Pemikiran M. Quraish Shihab tentang Sabar

Menurut M. Quraish Shihab bahwa dalam kamus-kamus Al-Quran, kata shabr (sabar) diartikan sebagai “menahan” baik dalam pengertian fisikmaterial, seperti menahan seseorang dalam tahanan (kurungan), maupun imaterial-nonfisik seperti menahan diri (jiwa) dalam menghadapi sesuatu yang diinginkannya. Dari akar kata ini diperoleh sekian bentuk kata dengan arti yang beraneka ragam, antara lain, berarti “menjamin”, “pemuka masyarakat yang melindungi kaumnya”, atau berarti “gunung yang tegar dan kukuh”, “awan yang berada di atas awan lainnya sehingga melindungi apa yang terdapat di bawahnya, “batu-batu yang kukuh”, “tanah yang gersang”, “sesuatu yang pahit atau menjadi pahit”, dan lain-lain.

Pemikiran M. Quraish Shihab tentang Sabar


Dari arti-arti yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa kesabaran menuntut ketabahan dalam menghadapi sesuatu yang sulit, berat, dan pahit, yang harus diterima dan dihadapi dengan penuh tanggung jawab. Berdasar kesimpulan tersebut, para agamawan merumuskan pengertian sabar sebagai “menahan diri atau membatasi jiwa dari keinginannya demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih baik (luhur)”.

Seseorang yang menghadapi rintangan dalam pekerjaannya, menurut M. Quraish Shihab terkadang hati kecilnya membisikkan agar dia berhenti saja, walaupun apa yang diharapkan belum juga tercapai. Dorongan hati kecil yang kemudian menjadi keinginan jiwa itu, bila ditahan, ditekan, atau tidak diikuti, merupakan pengejawantahan dari hakikat “sabar”. Ini berarti bahwa yang bersangkutan akan melanjutkan usahanya, walaupun menghadapi berbagai rintangan. Makna “sabar” di sini sama dengan “tabah”.

Seseorang yang ditimpa malapetaka, bila mengikuti kehendak nafsunya, akan meronta, menggerutu dalam berbagai bentuk dan terhadap berbagai pihak: terhadap Tuhan, manusia, atau lingkungannya. Akan tetapi, bila dia menahan diri, dia akan menerima dengan penuh kerelaan malapetaka yang terjadi itu, mungkin, sambil menghibur hatinya dengan berkata, “Malapetaka tersebut dapat terjadi melebihi yang telah terjadi” atau, “Pasti ada hikmah di balik yang telah terjadi itu,” dan lain sebagainya, sehingga semuanya itu diterimanya sambil mengharapkan sesuatu yang lebih baik di kemudian hari. Di sini sabar diartikan sebagai “menerima dengan penuh kerelaan ketetapan-ketetapan Tuhan yang tidak terelakkan lagi”.

Dalam contoh yang kedua ini, M. Quraish Shihab mengemukakan suatu hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Nabi Saw., Anas ibn Malik, bahwa pada suatu ketika Rasul Saw. menemukan seorang wanita yang sedang menangis di hadapan sebuah kuburan. Kemudian Nabi Saw. bersabda kepadanya, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah.”

Wanita tersebut menjawab, “Pergilah jangan ikut campur urusanku, engkau tidak tertimpa seperti yang menimpaku.” (Wanita tersebut ketika itu tidak mengenal Nabi sehingga ketika disampaikan kepadanya, dia sadar dan menyesal, kemudian mengunjungi Nabi Saw. di rumah beliau). Beliau tidak memiliki penjaga-penjaga pintu dan wanita tersebut menyampaikan penyesalannya dengan berkata, “(waktu itu) aku tidak mengenalmu.” Nabi Saw. menjawab, “Hakikat kesabaran (kesempurnaannya) dinilai pada saat-saat pertama dari kedatangan malapetaka” (bukan setelah berlalu sekian waktu).

Jika demikian, sabar bukan berarti “lemah” atau “menerima apa adanya”, tetapi ia merupakan perjuangan yang menggambarkan kekuatan jiwa pelakunya sehingga mampu mengalahkan (mengendalikan) keinginan nafsunya. Dari sini, tidak heran kalau “puasa” dinamai “sabar”, karena esensi pokok dari ibadah ini adalah pengendalian diri yang berakhir dengan kemenangan.

Dari hakikat makna sabar yang dikemukakan di atas, jelas pula bahwa ia bukannya mengendapkan seluruh keinginan sampai terlupakan “di bawah sadar” sehingga dapat menimbulkan kompleks-kompleks kejiwaan, tetapi ia adalah pengendalian keinginan-keinginan yang dapat menjadi hambatan bagi pencapaian sesuatu yang luhur (baik) dan atau mendorong jiwa sehingga pelakunya mencapai cita-cita yang didambakannya.

Menurut M. Quraish Shihab, di dalam Al-Quran ditemukan perintah bersabar berkaitan dengan sekian banyak konteks, antara lain:
  • Dalam menanti ketetapan Allah, seperti dalam QS Yunus (10): 109, Dan bersabarlah sehingga Allah memberi putusan.
  • Menanti datangnya hari kemenangan, seperti dalam QS. Al-Rum (30): 60, Dan bersabarlah, sesungguhnya janji Allah adalah hak (pasti).
  • Menghadapi ejekan (gangguan) orang-orang yang tidak percaya, seperti dalam QS Thaha (20): 130, Dan bersabarlah menghadapi apa yang mereka ucapkan (berupa ejekan dan kritik’).
  • Menghadapi kehendak nafsu untuk melakukan pembalasan yang tidak setimpal, seperti dalam QS Al-Nahl (16): 127, Dan bersabarlah, dan tiada kesabaranmu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka.
  • Dalam melaksanakan ibadah, seperti dalam QS Maryam (19): 65, Maka mengabdilah kepada-Nya dan bersabarlah dengan penuh kesungguhan dalam pengabdian kepada-Nya. Demikian juga pada QS Thaha (20): 132, Perintahkanlah keluargamu (melaksanakan) shalat dan bersabarlah dalam pelaksanaannya.
  • Dalam menghadapi malapetaka, seperti dalam QS Luqman (31): 17, Dan bersabarlah menghadapi apa yang menimpamu.
  • Dalam usaha memperoleh apa-apa yang dibutuhkan, misalnya dalam QS Al-Baqarah (2): 153, Dan mintalah bantuan (makanan dalam menghadapi segala kebutuhanmu) dengan sabar (ketabahan) dan shalat (doa).

Al-Raghib Al-Asfahani, pakar bahasa Al-Quran, menjadikan ayat 177 Surah Al-Baqarah sebagai kesimpulan dari segala macam bentuk kesabaran (ketabahan) yang dituntut oleh Al-Quran. Ayat tersebut berbicara tentang albirr (kebajikan) dan orang-orang yang melakukannya, yakni antara lain mereka yang digambarkan sebagai “orang-orang yang bersabar (tabah)” dalam al-ba’sa’, al-dharra’, dan hina al-ba’s. Menurut Al-Raghib, sabar (tabah) dalam menghadapi kebutuhan yang mengakibatkan kesulitan, tergambar dalam kata al-ba’sa’, sabar dalam menghadapi kesulitan yang telah menimpa (malapetaka) dicakup oleh kata al-dharra’, sedangkan sabar dalam peperangan (menghadapi musuh) tergambar dalam wa hina al-ba’s.

Dengan demikian, kesabaran yang dituntut oleh Al-Quran adalah kesabaran dalam usaha mencapai apa yang dibutuhkan. Kesabaran ini menuntut usaha yang tidak kenal lelah, dan tidak mempedulikan rintangan apa pun sampai tercapainya apa yang dibutuhkan. Kemudian, sabar dalam menghadapi malapetaka sehingga dapat menerimanya dengan jiwa yang besar dan lapang guna memperoleh imbalan dan hikmahnya. Yang terakhir adalah sabar yang secara khusus digaris-bawahi, yaitu sabar dalam peperangan (perjuangan), walaupun hal yang terakhir dapat tercakup oleh kedua pengertian sebelumnya.

Menurut M. Quraish Shihab, salah satu perintah dini Allah adalah perintah bersabar. Ini dikemukakan pada ayat ke-7 Surah Al-Muddatstsir yang merupakan wahyu kedua atau ketiga, menurut riwayat lain yang diterima Nabi Muhammad Saw. Perintah tersebut disertai dengan penekanan khusus, yakni bahwa kesabaran harus didasari oleh li Rabbik (demi Tuhanmu). Kalimat ini menuntut agar kesabaran dilaksanakan semata-mata karena Allah Swt., bukan karena sesuatu yang lain, misalnya karena iming-iming pencapaian target. Dalam hal ini, kesabaran bagi Nabi Muhammad Saw. waktu itu adalah keislaman umat manusia.

Melalui kata li Rabbik, ayat ini ingin menegaskan bahwa yang dituntut adalah pelaksanaan perintah Allah dengan penuh ketabahan dan kesabaran, apa pun hasil yang dicapai. Mengapa demikian? Menurut M. Quraish Shihab, karena ketabahan dalam perjuangan dapat memudar apabila diingat bahwa hasil yang ditargetkan terlalu besar dibandingkan dengan sarana dan prasarana yang dimiliki. Akan tetapi, apabila yang menjadi tujuan adalah perjuangan itu sendiri terlepas dari apa pun hasilnya maka ia akan terus berlanjut, apakah yang diharapkan itu tercapai atau tidak. Sebab, sejak semula telah dinyatakan bahwa “yang dituntut adalah ketabahan dalam perjuangan” bukan “hasil perjuangan”.

Inilah sebabnya, berulang-ulang Al-Quran mengingatkan, Tidak ada tugas yang dibebankan kepada Nabi kecuali sekadar menyampaikan (QS Al- Nahl [16]: 35), dan lain-lain, sebagaimana ditegaskan dalam hubungannya dengan “keimanan dan keislaman orang yang dicintainya sekalipun, berada di luar kemampuan usaha beliau” (QS Al-Qashash [28]: 56), dan bahwa seandainya Tuhan menghendaki niscaya semua manusia (tanpa kecuali) akan beriman (QS Yunus [10]: 99).

Demikian sabar dengan aneka makna dan jangkauannya, yang dibutuhkan oleh setiap orang, apa pun kedudukan dan status sosialnya. “Bersabarlah terhadap apa yang menimpamu'” Demikian pesan Luqman kepada anaknya dalam rangkaian pesan-pesannya yang direkam oleh ayat 17 surah Luqman. Kata shabr yakni sabar dalam berbagai bentuk, terdapat di dalam Al-Qur’an sebanyak 103 kali. Menurut Imam Ghazali, lebih dari 70 kali Allah swt menguraikan masalah sabar dalam al-Qur’an.

Menurut M. Quraish Shihab, sabar adalah menahan kehendak nafsu demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih baik. Dari uraian al-Qur’an tentang sabar, dapat disimpulkan bahwa kebajikan dan kedudukan tertinggi diperoleh seseorang karena kesabarannya.

Dan Kami jadikan di antara mereka, pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar (QS. as-Sajdah/32: 24).

Dan telah sempurnalah perkataan/putusan Tuhanmu yang baik terhadap Bani Israil disebabkan karena kesabaran mereka” (QS. al-A’raf/ 7:137)

Atau firman-Nya:

Sesungguhnya hanya orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas (QS. az-Zumar/39:10).

Ganjaran-ganjaran amal kebajikan ditetapkan Allah kadarnya kecuali ganjaran kesabaran, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, dan karena itu puasa yang inti pelaksanaannya adalah sabar dinyatakan Allah, melalui Rasul-Nya dalam sebuah hadits Qudsi: “Puasa adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberi/menetapkan ganjaran bagi pelakunya.”

Secara umum kesabaran dapat dibagi dalam dua bagian pokok: Sabar jasmani dan sabar ruhani. Yang dimaksud dengan sabar jasmani adalah kesabaran dalam menerima dan melaksanakan perintah-perintah keagamaan yang melibatkan anggota tubuh, seperti sabar dalam melaksanakan ibadah haji yang mengakibatkan keletihan atau sabar dalam peperangan membela kebenaran, termasuk pula dalam kategori ini, sabar dalam menerima cobaancobaan yang menimpa jasmani seperti penyakit, penganiayaan dan semacamnya. Sedangkan sabar ruhani menyangkut kemampuan menahan kehendak nafsu yang dapat mengantar kepada kejelekan seperti sabar menahan amarah, atau menahan nafsu seksual yang bukan pada tempatnya.

Hampir seluruh keadaan dan situasi yang dihadapi manusia membutuhkan kesabaran, karena situasi dan keadaan tersebut tidak keluar dari dua kemungkinan. Pertama, sejalan dengan kecenderungan jiwanya, seperti ingin sehat, kaya, meraih popularitas dan sebagainya. Di sini kesabaran dituntut bukan saja guna memperoleh apa yang disenangi itu, tetapi juga ketika telah memperolehnya. Ketika itu manusia harus mampu menahan diri agar kecenderungan tersebut tidak mengantarkannya melampaui batas sehingga membawanya hanyut dan terjerumus dalam bahaya.

Kedua, tidak sejalan dengan kecenderungan jiwa manusia yang selalu ingin terbawa ke arus debu tanah bukan Ruh Ilahi. Ketika itu manusia membutuhkan kesabaran dan kehendak yang kuat agar tidak terbawa oleh panggilan yang rendah itu. Mungkin sesuatu yang tidak sejalan dengan kecenderungannya itu adalah tuntunan-tuntunan Ilahi, mungkin pula berupa malapetaka dan gangguan dari satu pihak terhadap pribadi, keluarga atau harta bendanya.

Di sini dituntut kesabarannya, dalam arti ia dituntut untuk menekan gejolak jiwanya agar apa yang disebut di atas dapat dielakkannya. Baik ia mampu untuk membalas gangguan tersebut bila pihak yang mengganggunya adalah manusia yang lemah, maupun ia tidak mampu. Bagi yang mampu Allah
memperingatkan:

Dan jika kamu memberi balasan maka balaslah dengan balasan yang setimpal dengan apa yang ditimpakan kepadamu, tetapi jika kamu bersabar maka sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar” (QS. an-Nahl/16: 126).

Sedang bagi mereka yang tidak mampu mengelak, maka ketika itu yang paling baik adalah menerima dengan tabah apa yang mereka hadapi sambil menghayati firman Allah dalam QS. al-Baqarah 2:155-156: “Sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berilah berita gembira kepada orang-orang yang bersabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan “Inna lillahi Wa Inna Ilahi Raji’un. “

Demikian lebih kurang menurut M. Quraish Shihab uraian al-Qur’an menyangkut kesabaran, yang daripadanya terlihat betapa sifat ini sangat dibutuhkan oleh manusia, kecil atau besar, muda atau tua, kaya atau miskin, raja atau rakyat jelata, serta kapan dan dalam situasi apapun ia berada dan “Sungguh apabila kesabaran tidak memberi kelegaan bagi seseorang, maka ketidaksabaran akan membinasakannya.”