Penyelesaian Sengketa Pencemaran Lingkungan

Penyelesaian Sengketa Pencemaran Lingkungan

Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki Izin Lingkungan (Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) barang siapa yang melanggar dapat dikenai pidana sebagaimana di atur dalam ketentuan Pasal 109 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009, menyatakan:

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”. (Pasal 109 ayat (1) UUPPLH)”


Sengketa lingkungan hidup dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu :

  1. Sengketa yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan.
  2. Sengketa yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam, dan.
  3. Sengketa yang muncul akibat pencemaran atau perusakan lingkungan.

Sengketa yang berkaitan dengan upaya perlindungan lingkungan pada umumnya terjadi antara pihak yang ingin memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kepentingan ekonomi di satu sisi dan pihak yang berkepentingan atau berkewajiban untuk melindungi lingkungan dan suber daya alam di sisi lain. Sengketa yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam pada umumnya terjadi karena ada pihak yang merasa akses mereka terhadap sumber daya tersebut terhalangi, sedangkan sengketa akibat pencemaran atau perusakan lingungan pada umumnya terjadi antara pihak pencemar/perusak dengan pihak yang menjadi korban pencemaran/perusakan.

Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan yang melibatkan dua pihak atau lebih yang ditimbulkan adanya atau dugaan adanya pencemaran dan atau perisakan lingkungan. Sengketa lingkungan (“environmental disputes”) merupakan “species” dari “genus” sengketa yang bermuatan konflik atau kontroversi di bidang lingkungan yang secara leksikal diartikan:

Dispute a conflict or conroversy; a conflict of claims or rights; an assertion of a right, claim, or demand on oneside, met by contrary claims or allegations on the other” Terminologi “penyelesaian sengketa” rujukan bahasa inggrisnya pun beragam : “dispute resolution”, “conflict management”, conflict settlement”, “conflict intervention”.


Hal ini di atur dalam Pasal 1 angka (25) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Penyelesaian sengketa lingkungan dapat dilakukan di dalam dan di luar pengadilan. Hal ini telah dijamin dalam Undang-Undang yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, yakni UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009). Khusus terhadap penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana di atur dalam Undang-Undang ini. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, membawa perkembangan berarti bagi penegakan hukum lingkungan di Indonesia dengan diakuinya hak-hak prosedural penyelesaian sengketa lingkungan dilakukan di dalam maupun di luar pengadilan, berikut ini akan disajikan model-model penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang meliputi:

Penyelesaian di dalam Pengadilan (Litigasi)

Suyud Margono berpendapat bahwa : “litigasi adalah gugatan atas suatu konflik yang diritulisasikan untuk menggantikan konflik sesungguhnya, dimana para pihak memberikan kepada seorang pengambilan keputusan dua pilihan yang bertentangan”. Litigasi sangat formal terkait pada hukum acara, para pihak berhadap-hadapan untuk saling beragumentasi, mengajukan alat bukti, pihak ketiga (hakim) tidak ditentukan oleh para pihak dan keahliannya bersifat umum, prosesnya bersifat terbuka atau transaparan, hasil akhir berupa putusan yang didukung pandangan atau pertimbangan hakim. Kelebihan dari litigasi adalah proses beracara jelas dan pasti sudah ada pakem yang harus diikuti sebagai protap. Adapun kelemahan litigasi adalah proses lama, berlarut-larut untuk mendapatkan putusan yang final dan mengikat menimbulkan ketegangan antara pihak permusuhan; kemampuan pengetahuan hukum bersifat umum; tidak bersifat rahasia; kurang mengakomodasi kepentingan yang tidak secara langsung berkaitan dengan sengketa.

Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 pasal 19 menjelaskan tentang keterpisahan mediasi dari litigasi adalah sebagai berikut :

  1. Jika para pihak gagal mencapai kespakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat dalam suatu proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lain.
  2. Catatan mediator wajib dimusnahkan
  3. Mediator tidak boleh diminta menjadi saksi dalam proses perkara yang bersangkutan.
  4. Mediator tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana maupun perdata atas isi kesepakatan perdamaian hasil proses mediasi.

Penyelesaian sengketa lingkungan melalui sarana hukum pengadilan dilakukan dengan mengajukan “gugatan lingkungan” berdasarkan Pasal 34 UUPLH jo. Pasal 1365 BW tentang “ganti kerugian akibat perbuatan melanggar hukum” (“onrechtmatigedaad”).

Penyelesaian di Luar Pengadilan (Non Litigasi)

Tujuan diaturnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa dengan cepat dan efisien. Hal mana mengingat penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi cenderung membutuhkan waktu lama dan biaya yang relatif tidak sedikit. Hal ini disebabkan proses penyelesaian sengketa lambat, biaya beracara di pengadilan mahal, pengadilan dianggap kurang responsif dalam penyelesaian perkara, sehingga putusan sering tidak mampu menyelesaikan masalah dan penumpukan perkara ditingkat Mahkamah Agung yang tidak terselesaikan. Sementara itu, dalam persidangan perdata di Indonesia, kapan perkara dapat terselesaikan secara normatif tidak ada aturan hukum yang jelas, sehingga bagi yang beritikad buruk akan semakin lama menikmati sesuatu kebendaan yang bukan miliknya, sebaliknya yang beritikad baik akan semakin menderita kerugian oleh karena suatu sistem yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Terkait dengan beban pembuktian dalam proses penyelesaian melalui litigasi merupakan kewajiban penggugat sebagaimana dijelaskan diatas, padahal dalam kasus pencemaran lingkungan, korban pada umumnya awam soal hukum dan seringkali berada pada posisi ekonomi lemah. Dasar hukum penyelesaian sengketa di luar pengadilan, bagi bangsa Indonesia telah ada sebelum kita merdeka. Dalam Peraturan yang dibuat oleh pemerintah Belanda yang bernama Reglement of de Burgerlijik Rechtsvordering (RV). Ketentuan ini tetap berlaku sebelum ada peraturan yang baru, sebab peraturan Undang-Undang Dasar 1945 tetap mengakui keberadaannya sebelum diganti oleh peraturan yang baru.

Perkembangan yang terjadi setelah Reglement of de Burgerlijik Rechtsvordering (RV), pemerintah Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi Internasional, seperti konvensi Washington dengan Undang-undang nomor 5 Tahun 1968, Konvensi New York diratifikasi dalam Keppres Nomor 34 Tahun 1981. Setelah Indonesia merdeka, penyelesaian sengketa di luar pengadilan tetap diakui keberadaannya oleh pemerintah dengan memasukkannya dalam salah satu pasal Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam penjelasan Pasal 3 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1970 tersebut, dinyatakan penyelesaian perkara di luar pengadilan, atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase), tetap diperbolehkan. Selain itu penyelesaian perkara di luar pengadilan juga diatur dalam pasal 14 ayat (2) Undang –Undang Nomor 14 Tahun 1970, menyatakan bahwa, ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian sengketa perkara secara perdamaian, dan diperbaharui Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 58 Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.

Pemerintah sepenuhnya dalam menindaklanjuti ketentuan dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tersebut, maka pemerintah mendirikan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Pemerintah pada Tahun 1999 mengundangkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan bahwa, penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase secara tegas menyatakan sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.