Tinjauan mengenai Upaya Hukum

Menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP, yang dimaksud dengan upaya hukum adalah “Hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Sebagai suatu hak, maka tentunya upaya hukum tersebut sangat tergantung kepada terdakwa maupun penuntut umum apakah akan mempergunakannya atau tidak.

Tinjauan mengenai Upaya Hukum


Adapun maksud dari upaya hukum sendiri pada pokoknya yaitu untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi sebelumnya dan untuk kesatuan peradilan. Dengan adanya upaya hukum ini maka terdapat jaminan bagi terdakwa ataupun masyarakat bahwa peradilan, baik menurut fakta maupun hukum adalah benar dan sejauh mungkin seragam (Lilik Mulyadi,2007:234).

Berdasarkan ketentuan dalam KUHAP, dikenal dua macam upaya hukum, yaitu upaya hukum biasa (gewone rechtsmiddelen) dan upaya hukum luar biasa (buiten gewone rechtsmiddelen). Upaya hukum biasa terdiri dari banding (revisi/hoger beroep) yang diatur dalam Pasal 233 sampai Pasal 243 KUHAP dan kasasi (cassatie) yang diatur dalam Pasal 244 sampai Pasal 258 KUHAP. Upaya hukum luar biasa (buiten gewone rechtsmiddelen) terdiri dari pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum (cassatie in het belang van hetrecht) diatur dalam Pasal 259 sampai Pasal 262 KUHAP dan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (herziening) yang diatur dalam Pasal 263 sampai Pasal 269 KUHAP. Uraian dari upaya hukum diatas yaitu:
  • Upaya hukum biasa

Upaya hukum biasa merupakan hak terdakwa dan penuntut umum untuk tidak menerima putusan Pengadilan Negeri atau tingkat pertama (judex factie), yang mana maksud upaya hukum biasa ini yaitu untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi sebelumnya, untuk kesatuan pengadilan dan sebagai perlindungan terhadap tindak sewenang-wenang hakim atau pengadilan (Andi Sofyan dan Abd. Asis,2014:269).Upaya hukum biasa terdiri dari;

1) Banding
Apabila salah satu pihak dalam suatu perkara tidak menerima suatu putusan pengadilan negeri karena merasa hak-haknya terserang oleh adanya putusan itu atau menganggap putusan itu kurang benar atau kurang adil, maka ia dapat mengajukan permohonan banding. Pihak-pihak tersebut dapat mengajukan perkara yang telah diputuskan itu kepada pengadilan yang lebih tinggi untuk dimintakan pemeriksaan ulangan. Asas peradilan dalam dua tingkat itu disandarkan pada keyakinan bahwa putusan pengadilan pada tingkat pertama itu belum tentu tepat atau benar dan oleh karena itu perlu dimungkinkan pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi (Janpatar Simamora,2014:7).

2) Kasasi
a) Pengertian Kasasi
Pasal 244 KUHAP menyatakan bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukam pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas. Selain pengertian dari KUHAP tersebut, kasasi juga dapat diartikan bahwa kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa dan merupakan hak asasi yang diberikan peraturan perundang-undangan kepada pencari keadilan. Kasasi berasal dari kata “Cassation” dengan kata kerja “Casser” artinya membatalkan atau memecahkan.

Peradilan kasasi dapat diartikan memecahkan atau membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan, karena dinilai salah menerapkan hukum. Meskipun secara normatif Mahkamah Agung memiliki kewenangan mengadili perkara kasasi tidak serta merta dan pasti melakukannya, melainkan tergantung pihak pencari keadilan atau penuntut umum, mengajukan kasasi atau tidak dan tergantung syarat lain yang harus dipenuhi. Secara yuridis formal permohonan kasasi dapat diterima apabila memenuhi syarat formal antara lain: tenggang waktu mengajukan kasasi, surat kuasa khusus sempurna, masih ada upaya hukum yang disediakan oleh hukum acara (verzet, banding), memberikan memori kasasi dalam waktunya (Henry P Panggabean,2001:201).

b) Alasan Kasasi
Alasan pengajuan kasasi telah ditentukan dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP secara limitative yang menyebutkan:
Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 249 guna menentukan:
  1. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
  2. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang;
  3. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas kewenangannya.

Selain dari KUHAP, diatur pula dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, alasan-alasan hukum yang dipergunakan dalam permohonan kasasi, yaitu;
  1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang,
  2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku
  3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

c) Tujuan Kasasi
(1) Koreksi Terhadap Putusan Pengadilan Bawahan
Salah satu tujuan kasasi ialah memperbaiki dan meluruskan kesalahan penerapan hukum, agar hukum benar-benar diterapkan sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara benar-benar dilakukan menurut ketentuan undang-undang.
(2) Menciptakan dan Membentuk Hukum Baru
Di samping tindakan koreksi yang dilakukan Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi ada kalanya tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan “hukum baru” dalam bentuk yurisprudensi. Berdasarkan jabatan dan wewenang yang ada padanya dalam bentuk judge making law, sering Mahkamah Agung mencipta hukum baru uang disebut “hukum kasus” atau case law, guna mengisi kekosongan hukum, maupun dalam rangka menyejajarkan makna dan jiwa ketentuan undang-undang sesuai dengan “elastisitas” pertumbuhan kebutuhan lajunya perkembangan nilai dan kesadaran masyarakat.
(3) Pengawasan Terciptanya Keseragaman Penerapan Hukum
Tujuan lain daripada pemeriksaan kasasi, bermaksud mewujudkan kesadaran “keseragaman” penerapan hukum atau unified legal opinion. Dengan adanya putusan kasasi yang mencipta yurisprudensi, akan mengarahkan keseragaman pandangan titik tolak penerapan hukum, serta dengan adanya upaya hukum kasasi, dapat dihindari kesewenangan pandangan titik tolak penerapan hukum, serta dengan adanya upaya hukum kasasi dapat terhindari kesewenangan dan penyalahgunaaan jabatan oleh para hakim yang tergoda dalam memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya (M. Yahya Harahap,2012: 539-542).

d) Putusan yang dapat Dikasasi
Berdasarkan Pasal 244 KUHAP, maka terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung kecuali terhadap Putusan Bebas.

Putusan yang dapat dikasasi dapat diajukan pada semua putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan kecuali putusan bebas, dijelaskan sebagai berikut:
  1. Terhadap putusan Pengadilan Negeri yang dalam kedudukannya sekaligus sebagai paradilan tingkat pertama dan terakhir, yang terhadap putusan tidak dapat diajukan permohonan banding.
  2. Terhadap semua putusan Pengadilan Tinggi yang diambilnya pada tingkat banding, yang terhadap putusan tingkat banding tersebut, Pengadilan Tinggi telah mengambil putusan pada tingkat banding, terhadap putusan banding tersebut diajukan permohonan kasasi, putusan inilah yang dikualifikasikan sebagai putusan pengadilan “tingkat akhir”.
  3. Terhadap putusan bebas, berdasarkan Pasal 244 KUHAP, terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan permohonan kasasi. Akan tetapi, kenyataan praktek larangan Pasal 244 KUHAP tersebut telah disingkirkan oleh Mahkamah Agung secara Contra Legem,yakni praktek dan penerapan hukum yang secara terang-terangan “bertentangan dengan undang-undangan” (M. Yahya Harahap,2012:543-544).

Ketentuan Pasal 244 KUHAP sudah tidak mengikat, mengenai frase kecuali terhadap putusan bebas ini sudah dianulir dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012, yang amarnya berbunyi : “Menyatakan frasa, “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945 dan Menyatakan frasa, “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.

  • Upaya Hukum Luar Biasa

Merupakan pengecualian dan penyimpangan dari upaya hukum biasa, upaya banding dan kasasi. Upaya hukum luar biasa bertujuan untuk mengoreksi serta meluruskan kesalahan yang terdapat dalam putusan tersebut dan pelurusan kesalahan tersebut dimaksudkan demi tegaknya hukum dan kebenaran serta keadilan (M. Yahya Harahap, 2012:543-544). Upaya hukum Luar Biasa terdiri dari;

1) Kasasi demi kepentingan hukum
Kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan terhadap putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang telah berkekuatan hukum tetap, hal ini berbeda dengan peninjauan kembali, tidak hanya terbatas pada putusan pengadilan negeri dan atau putusan pengadilan tinggi, tetapi juga terhadap putusan Mahkamah Agung (M. Yahya Harahap, 2012:608-609).

Pihak yang berhak mengajukan kasasi demi kepentingan hukum diatur dalam Pasal 259 ayat (1) KUHAP, yaitu jaksa Agung karena jabatannya, terpidana atau ahi waris atau penasehat hukumnya tidak diperkenankan mengajukan kasasi demi kepentingan hukum. Putusan kasasi demi kepentingan hukum ini tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan dan hanya diperbolehkan diajukan satu kali saja.

2) Peninjauan Kembali
Putusan pengadilan yang dapat dimintakan peninjauan kembali yaitu:
  1. Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
  2. Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan
  3. Kecuali terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum (M. Yahya Harahap,2012:615-616).

Pasal 263 ayat (1) menyatakan bahwa orang yang berhak mengajukan peninjauan kembali yaitu terpidana atau ahli warisnya. Sehingga jaksa penuntut umum tidak berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali karena undang-undang tidak memberikan hak kepada penuntut umum guna melindungi kepentingan terpidana.