Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, di mana hakim merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur tercapainya suatu kepastian hukum.

Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-undang Nomor 48 tahun 2009. Undang-undang Dasar 1945 menjamin adanya sesuatu kekuasaan kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam penjelasan Pasal 24 ayat 1 dan penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan Undang-undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan


Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim alah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa: kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.

Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak (impartial jugde) Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009. Istilah tidak memihak di sini haruslah tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak yang benar. Dalam hal ini tidak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tapatnya perumusan UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1): “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.

Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut.

Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 35 Tahun 1999 jo. UU No. 48 Tahun 2009 yaitu: pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan unruk bercermin pada yurisprudensil dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 40 tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.