasil usaha sendiri, harta keluarganya atau merupakan hasil warisan yang diterima dari orang tuanya. Harta benda yang telah ada sebelum perkawinan ini bila dibawa ke dalam perkawinan tidak akan berubah statusnya. Berdasarkan Pasal 89 dan 90 KHI, para pihak wajib bertanggung jawab memelihara dan melindungi harta isteri atau harta suaminya serta harta milik bersama. Jika harta bawaan itu merupakan hak milik pribadi masing-masing jika terjadi kematian salah satu diantaranya maka yang hidup terlama menjadi ahli waris dari si mati. Kalau harta bawaan itu bukan hak miliknya maka kembali sebagai mana adanya sebelumnya. Kalau keduanya meninggal maka ahli waris mereka adalah anak-anaknya.

Kedudukan Harta Benda Dalam Perkawinan


Mengacu pada Pasal 35 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan menetapkan bahwa harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan menjadi harta benda milik bersama. Harta bersama dapat berupa benda berwujud atau benda tak berwujud, baik yang telah ada maupun yang akan ada, kemudian hadiah, honor, penghargaan dan sebagainya yang diperoleh masing-masing pihak yang menyebabkan bertambahnya pendapatan yang ada hubungannya dengan profesi atau pekerjaan sehari-hari suami atau isteri menjadi harta milik bersama. Kedudukan harta dalam perkawinan yang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan diperkuat dalam KHI, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1 huruf f KHI bahwa semua harta yang diperoleh sepasang suami isteri selama dalam perkawinan menjadi harta benda kepunyaan bersama, baik harta tersebut diperoleh sendiri-sendiri atau bersama-sama tanpa mempersoalkan terdaftar atau diperoleh atas nama siapa.

Jadi mengenai harta yang diperoleh oleh suami isteri selama dalam ikatan perkawinan adalah harta milik bersama, baik masing-masing bekerja pada satu tempat yang sama maupun pada tempat yang berbeda-beda, baik pendapatan itu terdaftar sebagai penghasilan isteri atau suami, juga penyimpanannya didaftarkan sebagai simpanan suami atau isteri tidak dipersoalkan, baik yang punya pendapatan itu suami saja atau isteri saja, atau keduanya mempunyai penghasilan tersendiri selama dalam perkawian. Harta bersama tidak boleh terpisah atau dibagi-bagi selama dalam perkawinan masih berlangsung. Apabila suami isteri itu berpisah akibat kematian atau akibat perceraian barulah dapat dibagi. Jika pasangan suami isteri itu waktu bercerai atau salah satunya meninggal tidak memiliki anak, maka semua harta besama itu dibagi dua setelah dikeluarkan biaya pemakamam dan pembayar hutang-hutang suami isteri. Jika pasangan ini mempunyai anak maka yang menjadi ahli waris adalah suami atau isteri yang hidup terlama beserta anak-anak mereka