Tindak Pidana Penodaan Agama dalam KUHP

Tekanan dari kalangan konservatif Muslim melapangkan jalan bagi Pasal pidana penodaan agama yang mengandung penafsiran kabur dan luas sejak pemerintahan Soekarno. 31Pasal 156 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Menyatakan:

Dipidana dengan pidana penjara selama-selamanya lima Tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pasal pidana ini disarikan dari penetapan presiden yang disahkan Soekarno tentang penodaan agama, ditandatangani pada 27 Januari 1965, yang memenuhi permintaan kaum konservatif Muslim. Bagian penjelasan dari ketetapan ini menegaskan bahwa agama-agama “yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia” ialah “Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khong Cu (Confusius”. Pada paragraf berikutnya, “ini tidak berarti agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, dan Taoism dilarang di Indonesia. Mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain”.

Tindak Pidana Penodaan Agama dalam KUHP


Penafsiran umum dari Pasal penodaan agama ini bahwa Indonesia hanya mengakui secara resmi enam agama. Mahkamah Konstitusi memutuskan, sejak adanya aturan itu, penafsiran tersebut keliru. Ia menegaskan bahwa Indonesia mengakui agama apapun yag dianut warga negara. Tapi hanya melindungi enam agama dari penodaan.

Kata Penodaan/ Penghinaan Agama/Tuhan diambil dari bahasa Inggris yang disebut dengan istilah Blasphemy. Memiliki pandangan arti Menurut Rollin M. Perkins & Ronald N. Boyce, Blasphemy is the malicious, revilement of God and Religion. Sedangkan Menurut Black’s Law Dictionary, blasphemyadalahirrevence toward God, religion, a religious icon, or something else considered sacred, yang artinya ketidakhormatan kepada Allah, agama, suatu simbol agama, atau sesuatu yang lain dianggap suci.

Tindak pidana penodaan agama adalah merupakan bagian dari delik-delik agama. Perumusan delik-delik agama dalam suatu peraturan perUndang-Undangan pidana bisa-nya didasarkan atas suatu alternatif atau penggabungan beberapa teori tergantung pada kepentingan hukum yang hendak dilindungi. Pada umumnya dikenal tiga jenis teori yang dijadikan dasar pembentukan delik-delik agama, yaitu:
  1. Friedensshutz-theorie, yang memandang ketertiban umumsebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi (der religiosce intercom fessionelle feriede);
  2. Gefuhlsshutz-theorie, yang memandang rasa keagamaansebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi (das heiligste Innenleben der Einzelnen we der gesamtheit). Teori ini dikemukakan oleh Binding,dan;
  3. Religionsshutz-theorie, yang memandang agama sebagai kepentingan hukum yang harus di lindungi oleh Negara (das kulturhut der Religion and der Ungenheuren idealismus, der aus ihr Furreine grosse Menge von Meschen hervegeht). Teori ini dikemukakan oleh Kohler dan Kahl.

Meskipun ketentuan Blasphemy dalam hukum positif di beberapa negara sudah tidak menjadi peraturan yang tidak pernah ditegakkan lagi dan upaya penghapusan ketentuan Blasphemy dalam perUndang-Undang pidana sedang gencar dilaksanakan, namun di beberapa negara lain, khususnya di negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam atau Islam sebagai agama negara, penodaan agama telah dianggap kejahatan (tindak pidana) contohnya adalah Indonesia. Pada Indonesia Pancasila adalah34 merupakan ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia dan merupakan sumber dari segala sumber hukum Negara Indonesia. Sila pertama berbunyi : “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan pengakuan bahwa Negara Indonesia memandang agama adalah salah satu tiang pokok dari kehidupan manusia dan bagi bangsa Indonesia adalah sebagai sendi perkehidupan Negara dan unsur dalam usaha Nation Building. Meskipun demikian, dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” dan bukan negara Agama, Sehingga Indonesia menganut prinsip “Non Preferential treatment” (tidak ada perlakuan khusus) terhadap suatu
agama apapun di Indonesia.

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga ditegaskan bahwa: “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.

Pada Pasal-Pasal tersebut jelas negara (pemerintah) adalah institusi pertama yang berkewajiban untuk menjamin pembebasan keyakinan dan segala sesuatu yang menjadi turunannya, seperti pengakuan hak-hak sipilnya tanpa diskriminasi. Indonesia adalah negara hukum yang tidak menganut pemisahan yang tajam antara negara dan agama (sekuler) seperti dianut oleh negara-negara barat dan negara-negara sosialis. Maka, pengaturan delik-delik agama dalam peraturan perUndang-Undangan tersebut dalam pidana dipandang sebagai suatu pembatasan yang konstitusional terhadap kebebasan beragama dan kepercayaan.

Delik Agama pada dasarnya mengandung beberapa pengertian yaitu delik menurut agama, dan delik yang berhubungan dengan agama. Delik menurut agama banyak tersebar dalam KUHP misalnya: Pembunuhan, Pencurian, Fitnah, Penghinaan, Penipuan dan delik kesusilaan (Pemerkosaan). Delik pada Agama terlihat pada Pasal 156a KUHP (penodaan pada agama dan melakukan perbuatan agar orang tidak menganut beragama), serta Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP penghinaan pada golongan/penganut agama; dikenal istilahnya group libel.

Delik yang berhubungan dengan Agama pada KUHP yakni Pasal 175 s.d 181 KUHP serta Pasal 503 ke-2 yang melakukan perbuatan-perbuatan:
  1. Merintang pertemuan/upacara agama dan upacara penguburanjenazah (Pasal 175 KUHP);
  2. Menggangu pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah (Pasal 176 KUHP);
  3. Menertawakan petugas agama dalam menjalankan tugasnya yang diijinkan (Pasal 177 huruf a KUHP);
  4. Menghina benda-benda keperluan ibadah (Pasal 177 huruf b KUHP);
  5. Merintangi pengangkutan mayat ke kuburan (Pasal 178 KUHP);
  6. Menodai/ merusak kuburan (Pasal 179 KUHP);
  7. Menggali, mengambil dan memindahkan Jenazah (Pasal 180 KUHP);
  8. Menyembunyikan, menghilangkan jenazah untuk menyembunyikan kematian/kelahiran (Pasal 181 KUHP);
  9. Membuat gaduh dekat bangunan untuk ibadah atau pada waktu ibadah dilakukan (Pasal 503 ke-2).

Bagian ini difokuskan lebih pada Pasal 156a KUHP yang menjadi rujukan hakim pada pemutusan perkara/kasus penodaan agama. Pasal ini selengkapnya tertulis:

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima Tahun barang siapadengansengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. Yang pokoknya bersifat permusuhan, menyalahgunakan atau penodaan terhadapsuatu agama di Indonesia; b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganutagama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. “

Pasal 156a KUHP ini berlatar belakang dari gagasan yang bekembang dalam Seminar Hukum Nasional I yang terwujudnya dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentag Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dimana dalam Pasal 4 bertuliskan:

Pasal 4

Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diadakan Pasal baru sebagai berikut:

Pasal 156a yang berbunyi:Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima Tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. Yang pokoknya bersifat permusuhan, menyalahgunakan atau penodaan terhadap suatu agama di Indonesia; b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang
Maha Esa.

Inilah awal kelahiran delik agama dalam pengertian KUHP, yang kemudian mempengaruhi rumusan RUU KUHP. Terutama yang ingin dilindungi dalamkonsep delik terhadap agama ini adalah kesucian agama itu sendiri, bukan melindungi kebebasan beragama para pemeluknya.

Sedangkan menurut Prof.Dr.Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa tindakpidana dalam Pasal 165a KUHP mirip dengan apa yang dinamakan Blasphemy atau Godlatering yang berarti penghinaan terhadap Allah. Dasar inilah yang dipakai Jaksa pada waktu itu khususnya pada Intelijen Yustisial Kejaksaan pada Jaksa Penuntut Umum dalam mendakwa Arswendo Atmowiloto, yang pada dakwaannya dengan alasan bahwa dengan mengadakan polling mengenai 10 tokoh terpopuler merupakan penodaan terhadap suatu agama.

Dalam KUHP hanya terbatas pada pengaturan mengenai penodaan terhadap agama, walaupun Nabi merupakan salah satu yang termuat dalam setiap agama, akan tetapi RUU KUHP membuka pintu lebar-lebar dalam pengaturan yang lebih Lex Specialis dan menutup rapat-rapat penafsiran ataupun mengantisipasi kemungkinan terjadi multi tafsir.

Mengapa aturan tentang penodaan agama perlu dimasukan dalam KUHP? Pertanyaan ini bisa dijawab pada Undang-Undang Nomor.1/PNPS/1965, disana disebutkan beberapa hal, antara lain:
  1. Undang-Undang ini dibuat untuk mengamankan Negara dan masyarakat,cita-cita revolusi dan pembangunan nasional dimana penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi;
  2. Timbulnya berbagai aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/ kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan mengeluarkan Undang-Undang ini;
  3. Karena itu, aturan ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaranajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan; dan aturan ini melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa;
  4. Seraya menyebut enam agama yang diakui pemerintah (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu), Undang-Undang ini berupaya sedemikian rupa agar aliran-aliran keagamaan di luar enam agama tersebut dibatasi kehadirannya.