Kejahatan Suap sebagai Tindak Pidana Korupsi

Dalam bahasa sehari-hari, menyuap bisa diartikan sebagai membeli hak atau kewenangan seseorang yang berkuasa dengan tujuan agar tersuap melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hak atau kewenangannya. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri memang tidak menggunakan istilah penyuapan. Namun dari beberapa Pasalnya, kita bisa menafsirkan bahwa KUHP membedakan dua jenis penyuapan, yaitu penyuapan aktif dan penyuapan pasif.

Penyuapan aktif diatur dalam Pasal 209 dan Pasal 210 KUHP, sedangkan penyuapan pasif diatur dalam Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420 KUHP. Penyuap atau yang memberi suap diancam dengan pidana oleh Pasal 209, Pasal 210, tetapi yang menerima suap itu diancam di Pasal lain, yaitu Pasal 418, Pasal 419, dan Pasal 420. Karena yang disuap itu adalah pegawai negeri, maka delik-delik Pasal 418, Pasal 419, dan Pasal 420 termasuk juga delik jabatan.

Ketentuan Pasal 418 KUHP hanya menyebutkan bahwa seorang pegawai negeri yang menerima suatu pemberian atau janji, sedang diketahuinya atau patut harus menduga bahwa hal itu diberikan ditujukan kepada kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut maksud si pemberi ada hubungannya dengan jabatan tersebut, diancam dengan pidana penjara maksimum enam bulan atau denda maksimum tiga ratus rupiah. Dari Pasal 418 ini bisa kita lihat bahwa subyek adalah pegawai negeri.

Dari bentuk kesalahannya harus dibedakan, untuk perbuatannya itu sendiri dan untuk apa si pemberi itu memberikan pemberian itu. Untuk perbuatan itu sendiri, bentuk kesalahannya adalah dengan sengaja yaitu, ia sadar bahwa ia menerima suatu pemberian atau janji. Untuk unsur selanjutnya, ada dua kemungkinan bentuk kesalahan yaitu dengan sengaja (sedang diketahui) atau culpa-lata (patut harus diduga).

Dengan kata lain, ia menyadari atau patut menduga bahwa pemberian itu diberikan kepadanya, ditujukan kepada kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya. Jadi bukan merupakan hadiah dari keluarga atau dari sahabat karib misalnya. Jika tidak ada hubungan kekeluargaan atau persahabatan atau hubungan yang sah lainnya, tentunya ada “udang di balik batu” yang jika tidak untuk masa kini, mungkin untuk masa datang.

Untuk pegawai negeri, hal yang telah diuraikan di atas dipertegas lagi dengan pengucapan sumpah jabatan sebelum dirinya menjabat yang melarang mereka untuk menerima pemberian yang mungkin berhubungan dengan jabatan yang ia emban. Selengkapnya sumpah tersebut berbunyi:

Bahwa saya tidak akan menerima hadiah atau suatu pemberian berupa apa saja dari siapapun juga yang saya tahu atau patut dapat menduga bahwa ia bersangkutan atau mungkin berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan saya”


Apabila si petindak tidak menyadari/tidak dapat menduga bahwa pemberian itu ditujukan kepada kekuasaan/kewenangan tersebut, maka alternatif lainnya ialah sipetindak menyadari/patut menduga maksud si pemberi itu ada hubungannya dengan jabatan sipetindak.

Alternatif kedua ini adalah lebih ringan dari yang pertama. Dengan harapan, ini dalam rangka pembuktian tidak bertitik berat kepada si pemberi apakah ia bermaksud demikian itu atau tidak, melainkan tetap bertitik tolak kepada kesadaran si petindak yang didukung oleh kenyataan. Sebenarnya ada dua macam tindakan terlarang di sini dilihat dari sudut waktu, yaitu sebelum pegawai negeri itu melakukan atau membiarkan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dan setelahnya. Uraian pada Pasal 418 dan 419 KUHP ini bisa dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.

Penyuapan dikenal pada Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dikatakan sebagai “pemberian suap”.

Pasal 12 huruf a itu penerima suap bisa pidana penjara seumur hidup atau 4 hingga 20 tahun penjara dan Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar Pada bagian penjelasan Pasal 12 huruf a ini dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “pemberian” dalam ayat ini diartikan luas, yang dalam bahasa Inggris dikenal
dengan istilah “gratification” yang meliputi pemberian berupa uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lain.

Pemberian yang dimaksud adalah pemberian yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya baik sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara.Mengenai perbuatan memberi suap atau menerima suap, kapan diterapkan Pasal KUHP dan kapan dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi, haruslah terjawab apakah ada hubungannya dengan kerugian yang sangat bagi keuangan dan perekonomian negara yang pada akhirnya menghambat pembangunan nasional. Kalau dipandang perbuatan suapnya merugikan keuangan atau perekonomian negara, maka pelakunya bisa dikenakan Pasal-Pasal mengenai tindak pidana korupsi.

Keberadaan Pasal-Pasal suap yang diadopsi dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP ke dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selama ini hanya menjadi pasal “tidur” yang tidak memiliki makna. Atas dasar studi penelitian tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dari keseluruhan delik-delik korupsi yang bersifat multinormatif itu, mulai dari delik penyalahgunaan kewenangan, maupun delik penggelapan, hanya delik suap yang sangat sulit pembuktiannya.

Secara harfiah, kata suap (bribe) berasal dari istilah Perancis yaitu briberie, yang artinya adalah begging (mengemis) atau vagrancy (penggelandangan). Dalam bahasa Latin disebut briba, yang artinya a piece of bread given to beggar (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Kemudian, perkembangan selanjutnya, bribe bermakna sedekah (alms), blackmail, atau extortion (pemerasan) dalam kaitannya dengan gifts received or given in order to influence corruptly (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk memengaruhi secara jahat atau korup).

Kamus bahasa Indonesia sendiri, kosakata selain suap sangat banyak. Tetapi yang paling memiliki akar budaya adalah istilah upeti, berasal dari kata utpatti dalam bahasa Sansekerta yang berarti bukti kesetiaan. Menurut Agustinus Edy Kristianto sejarah, upeti adalah suatu bentuk persembahan dari adipati atau raja-raja kecil kepada raja penakluk. Sebagai imbalannya, raja penakluk memberikan perlindungan kepada kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah oleh para adipati tersebut.

Sistem kekuasaan yang mengambil pola hirarki ini ternyata mengalami adaptasi di dalam sistem birokrasi modern di Indonesia. Ketika para birokrat di Indonesia bekerja dengan sistem administrasi modern, upeti dianggap sebagai standar yang wajar sebagai alat tukar kekuasaan diantara mereka. Alat tukar ini bisa berwujud pertukaran antara jabatan resmi dan materi. Bahwa mereka yang memiliki kekuatan nominal akan mudahnya menguasai suatu jabatan penting, memiliki modal untuk membeli suatu perusahaan publik dan untuk membeli suara rakyat (venal office). Situasi ini menimbulkan kekeliruan persepsi di antara masyarakat Indonesia antara hadiah dan suap kala masyarakat berhadapan dengan birokrat.

Hadiah apabila diberikan tidak menimbulkan ekspektasi antara pemberi dan penerima, sedangkan suap selalu disertai pembelokan terhadap suatu keputusan yang seharusnya diambil oleh pejabat yang bersangkutan. Oleh sebab masyarakat tidak mengerti perbedaan antara hadiah dan suap itulah, maka imbalan yang tidak resmi (suap/gratifikasi) merupakan suatu hal yang sah dan wajar-wajar saja karena hal tersebut sudah dianggap sebagai suatu prosedur standar suatu administrasi. Oleh karena itu, hal yang wajar apabila masyarakat belum memahami bahwa suap, baik yang menerima maupun yang memberi, dikategorikan sebagai tindak korupsi.

Suap bisa dikategorikan sebagai asal muasal lahirnya budaya koruptif dalam skala luas yang terjadi saat ini. Aplikasi suap terjadi mulai dari hal yang sederhana dan sepele hingga urusan kenegaraan yang rumit. Suap sudah terjadi mulai dari pengurusan KTP hingga pembuatan Undang-Undang (UU) di lembaga legislatif (DPR). Pada masyarakat yang kini kian materialistis, adagium “tidak ada yang gratisan” atau “selawe jaluk selamet” menjadi acuan. Akibatnya sesuatu yang menjadi kewajiban seseorang karena jabatannya menjadi “diperjualbelikan” demi keuntungan pribadi.

Penyuapan merupakan istilah yang dalam undang-undang disebut sebagai suatu hadiah atau janji (giften/beloften) yang diberikan atau diterima oleh seorang pegawai negeri. Ada 3 unsur yang esensial dari delik suap yaitu: (1) menerima hadiah atau janji, (2) berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan, (3) bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Di dalam KUHP, terdapat pasalpasal mengenai delik penyuapan aktif (Pasal 209 dan Pasal 210), maupun penyuapan pasif (Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420) yang kemudian semuanya ditarik dalam Pasal 1 ayat (1) sub c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang sekarang menjadi Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK).

Demikian juga dengan penyuapan aktif dalam penjelasan Pasal 1 ayat (1) sub d Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (sekarang Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999) dan delik suap pasif dalam Pasal 12B dan 12C Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang PTPK.

Menurut Seno Adji, delik-delik suap yang ada dalam KUHP sebagai bentuk warisan penjajah Belanda meski telah mengatur secara terperinci, dianggap sebagai delik “impoten” dalam kerangka pemberantasan korupsi. Selain sangat rentan tingkat kesulitan pembuktiannya, delik-delik ini sekadar kekuatan simbolik yang menghiasi sistem regulasi hukum pidana kita Seperti di dalam KUHP, dimana terdapat pasal-pasal mengenai delik penyuapan aktif (Pasal 209 dan Pasal 210) yang pada Perppu Nomor 24 Tahun 1960 Pasal 1 sub a dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi. Pasal 209 mengenai penyuapan kepada pegawai negeri pada umumnya, dan Pasal 210 mengenai penyuapan terhadap hakim dan penasihat agama dalam sidang pengadilan.

Ketentuan Pasal 209 ayat (1) KUHP tersebut, mengatur bahwa penyuapan pada seorang pegawai baru terjadi apabila pemberian atau menjanjikan sesuatu tersebut diterima oleh pegawai yang bersangkutan, sedangkan suap sudah terjadi walaupun pemberian atau kesanggupan memenuhi janji tersebut ditolak oleh pegawai yang bersangkutan maka tindakan tersebut baru merupakan percobaan untuk menyuap.

Kemudian Pada Pasal 209 ayat (2) KUHP tidak disebutkan mengenai kesanggupan pegawai untuk memenuhi permintaan penyuap. Disebutkan adalah pemberian kepada pegawai yang bersangkutan untuk melakukan hal yang bertentangan dengan kewajibannya. Jadi pegawai yang menyatakan kesanggupan, tidak dikenai hukuman. Harusnya pegawai yang melakukan kesanggupan juga layak dihukum walaupun lebih ringan dari yang memberi suap.

Oleh sebab itu, untuk menjerat pelaku suap atau penerima suap agar dapat dimasukkan sebagai subyek tindak pidana korupsi, maka makna suap pun diperluas bahwa delik suap tidaklah selalu terikat persepsi telah terjadinya pemberian uang atau hadiah, tetapi dengan adanya pemberian janji saja adalah tetap objek perbuatan suap. Penerima suap harus membuktikan bahwa pemberian tersebut bukanlah suap, hadiah yang diberikan haruslah tidak ada kaitannya dengan jabatan yang disandangnya. Lalu dalam rumusan gratifikasi sebagaimana penjelasan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dan penjelasan Pasal 12 B ayat (1), bahwa tidak dapat dipersalahkan dan dipertanggungjawabkan dengan cara menjatuhkan pidana pada pemberi suap gratifikasi.

Mengingat luasnya definisi ini, maka kemungkinan terjadi tumpang tindih dengan pengertian suap pasif pada Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), dan Pasal 12 huruf a, b, dan c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal ini menyangkut tuntutan pidana yang ditimpakannya dapat diatasi lewat Pasal 63 ayat (1) KUHP mengenai perbarengan peraturan.

Lebih lanjut Seno Adji mengatakan bahwa penempatan status sebagai subyek ini tidak memiliki sifat eksepsionalitas yang absolut, oleh karena itu aturan tentang delik suap tidak memberikan norma pengecualian terhadap saksi dan pelapor yang bersifat sebagai subyek korupsi yang wajib dilindungi.41 Oleh sebab itu saya sependapat dengan Prof. Seno Adji bahwa pelaku dan penerima suap merupakan subyek korupsi yang sama-sama tidak ada perbedaan dalam perlakuan penyidikan tindak pidana korupsi.