Biografi Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)

Haji Abdul Malik Karim Amrullah, (atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, yakni singkatan namanya), lahir pada tanggal 17 February 1908 di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981, adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, dan aktivis politik.

Biografi Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)


Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati. Ibunya bernama Safinah, dan ayahnya bernama Dr. Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906 dan seorang pemimpin pesantren “Sumatra Thawalib” di Padang Panjang.

Hamka mengawali pendidikannya membaca Al-Qur’an di rumah orang tuanya ketika mereka sekeluarga pindah dari Maninjau ke Padang Panjang pada tahun 1914. Setelah mencapai usai 7 tahun, Abdul Malik dimasukkan ayahnya ke sekolah desa, yaitu sekolah yang diberi nama Thowalib School, sampai menduduki kelas empat. Kemudian pada akhir tahun 1924, dalam usia 16 tahun, Hamka berangkat ke tanah Jawa.

Kunjungan yang relatif singkat telah mampu memberikan semangat baru baginya dalam mempelajari Islam, tepatnya di Yogyakarta mempunyai arti penting bagi pertumbuhan Hamka sebagai seorang pejuang dan penganjur Islam. Kesadaran baru dalam melihat Islam yang diperoleh di Yogyakarta memang sangat jauh berbeda dengan kesadarannya tentang Islam sebagai yang ia dapat dari guru-guru yang berada di Minangkabau. Sebagai banyak disinggung oleh para ahli yang menemukan cita pembaharuan Islam dalam bentuk pemurnian, lebih banyak berhadapan dengan praktek adat Minang yang dipandang berbau jahiliah.

Sifat-sifat dan keluasan ilmunya sangat agung dan tinggi, beliau adalah seorang rendah hati, beliau juga seorang hamba Allah yang sholeh, seorang cendekiawan yang arif, seorang mubaligh yang khutbanya dan pidato-pidatonya sangat memikat. Beliau juga terkenal dengan seorang yang berhasil sekaligus kaya akan pengetahuan dan pengalaman. Beliau juga terkenal tidak saja di dalam negeri, melainkan di beberapa negara Islam. Oleh sebab itu pada konggres Muhammadiyah ke-19 yang berlangsung di Bukit Tinggi pada tahun 1930. Hamka tampil sebagai penyaji dengan judul makalah “Agama Islam dan Adat Minangkabau“. Lalu ketika Konggres Muhammadiyah ke-20 pada tahun 1931, Hamka muncul kembali dengan ceramah berjudul “Muhammadiyah di Sumatra”.

Perjalanan dan aktifitas Hamka semakin memuaskan sehingga pada tahun 1958, Hamka turut sebagai anggota Delegasi Indonesia menghadiri simposium Islam di Lahore bersama almarhum Prof. Muhammad Hasbi Ash-Sidideqy dan K.H. Anwar Musaddad. Setelah itu meneruskan perjalanan ke Mesir. Hamka menyampaikan pidatonya yang berjudul “Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia”.

Dalam khazanah dunia ilmu pengetahuan Islam, Hamka dikenal sebagai imam dan ulama besar dan juga terkenal sebagai khotib masjid Al-Azhar di Kebayoran Baru Jakarta, karena itu Hamka memiliki potensi-potensi yang baik diantaranya:
  • Memimpin majalah Mimbar Agama
  • Menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Sumatra Barat
  • Menjadi Penasehat Pimpinan Muhammadiyah
  • Menjadi Pegawai Kementerian Agama
  • Menjadi Ketua Umum Mejelis Umum Indonesia.

Hamka juga terkenal sebagai sastrawan yang terkemuka dan merupakan angkatan Balai Pustaka. Salah satu karyanya yang terkenal yaitu Di Bawah Lindungan Ka’bah. Kemudian sebagai budayawan, beliau senantiasa menjadikan fikiran-fikiran budaya yang jernih, sebagai ulama terdepan yang senantiasa menyuarakan kebenaran agama, sebagai pemimpin, beliau adalah pimpinan yang baik, yang khususnya buat umat Islam. Beliau patut dijadikan contoh sebagai muslim yang sukses dan mampu memanfaatkan karunia Allah SWT yang diberikan kepadanya berupa potensi untuk mengembangkan diri umat Islam yang teramat panjang di bumi Indonesia ini.