Latar Belakang Munculnya Murjiah

Kalam secara harfiah berarti pembicaraan. Istilah ini merujuk pada sistem pemikiran spekulatif yang berfungsi untuk mempertahankan Islam dan tradisi keislaman dari ancaman maupun tantangan dari luar. Para pendukungnya adalah orang-orang yang menjadikan dogma atau persoalan-persoalan teologis kontroversial sebagai diskusi dan wacana dialektik, dengan menawarkan buktibukti spekulatif untuk mempertahankan pendirian mereka.

Latar Belakang Munculnya Murjiah


Para ulama sepakat bahwa tauhid adalah dasar utama dan pertama dalam ajaran Islam. Ketauhidan zaman Nabi ditanamkan oleh beliau melalui sikap dan tingkah laku bertauhid, yang apabila ada suatu masalah, bisa langsung ditanyakan kepada Nabi. Isu pertama yang berakibat langsung pada keretakan masyarakat muslim sesaat setelah wafatnya Nabi Muhammad adalah perkara keabsahan pengganti Nabi atau khalifah, beliau juga sebagai kepala negara. Sebab, kecuali sebagai kepala agama juga kepala pemerintahan. Setelah khalifah Utsman ibnu Affan, isu pengganti kepala negara atau khalifah ini semakin mengemuka.

Puncaknya, bentrokan antara pendukung Khalifah Ali ibnu Abi Thalib yang juga sepupu dan menantu Nabi yang terbunuh dan Mu’awiyah sebagai kerabat khalifah sekaligus sebagai Gubernur Damaskus waktu itu. Sebagian umat Islam telah berani membuat analisis tentang pembunuhan Utsman tersebut, apakah si pembunuhnya berdosa ataukah tidak, bahkan tidak sampai di situ saja, hal ini dianalisis siapa yang menggerakkan tangan si pembunuh itu, apakah manusia sendiri ataukah dari Tuhan. Diduga inilah yang mungkin menjadi cikal bakal tumbuhnya paham Jabariyah dan Qadariyah.

Perselisihan umat Islam tersebut di atas terus berlanjut hingga mencapai puncaknya pada peristiwa arbitase, yaitu upaya penyelesaian perselisihan Ali ibn Abi Thalib dengan Muawiyah ibn Abi Sufyan pada perang Shiffin. Dalam perang Shiffin terjadi perdamaian atau tahkim antara Ali dan Mu’awiyah. Akan tetapi perdamaian tersebut tidak dapat diterima oleh sebagian pengikut Ali ibn Abi Thalib. Pelopornya adalah Abdullah ibn Wahab al-Rasybi yang dalam perkembangan selanjutnya mereka itu disebut Khawarij, juga terkenal dengan kelompok Haruri. Dalam hal ini kelompok Khawarij berfatwa orang yang terlibat dengan tahkim, baik menyetujui dan apalagi melaksanakannya dinyatakan berdosa besar dan setiap yang berdosa besar meninggal dunia tanpa taubat, maka ia adalah kafir. Salah satu alasan mereka karena tidak atau ingkar menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim.

Penentuan seorang kafir atau tidak kafir bukan lagi soal politik, tetapi soal teologi. Kafir adalah orang yang tidak percaya, lawannya mukmin artinya orang yang percaya. Kedua istilah ini dalam al-Qur’an biasanya berlawanan. Kata kafir yang ditujukan pada golongan di luar Islam, oleh Khawarij dipergunakan dengan makna yang berbeda, yaitu untuk golongan yang berada dalam islam sendiri.

Dengan demikian kata kafir telah berubah dalam arti. Sebagaimana golongan Khawarij di atas, kaum Murji’ah pada mulanya juga ditimbulkan oleh persoalan politik yang muncul disekitar persoalan kholifah yang membawa persoalan atau perpecahan di kalangan umat Islam setelah wafatnya Utsman. Seperti dilihat, kaum Khawarij pada mulanya adalah penyokong Ali, tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena adanya perlawanan ini, penyokong-penyokong yang tetap setia padanya bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan satu golongan Islam yang dikenal dengan nama Syi’ah.

Sungguhpun merupakan dua golongan yang bermusuhan, sama-sama menentang Bani Umayyah, tetapi dengan motif yang berlainan. Seperti yang dikutip oleh Adeng dalam bukunya “Perkembangan Ilmu Kalam Klasik Hingga Modern”, mengatakan bahwa Murji’ah muncul sebagai reaksi terhadap teori-teori yang bertentangan dengan Syiah dan Khawarij, di mana kelompok Syiah dan Khawarij ini sama–sama menentang rezim Bani Umayyah, tetapi dari sudut pandang yang berbeda.

Penentangan Khawarij, karena mereka dianggap menyeleweng dari ajaran Islam, sedangkan penentangan Syi’ah karena mereka dianggap telah merampas kekuasaan dari pihak Ali dan keturunannya. Dalam suasana yang masing-masing mempunyai corak pemikiran tersendiri, maka Khawarij mengikuti paham demokrasi artinya dalam pemilihan khalifah dipilih oleh raknyat, sedang Syi’ah mengikuti faham teokrasi artinya masih dipengaruhi oleh agama, di atas pemimpin masih ada yang memimpinya yaitu seorang tokoh spiritual. Demikian pula halnya dengan faham Murji’ah ini, suatu golongan politik yang bebas artinya dalam politik tidak ada aturan main yang mengharuskan untuk berbuat, yang mempunyai pendapat tentang perselisihan yang timbul di antara umat Islam. Murji’ah lahir pada permulaan abad pertama hijriah tatkala pemerintahan Islam pindah ke Damaskus.

Berkata Ibnu Asakir dalam menjelaskan pendapat mereka (golongan yang kemudian hari akan menjadi aliran Murji’ah): mereka itu adalah golongan yang ragu, semula mereka berada di daerah peperangan, setelah mereka kembali ke Madinah dan Utsman telah terbunuh mereka tidak bertentangan dengan golongan lain, kata mereka. Kami tinggalkan kamu sekalian dalam persatuan dan tak ada pertentangan, setelah kami datang kepadamu ternyata kamu berselisih, sebagian kamu ada yang mengatakan bahwa terbunuhnya Utsman tidak mempunyai alasan sama sekali sebab Utsman dan sahabat-sahabatnya lebih pantas untuk berlaku adil. Sebagian kamu ada yang mengatakan: Ali bersama sahabatsahabatnya lebih berhak terhadap kholifah. Mereka itu semua dapat dipercayai dan menurut kami mereka itu adalah benar, kami tidak melepaskan diri dari kedua imam ini, dan tidak pula kami mengutuk salah seorang di antara mereka (Khawarij dan Syi’ah), kami tidak mengetahui keburukan-keburukan mereka, dan persoalan kedua imam beserta para pengikutnya kami tangguhkan kepada Allah yang akan memberikan ketentuan hukum.

Dari sini dapat kita ketahui bahwa golongan Murji’ah ini adalah golongan politik yang tidak mau mengotori tangan mereka dengan fitnah, tidak mau ikut campur atau terlibat dan tidak mau mengalirkan darah golongan lain, bahkan mereka tidak mau menentukan kesalahan atau kebenaran dari salah satu golongan yang berselisih. Sebab yang langsung dari timbulnya golongan ini ialah adanya perbedaan pendapat antara umat Islam yang kemudian menjadi perselisihan pendapat yang berakhir pada pertentangan, sedang sebab yang tidak langsung ialah soal kholifah, kalau tak ada kholifah tentunya tidak ada kaum Khawarij dan tak ada kaum Syiah, dengan demikian tidak ada pula Murji’ah. Sebenarnya Murji’ah lahir sebagai suatu sikap segolongan kaum muslimin yang hendak berusaha, dan menghendaki melepaskan diri serta menjauhkan dari semua persengketaan yang sedang berkecamuk pada saat itu.

Dengan kata lain, tidak mau mencampuri persoalan dan bersikap masa bodoh terhadap situasi sekitarnya, sedang keadaan pada saat itu adalah:
  1. Golongan Khawarij melawan pemerintahan yang syah, mengkafirkan Ali bin Abi Thalib yang menerima tahkim, serta Muawiyah yang merebut kekuasaan dari tangan Ali dalam peristiwa tahkim.
  2. Golongan Ali (Syi’ah) menyalahkan bahkan mengkafirkan orang-orang yang disangka merebut hak khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka berpendapat bahwa Ali bin Abi Thaliblah yang sebenarnya berhak menjadi Khalifah pertama.
  3. Golongan Muawiyah yang menyalahkan Ali bin Abi Thalib, dengan menuduh Ali bin Abi Thaliblah yang harus bertanggungjawab atas kematian Utsman bin Affan.
  4. Sebagai pengikut Ali bin Abi Thalib, menyalahkan Aisyah Ummul Mukminin, yang atas hasutan Tholhah dan Zubeir yang menggerakkan perlawanan terhadap Ali, sehingga terjadi perang Jamal.

Pada ketika situasi yang gawat itu lahirlah sekumpulan ummat Islam yang menjauhkan diri dari pertikaian, yang tidak mau ikut menyalahkan orang lain. Kalau ditanya bagaimana pendapat mereka tentang Mu’awiyah dan anaknya Yazid, mereka menjawab: kita tangguhkan persoalannya sampai dihadapan Tuhan dan di situ kita lihat mana yang benar. Kalau ditanya bagaimana pendapatnya tentang sikap kaum Khawarij yang lancang dan kaum Syi’ah, maka mereka menjawab: baik kita tangguhkan saja sampai dihadapan Tuhan dan kita lihat nanti bagaimana Tuhan menghukum atau memberi pahala pada mereka. Kalau ditanya mana yang benar antara Sayidina Utsman bin Affan dan penentang-penentangnya, maka mereka menjawab: lihat saja nanti di muka Tuhan.

Pendeknya sekalian masalah mereka tangguhkan sampai kehadirat Tuhan yang akan memberikan hukuman yang adil. Mereka tidak melahirkan apa-apa dan mereka berpangku tangan saja.

Pendirian hampir serupa dengan ini sudah dianut juga oleh beberapa orang sahabat Nabi ketika terjadi fitnahan pada zaman-zaman akhir kekuasaan Sayidina Utsman bin Affan, yaitu pada masa khalifah yang ke III. Sekumpulan sahabat, seperti Abdullah bin Umar, Abi Bakarah, Imran bin Husain, Muhammad bin Shalah, Sa’ad bin Abi Waqash, Utsman bin Zaid, Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Salam, tidak ikut membai’at (mengangkat) Saidina Ali dan pula tidak mau menyokong Mu’awiyah. Mereka lebih suka menjauhkan diri dari politik yang kacau itu.

Para sahabat itu bersandar pada sebuah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abi Bakarah sendiri, yaitu :

Dan merawikan Abu Bakarah, bahwasanya Rasulullah, berkata: Akan ada fitnah (kekacauan), maka orang yang duduk lebih baik dari pada orang yang berjalan, orang yang berjalan lebih baik dari orang yang ikut berusaha menghidupkan fitnah itu. Ketahuilah (kata nabi) apabila terjadi fitnah itu maka yang punya onta kembalilah kepada onta-ontanya, orang yang punya kambing kembal;iah kepada kambingnya, orang punya tanah kembalilah kepada tanahnya. Seseorang bertanya : Ya Rasulullah, kalau ia tak punya onta, tak punya kambing dan tak punya tanah, bagaimana?, Nabi menjawab: Ambillah pedangnya, pecahkan dengan batu mata pedangnya itu dan kemudian carilah jalan lepas mungkin.

Dengan dasar ini para sahabat tadi berpendapat, bahwa kalau terjadi fitnahan dan kekacauan antara sesama muslim, sikap yang lebih baik adalah menjauhkan diri, tidak ikut bergelombang bersama-sama kekacauan itu, tidak ikut memihak ke sana dan ikut memihak ke sini. Inilah yang paling aman menurut faham mereka. Tetapi para sahabat ini ketika itu tidak membentuk suatu madzab, suatu pengajian khusus bagi golongan mereka, mereka hanya sekedar diam dan menjauhkan diri dari perselisihan. Kaum Murji’ah ini, pada mula-mulanya hanya membenci soal-soal siasat, soal-soal politik dan khilafah. Tetapi kemudian mebentuk suatu madzab dalam ushuluddin, membicarakan soal iman, soal tauhid dan lain-lain. Pemimpin dari kaum Murji’ah adalah Hasan bin Bilal.

Dalam situasi saling tuduh menuduh (seperti keterangan di atas), salah menyalahkan bahkan kafir mengkafirkan sesama kaum Muslimin itu yang kesemuanya masih membaca dua sahadat dan masih menjalankan dasar-dasar dari rukun Islam, ada segolongan ummat Islam yang netral, tidak berpihak kepada golongan manapun, mereka menjadi kelompok sendiri. Golongan ini dinamakan
Murji’ah.

Aliran Murji’ah muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya, mengklaim kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagai mana hal ini dilakukan oleh aliran Khawarij. Oleh karena itu, aliran ini menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Hal ini lebih cenderung dalam masalah hati dan niat seseorang yang saling bertikai atau berselisih tersebut.

Pandangan-pandangan politis dan teologis aliran Murji’ah dianggap netral, sesuai dengan sebutan Murji’ah sendiri memberikan indikasi ‘kenetralan’ sikap dan pahamnya.33 Murji’ah diambil dari kata irja yang memiliki dua pengertian pertama, dalam arti pengunduran, dan kedua, memberi harapan. Pengertian pertama merujuk pada surat al-A’raf ayat 111 sebagai berikut:

Pemuka-pemuka itu menjawab: “Beri tangguhlah dia dan saudaranya serta kirimlah ke kota-kota beberapa orang yang akan mengumpulkan (ahli-ahli sihir).”

Kata arjih wa akhohu, (tangguhlah dia dan saudaranya) menunjukkan bahwa perbuatan bersifat sekunder dibandingkan niat. Demikian pula dengan pengertian yang kedua untuk menunjukkan bahwa ketidakpatuhan atas keyakinan bukan suatu dosa, sebagaimana ketaatan atas suatu kenyakinan lain tidak berguna. Murji’ah terambil dari kata: arjaa atau irjaa, yang berarti menangguhkan, menyerahkan, memberi harapan. Sehingga dengan demikian Murji’ah bisa berarti:
  1. Bersikap tidak mengeluarkan pendapat siapa yang salah atau benar di antara mereka, tetapi menangguhkan, menunda penyelesaian masalah itu sampai nanti datang perhitungan Tuhan (hari qiyamat).
  2. Mereka menyerahkan siapa yang benar atau salah atau siapa yang tetap iman atau menjadi kafir, terserah pada Tuhan yang menghakimi kelak.
  3. Bagi orang Islam yang melakukan dosa besar, tidak dihukum kafir, tetapi masih tetap iman serta masih ada harapan untuk memperoleh pengampunan dari Tuhan.

Untuk maksud itu mereka mengajukan alasan antara lain di dalam al-Qur’an surat at-Taubat ayat 106:

Dan ada (pula) orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada Keputusan Allah; adakalanya Allah akan mengazab mereka dan adakalanya Allah akan menerima Taubat mereka. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Harun Nasution, dalam buku : Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, mengatakan kata arja a memang mengandung arti membuat sesuatu mengambil tempat di belakang dalam makna memandang kurang penting. Pendapat bahwa perbuatan kurang penting akhirnya membawa beberapa golongan kaum Murji’ah, sebagai akan dilihat kepada faham-faham yang ekstrim. Arti selanjutnya adalah memberi pengharapan. Orang yang berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar bukanlah kafir tetapi tetap mukmin dan dia tidak akan kekal dalam neraka, memang memberi pengharapan bagi yang berbuat dosa besar untuk mendapat rahmat dari Allah. Oleh karena itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama Murji’ah diberikan kepada golongan ini. Bukan karena mereka menunda penentuan hukum terhadap orang Islam yang berdosa besar kepada Allah di hari perhitungan kelak, dan bukan pula karena mereka memandang perbuatan mengambil tempat dari iman. Tetapi karena mereka memberi pengharapan bagi orang yang berdosa besar untuk masuk surga

Karena iman menurut kaum ini berada di dalam hati sehingga perbuatan baik atau buruk tidak berguna, tidak bermanfaat atau tidak berpengaruh sama sekali terhadap imannya. Murji’ah berpendapat, bahwa seseorang dilarang menentang khalifah, sebab masalah ini adalah masalah Tuhan semata-mata. Dan tidak mau mengambil sikap maupun pendapat, apakah salah atau benar dengan orang-orang yang menerima tahkim. Hal ini karena mengetahui bahwa mereka adalah sahabat Nabi.

Murji’ah mengambil sikap netral, tidak memberi perlawanan atau mendukung salah satu dari mereka yang berkecimpung dalam masalah tahkim tersebut. Nama Istilah memberi harapan mengandung arti bahwa seseorang yang melakukan maksiat padahal ia seorang mukmin, imannya masih tetap sempurna, sebab, perbuatan maksiat tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap keimanannya, sebagaimana halnya perbuatan taat atau baik yang dilakukan oleh orang-orang kafir, tidak akan mendatangkan faedah terhadap kekufurannya artinya perbuatan tersebut tidak dapat menghapuskan dosa kekafirannya dan bila ia telah Islam, perbuatan tersebut juga tidak bermanfaat, karena ia melakukannya sebelum masuk Islam. Mereka berharap bahwa seseorang mukmin yang melakukan maksiat, ia masih dikatakan mukmin.

Dalam artian bahwa dosa sebesar apapun tidak dapat mempengaruhi keimanan seseorang dan keimanan tidak dapat pula mempengaruhi dosa. Dalam arti dosa ya dosa, iman ya iman Argumen yang dimajukan kaum Murji’ah ialah bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar masih mengucapkan kedua sahadat, tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul-Nya. Orang serupa ini masih mukmin dan bukan kafir atau musyrik. Orang Islam yang demikian mungkin masih mempunyaai perbuatan-perbuatan baik yang akan menjadi perimbangan bagi dosa besarnya kelak di hari perhitungan. Tuhan bersifat Maha Pemurah dan Maha Pengampun dan mungkin Tuhan mengampuni dosa besar yang dilakukannya di masa hidup sekarang. Di dunia ia tetap mukmin, dan diperlakukan sebagai orang Islam. Karena dalam Islam dianjurkan saling menghormati dan toleransi baik dan hal perbuatan atau pun ibadah.

Murji’ah berpendapat, bahwa seseorang atau golongan dilarang menentang khalifah, sebab masalah khalifah bukanlah urusan manusia, tetapi urusan Tuhan semata-mata. Baik buruknya pemerintahan bukan pula urusan manusia, tetapi terserah kepada Tuhan, sebab masalah itu juga urusan Tuhan.

Mereka juga tidak mau mengambil sikap maupun pendapat apakah salah atau benar perbuatan Ali bin Abi Thalib, Muawiyah maupun sahabat-sahabat yang lain. Hal ini karena mengetahui bahwa mereka itu adalah termasuk sahabat Nabi.

Dipandang dari segi politik, golongan Murji’ah ini menguntungkan pemerintahan pada waktu itu (Bani Umayah). Karena dengan ajaran yang demikian maka tidak akan terjadi pemberontakan terhadap pemerintah. Adapun pendapat mereka tentang iman ialah mengenal Tuhan dan rasul-rasul-Nya. Bila seseorang telah mengenal dan mengetahui adanya Tuhan dan para Rasul, sudah cukup sebagai seorang yang beriman. Golongan Murji’ah yang ekstrim beri’tikad bahwa asal orang sudah mengakui dalam hati atas ada dan wujudnya Tuhan dan rasul-rasul-Nya, maka itu sudah disebut mukmin, meskipun sikapnya menghina nabi, al-Qur’an maupun sahabat-sahabat nabi.

Dari uraian ini dapat dilihat bahwa kaum Murji’ah berlainan dengan kaum Khawarij, lebih mementingkan iman atau kenyakinan dari pada amal atau perbuatan. Yang menentukan iman atau tidak Islamnya seseorang adalah imannya dan bukan perbuatannya. Iman itu berada dalam hati, yang tidak bisa diketahui oleh orang lain, kecuali oleh Tuhan dan dirinya sendiri. Orang demikian bila berbuat dosa besar, masih tetap mukmin dan perbuatannya sama sekali tidak dapat mempengaruhi iman yang berada di dalam hati. Perbuatan maksiat juga tidak akan merusak iman, sebagaimana perbuatan taat tidak akan ada manfaatnya bagi orang kafir.