Resensi Buku Carut Marut Pilkada Serentak 2015

  • Judul: Carut Marut Pilkada Serentak 2015
  • Penulis: Damang Averroes Al-Khawarizmi & Muh. Nursal NS
  • Penerbit: Philosophia Press
  • Jumlah Halaman: 206 hlm
  • Tahun terbit: 2016
Resensi Buku Carut Marut Pilkada Serentak 2015

Melalui buku ini, kiranya bisa menjadi bukti dari kami berdua kalau pada kenyataannya Pilkada serentak 2015 kemarin belumlah terselenggara berdasarkan prinsip demokrasi. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dapat dikatakan “gagal” menderivasi prinsip demokrasi yang diamanatkan UUD NRI 1945.

Hal ini disebabkan oleh dua keadaan: Pertama, pelembagaan Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang “ditarik” dari Undang-Undang Pemerintahan Daerah terjadi inkonsistensi oleh pembentuk Undang-Undang (DPR dan Presiden), antara mengembalikan sistem pemilihan langsung atau sistem pemilihan tidak langsung (via DPRD). Hingga pada akhirnya, untuk pertama kali dalam sejarah di Indonesia, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dapat membatalkan isi Undang-Undang (Pemilihan) secara keseluruhan. Kedua, bersamaan dengan itu, setelah Perppu tersebut disetujui oleh DPR, ditingkatkan menjadi Undang-Undang, Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota lagi-lagi “diotak-atik” beberapa ketentuannya, di saat tahapan Pilkada Serentak 2015 kian dekat jatuh temponya.

Jawabannya, semua disebabkan soal waktu yang membatasi DPR dalam merivisi Undang-Undang, sehingga dalam beberapa ketentuannya tidak dapat “direvisi” dengan sempurna. Ketidaksempurnaannya itu terang sekali dalam beberapa hal: suap politik Pilkada, calon tunggal yang tidak diakomodasi, Calon Kepala Daerah yang berstatus mantan Narapidana, Calon Kepala Daerah berstatus keluarga petahana, hingga pada hukum acara yang disediakan untuk segala perkara Pilkada juga terjadi tumpang tindih dengan tahapan penyelenggaraan pemilihan.

Hampir semua tema dan judul yang terpilih dalam buku ini, kami tidak menuliskannya secara serampangan, akan tetapi selalu diawali dengan diskusi alot terlebih dahulu. Lalu, kami masing-masing menyendiri untuk menuliskan hasil diskusi itu.

Dan satu hal yang selalu ditekankan dalam setiap penulisan, oleh karena tulisan ini merupakan kajian ilmu hukum. Maka, selalu dimulai degan “legal issue” kemudian diakhiri dengan pemecahan masalah (problem solving).

Dari awal kami sudah bertekad, bahwa menghasilkan sebuah karya adalah bisa memberi manfaat bagi pembaca. Sehingganya pun kalau isi dari semua buku ini hanyalah kumpulan opini, kiranya dapat berguna baik dalam tataran teoritis maupun dalam tataran praktis. Dalam tataran teoritis, dengan membaca satu isu saja dalam buku ini, maka seorang calon sarjana hukum akan dibekali masalah hukum, sehingga dapat merumuskan judul skripsi sebagai prasyarat menyandang gelar sarjana di fakultas hukum.

Ringkasnya, hampir setiap judul dalam buku ini dapat ditindaklanjuti dengan penelitian yang mendalam untuk memperkaya studi hukum Pemilihan Kepala Daerah. Sedangkan dalam tataran praktis, sudah pasti dengan beberapa solusi yang telah kami tawarkan dari beberapa kejanggalan dalam Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, seharusnya menjadi pedoman dalam revisi Undang-undang tersebut.

Sampai buku ini siap cetak, naskah revisi Undang-Undang Pemilihan, ternyata banyak yang berbeda dari yang sudah ditawarkan dalam buku ini. Sungguh tidak berdasar ketika DPR malah memiliki kehendak untuk mengubah suap politik Pilkada sebagai pelanggaran administrasi dan menerapkan sanksi administrasi. Padahal sedari awal kami sudah menawarkan kalau suap politik Pilkada cukup dipertahankan sebagai “delik pemiihan” dengan ancaman hukuman pidana yang jelas, serta menggunakan mekanisme hukum acara yang telah disediakan oleh Undang-Undang Pemilihan tersebut.

Perlu diketahui bahwa aspek hukum dalam Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota begitu kompleks, di dalamnya terdapat hukum pidana dan hukum administrasi. Sehingganya, dibutuhkan dasar-dasar ilmu hukum yang kuat sebelum membangun setiap ketentuannya. Tidak mungkin, Calon Kepala Daerah dikenakan sanksi administrasi ketika melakukan delik pemilihan “suap politik Pilkada” padahal dia bukan pejabat negara. Hukum administrasi sudah sangat terang, hanyalah pejabat negara yang dapat dikenakan sanksi administrasi sebab itu semata-mata demi menjaga maruah jabatannya.

Termasuk pendapat yang sangat keliru pula, kalau terdapat gagasan, tiba-tiba Bawaslu yang dapat menetapkan Calon Kepala Daerah “digugurkan” karena melakukan delik pemilihan suap politik Pilkada. Ingat! Dalam prinsip negara hukum, hanyalah pengadilan yang dapat menentukan bersalah tidaknya seseorang, pun dapat mencabut hak politik (hak untuk dipilih) seseorang tersebut. Sangat gila bagi kami kalau Bawaslu tiba-tiba dapat menjadi pengadilan.

Dalam buku ini, juga terdapat penalaran hukum yang berbeda dengan beberapa Putusan MK atas pengujian beberapa ketentuan Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yaitu: putusan tentang calon tunggal Kepala Daerah yang seharusnya langsung saja dilantik, putusuan tentang Calon Kepala Daerah yang bersatus mantan Narapidana; MK yang seolah-olah tidak tahu-menahu perbedaan antara Terpidana dan Narapidana.

Buku ini ditutup dengan tema Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah di MK. Di saat MK pada kenyataannya kembali berfungsi sebagai Mahkamah Kalkulator dan salah memaknai ambang batas perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah sebagai prasyarat mengajukan gugatan.

Dengan demikian, atas banyaknya masalah dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah, soal kehadiran badan peradilan khusus Pilkada tidak dapat lagi ditunda-tunda. Badan peradilan ini sudah seharusnya terbentuk, agar setiap perkara Pilkada baik yang terjadi pada tahapan maupun pada hasil pemilihannya tidak lagi dicampuradukan. Di atas segalanya, kita butuh penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah berdasarkan Prinsip demokrasi.