Perlukah Dibentuk Badan Independen Penyelenggara Haji?

SUDUT HUKUM | Perdebatan terkait substansi revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggara Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) antara pihak DPR RI dalam hal ini Komisi VIII dengan Kementerian Agama RI semakin menarik untuk diikuti. Karena hal ini menyangkut payung hukum yang tentunya sangat menentukan kualitas pelayanan dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umrah setiap tahunnya.



Menyimak isi Majalah Parlementaria, Edisi: 142 TH.XLVI.2016, ada beberapa hal utama yang menjadi latar belakang pihak legislatif dalam hal ini Komisi VIII berinisiatif untuk melakukan revisi terhadap UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggara Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) antara lain sebagai berikut:

Pertama: Revisi UU No. 13 Tahun 2008 dengan mengajukan usulan menjadi Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terkait keamanan dan kenyamanan penyelenggaraan ibadah haji dan umrah sesuai ketentuan syariah dengan menjunjung tinggi prinsip amanah, keadilan, transparansi dan akuntanilitas publik.

Kedua: Revisi payung hukum terkait penyelenggaraan ibadah haji dan umrah secara substantial juga ingin memisahkan peran dominan Kementerian Agama (Kemenag) saat ini yang memiliki tiga peran sekaligus terkait penyelenggaraan ibadah haji yaitu sebagai regulator, ekskutor sekaligus pengawas.

Hal ini juga dinilai kurang efektif sehingga selalu terjadi kekurangan di sana-sini, dan dipandang perlu dibentuk badan independen penyelenggara haji.

Ketiga: Mengingat tugas dan fungsi Kementerian Agama sangatlah luas sebagai perwakilan negara yang tidak hanya mengurus umat Islam saja, sehingga untuk hal teknis yaitu penyelenggaraan ibadah haji dan umrah sudah seharusnya dikerjakan oleh badan independen.

Ke depannya, penyelenggaraan urusan ibadah haji dan umrah ini dapat maksimal dilakasanakan sesuai harapan.

Menariknya, dari beberapa alasan tersebut tidak sepenuhnya menjadikan pihak Kemenag yang selama ini menjadi pihak yang dipercaya menyelenggarakan ibadah haji dan umrah langsung mengamini keinginan pihak legislatif tersebut.

Berbagai argumen yang mengindikasikan bahwa pihak Kemenag menolak hal tersebut sangat mudah terbaca. Sehingga perdebatan panjang sampai hari ini masih terjadi.

Sayangnya, media sangat minim menginformasikan persoalan ini. Padahal ini sangat penting diketahui oleh masyarakat khususnya umat Islam, karena ini menyangkut kepentingan dan kenyamanan penyelenggaraan ibadah haji dan umrah dimasa yang akan datang. Ya, kita sangat memaklumi pada saat ini media sedang terlena pada Habieb Rizieq dan Ahok.

Kembali ke pokok permasalahan. Mengapa terjadi perdebatan panjang antara Komisi VIII dengan pihak Kementerian Agama terkait perlu tidaknya memebentuk badan independen penyelenggara haji?

Kalau penulis boleh menjawab, ini tidak terlepas dari “money” alias “fulus”. Ya, wajar saja jika “siapa yang seharusnya melaksanakan urusan haji dan umrah umat Islam” ini menjadi sesuatu yang diperebutkan.

Karena faktanya, anggaran yang dikelola untuk melancarkan proses pelaksanaan ibadah haji dan pengawasannya berjumlah lebih kurang Rp. 80 triliun. Jumlah yang sangat fantastis, bukan!

Mudah-mudahan semua masih waras dan tidak lupa bahwa ini adalah dana umat Islam yang murni didapatkan dari hasil keringat jerih payah untuk memenuhi panggilan Rabbnya.

Mari sejenak membuka nalar sehat kita akan pokok permasalahan ini. Bercermin dari masa lalu, memang selama lebih kurang 70 tahun penyelenggaraan ibadah haji di bawah kendali Kemenag sangat banyak catatan buruk.

Mulai dari permasalahan antrian tunggu yang sangat panjang, sampai-sampai niat ke tanah suci, khususnya calon jamaah haji yang tergolong usia tua, tidak kesampaian karena terlebih dahulu tutup usia.

Lanjut lagi permasalahan jumlah kuota yang selalu terbatas, tidak sebanding dengan jumlah penduduk Muslim di Indonesia. Sehingga, hal itu melatarbelakangi pihak tertentu untuk “berinovasi” memberangkatkan jamaah haji secara “ilegal” dengan menyisipkannya ke dalam kuota negara luar, dan akhirnya berhasil digagalkan.

Kemudian permasalahan keberangkatan, penginapan dan makan jamaah di lokasi juga selalu dipermasalahkan. Bahkan yang lebih dahsyatnya, dugaan korupsi dana haji juga turut mewarnai penyelenggaraan ibadah haji nan suci ini.

Mungkin kalau dilakukan testimoni bagi jamaah haji yang telah selesai menunaikan haji, sangat banyak keluhan yang akan mereka sampaikan. Ya wajar, ini bukan mengurus satu atau dua orang akan tetapi mengurus puluhan ribu orang yang berasal dari seluruh pelosok Indonesia.

Di sisi lain, kita juga patut mengapreseasi masukan demi masukan dan berbagai evaluasi yang setiap tahunnya terus dilakukan, sehingga pelaksanaan ibadah haji tahun 2016 lalu mengalami kemajuan ke arah yang lebih baik.

Artinya, catatan buruk dan beberapa prestasi tersebut semuanya menyangkut soal kualitas SDM, kemantapan managemen dan juga berkaitan dengan teknis pelaksanaan yang pada hakikatnya sangat berpeluang untuk diperbaiki.

Jadi, tidak salah bila dengan hasil perbaikan di tahun 2016, pihak Kemenag sedikit membusungkan dada dan berani mempertahankan kewenangannya untuk terus melaksanakan penyelenggaraan ibadah haji dan umrah.

Apakah dengan dibentuknya badan independen penyelenggara haji semua permasalahan tersebut akan tuntas? Jawabannya bisa iya bisa tidak.

Lalu bagaimana dengan keinginan pihak legislatif? Dari beberapa alasan yang melatarbelakangi pembentukan badan independen penyelenggara haji oleh pihak legislatif menurut hemat penulis adalah alasan yang belum tentu sepenuhnya menjamin bahwa penyelenggaraan ibadah haji dan umrah akan membaik.

Terkait niat untuk menetapkan payung hukum dalam meningkatkan pelayanan penyelenggaraan ibadah haji dan umrah khususnya dalam mewujudkan transparansi publik terkait penggunaan dana haji menurut hemat penulis ini adalah hal yang luar biasa dan perlu untuk didukung.

Akan tetapi tidak perlulah harus terburu-buru membuang energi merivisi UU No. 13 Tahun 2008, sementara ada hal yang lebih penting lagi sebaiknya dibicarakan.

Sebelum meneruskan hajat ingin membentuk badan independen penyelenggara haji dan umrah, sebaiknya pihak legislatif harus mengingatkan pemerintah bahwa terkait siapa sebenarnya yang memiliki wewenang penuh menurut undang-undang yang berhak mengelola dana haji yang jumlahnya fantastis tersebut sampai saat ini belum jelas.

Seharusnya pihak legislatif harus fokus dan terus mendesak pemerintah untuk segera membentuk Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH). Hal ini sebagaimana amanah yang tertuang dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.

Di sinilah sebenarnya peran strategis pihak legisltif jika benar-benar ingin memiliki niat baik terkait trnsparansi penyelenggaraan haji dan umrah. Terus desak dan desak pemerintah, jika masih “ngeyel” juga ingatkan mereka dengan santun dan lembut.

“Ada pun nasihat bagi para pemimpin kaum muslimin, adalah dengan menolong dan mentaati mereka di atas kebenaran, memerintahkan mereka dengannya, memperingatkan dan menegur mereka dengan santun dan lembut, memberi tahu mereka apa-apa yang mereka lalaikan, dan hak-hak kaum muslimin yang belum mereka sampaikan, tidak keluar dari kepemimpinan mereka, menyatukan hati manusia dengan mentaati mereka.” (Syarh Shahih Muslim, 1/144/82. Mauqi’ Ruh Al Islam)

Kemudian alasan kuat untuk memisahkan peran dominan Kemenag sebagai regulator, eksekutor dan pengawas sekaligus keinginan untuk mengurangi kerja Kemenag menurut hemat penulis adalah persoalan sederhana yang sebenarnya hanya terkait persoalan tekhnis.

Perlu dipahami bahwa untuk pengawasan pelaksanaan ibadah haji sebenarnya sudah ada pihak independen yang tugaskan yaitu Dewan Pengawas sebagaimana yang di atur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.

Sementara permaslahan eksekutor sekligus regulator di Kemenag itu tidak lebih hanya sebatas konsep yang nyatanya selama ini tidaklah mengakibatkan permaslahan yang fatal.

Begitu juga dengan tugas dan tanggungjawab Kemenag secara luas, hanya saja managemen dan tekhnis pelaksanaan yang sangat perlu untuk terus di evaluasi.

Justru dua hal yang lebih penting untuk kita semua perlu di khawatirkan dan halal untuk dicurigai, yaitu mengapa pemerintah sampai saat ini belum juga membentuk lembaga pengelola dana haji sebagaimana yang diamanahkan undang-undang?

Kedua, jika seandainya badan independen penyelenggara ibadah haji ini dibentuk dan ada wacana yang beredar akan dikelola oleh pihak swasta atau mungkin dipimpin oleh orang-orang “titipan” khawatirnya akan terjadi komersialisasi haji, na’uzubillah.

Terlepas apapun jalan cerita di episode akhir nantinya dan niat kedua belah pihak dalam menyampaikan argumennya, kita semua selalu berharap urusan ibadah haji dan umrah janganlah di rusak dengan kepentingan-kepentingan sesaat.

Ini adalah urusan rukun Islam, yang kaitannya langsung antara manusia dengan Sang Pencipta. Pembaca dan seluruh umat Islam tentunya memiliki pandangan tersendiri akan hal ini. Tergantung dari sudut pandang dan analisis masing-masing.

Sudahi dulu perdebatan ini, ayok lihat ke bawah masih ada jutaan umat Islam di negeri ini yang sudah sangat lama mengantre panjang untuk menunaikan niat suci.

Semoga dengan semakin mantapnya penyelenggaraan ibadah haji dan umrah turut memberi sumbangsih yang nyata dalam menambah kuantitas orang-orang yang selalu siap menegakkan kebenaran dan menyebarkan kebaikan di bumi Indonesia ini. Amin

/*M. Yusuf
Wiraswasta