Unsur-unsur Tindak Pidana

SUDUT HUKUM | Menentukan suatu tindak pidana pencurian perlu diketahui unsur-unsurnya sebagai berikut:

  • Unsur-unsur objektif
  1. Perbuatan mengambil
  2. Suatu benda
  3. Seluruhnya atau sebagian
  • Unsur-unsur subjektif
  1. Maksud dari si pembuat
  2. Untuk memiliki benda itu sendiri
  3. Secara melawan hukum

Perbuatan mengambil

Perbuatan mengambil diartikan sebagai memindahan suatu benda dari kedudukanya atau tempatnya semula ketempat lain untuk dikuasai. Pengertian perbuatan mengambil ini telah mengalami perkembangan unsur lain dalam kejahatan pencurian, yakni unsur benda, yang selain benda berwujud dan bergerak dibedakan juga kedalam benda tidak berwujud dan tidak bergerak. Pengertian perbuatan mengambil tidak hanya terbatas pada memindahkan sesuatu benda dengan jalan “membawa” (dengan tangan) tetapi juga perbuatan mengambil itu ada, bila dengan cara sedemikian rupa suatu benda telah berpindah dari tempat semula ketempat lain yang dikehendakinya, agar dapat dikuasai.

Perbuatan mengambil dalam pencurian tenaga listrik ditegaskan dalam Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921 yaitu “perbuatan menyambung kawat listrik untuk dialirkan kesuatu rumah dari kawat yang terdapat sebelum meteran adalah perbuatan mengambil” (P.A.F Lamintang Dan C. Djisman Samosir,1981 : 19).

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa suatu kejahatan pencurian telah selesai apabila si pelaku telah mengambil atau memindahkan benda dari tempatnya semula ketempat lain dengan maksud untuk menguasai atau memilikinya secara melawan hukum. Jadi apabila perbuatan tersebut hanya memegang, menyentuh, atau mengulurkan tangan tidak dapat dikatakan telah selesai melakukan perbuatan mencuri tetapi dapat dikatakan baru melakukan “percobaan” untuk melakukan pencurian.

Pencurian tenaga listrik, hal tersebut ditegaskan dalam Arrest Hoge Raad tanggal 24 Mei 1937 yang menyatakan bahwa:

Pada pencurian aliran listrik tidaklah penting apakah orang yang menghidupkan aliran dan dengan demikian untuk dipakai bagi kepentingan sendiri ataupun untuk dikumpulkan bagi kepentingannya sendiri. Pencuri telah selesai pada saat diambilnya aliran listrik itu” (Soenarto Soedibroto, 2000 : 221)

Suatu Benda

Unsur benda dalam kejahatan pencurian merupakan objek dari perbuatan. Dalam penjelasan Pasal 362 KUHP, pengertian benda adalah benda berwujud yang menurut sifatnya dapat dipindahkan (benda bergerak). Namun dalam perkembanganya meluas menjadi benda tidak bergerak dan tidak berwujud dengan alasan bahwa benda-benda tersebut mempunyai nilai ekonomis atau berharga bagi pemiliknya.

Seperti dinyatakan dalam Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921 (N.J. 1921 Halaman 564, W.10728):

Tenaga listrik termasuk dalam pengertian benda, karena ia mempunyai nilai tertentu. Untuk memperolehnya diperlukan biaya dan tenaga. Tenaga listrik dapat dipergunakan untuk kepentingan sendiri, akan tetapi juga dapat diserahkan kepada orang lain dengan penggantian pembayaran. Karena Pasal 362 KUHP mempunyai tujuan untuk melindungi milik seseorang, maka didalam pengertian benda haruslah tenaga listrik itu dimasudkan didalamnya.”


Arrest ini kemudian dikenal dengan apa yang disebut “Electriciteits Arrest” (P.A.F. Laminang dan C. Djisman Samosir, 1981 : 87-88)

Tenaga listik dapat dikatakan sebagai benda karena:
  • Energi listrik itu tidak dapat dipisahkan secara sendiri.
  • Energi listrik dapat diangkut dan dikumpulkan.
  • Energi listrik mempunyai nilai karena membangkitkan energi, memerlukan biaya dan usaha dan dapat dipakai sendiri maupun dapat dipakai orang banyak.


Seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain.

Unsur kepunyaan orang lain dalam Pasal 362 KUHP dapat berupa seluruh benda adalah kepunyaan orang lain atau hanya sebagian saja kepunyaan orang lain. Kepunyaan orang lain dalam rumusan Pasal 362 KUHP diartikan sebagai milik orang lain seluruhnya milik orang lain berarti si pelaku tidak sama sekali tidak ikut memiliki benda yang diambilnya sedangkan sebagian milik orang lain berarti si pelaku pencurian turut berhak atas sebagian benda yang diambilnya, misalnya harta warisan.

Kejahatan pencurian tenaga listrik jelas bahwa ada pemakaian listrik secara tidak sah karena menikmati tenaga listrik yang bukan miliknya tetapi milik PT. Perusahaan Listrik Negara yang untuk memperolehnya diharuskan melalui prosedur yang ditentukan.

Maksud dari si pembuat.

Perkataan “maksud” didalam rumusan Pasal 263 KUHP merupakan terjemahan dari perkataaan “oogmerk”. Perkataan oogmerk ini pengertiannya sama dengan “opzet”, yang dapat diartikan dengan “Kesengajaan atau dengan maksud”. Dengan demikian dapat pula dikatakan delik pencurian sebagai delik kesengajaan. Kesengajaan itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan secara disadari, dimana dalam perbuatan tersebut ia menghendaki melakukannya serta mengerti pula akan akibat yang timbul atau dapat timbul dari perbuatanya.

Dalam ilmu hukum, kesengajaan itu dikenal dengan dalam 3 bentuk, yaitu:

  • Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) yang berati bahwa seseorang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja, perbuatan mana menjadi tujuan sesuai dengan kehendaknya.
  • Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zakerheids), yang berarti bahwa seseorang melakukan perbuatan dimana sangat disadari bahwa akibat lain yang bukan menjadi tujuan perbuatannya pasti timbul. Terhadap akibat lain yang timbul, yang bukan merupakan tujuan perbuatanya, dikatakan adanya kesengajaan sebagai kepastian.
  • kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis), yang berarti seseorang melakukan suatu perbuatan dengan tujuan tertentu, dimana disadarinya bahwa selain tujuannya tercapai maka mungkin ada akibat lain yang tidak dikehendakinya dapat terjadi. (Wirjono Prodjodikoro)


Berdasarkan bentuk-bentuk kesenjangan tersebut diatas, maka sudah jelas unsur “maksud” dalam rumusan Pasal 362 KUHP mempunyai makna sebagai “opzet al oogmerk” yakni perbuatan tersebut ( mengambil barang milik orang lain ) dilakukan dengan sengaja, dengan maksud agar dapat memiliki barang tersebut. Pemakaian listrik secara tidak sah yang didasari oleh sifat batin yang buruk dan merupakan kesengajaan untuk kepentingan diri sendiri merupakan suatu perbuatan tindak pidana.

Untuk memiliki benda itu sendiri

Memiliki bagi diri sendiri adalah setiap perbuatan penguasaan atas barang
tersebut, melakukan tindakan atas barang itu seakan-akan pemiliknya, sedangkan ia bukan pemiliknya. Maksud memiliki barang bagi diri sendiri itu terwujud dalam berbagi jenis perbuatan, yaitu menjual, memakai, memberikan kepada orang lain, menggadaikan, menukar, merubah, dan sebagainya.

Suatu kejahatan pencurian itu dianggap telah selesai dengan terbuktinya unsur
“maksud menguasai benda yang akan diambil itu bagi dirinya sendiri”, jadi cukup
dapat dibuktikan bahwa “maksud” tersebut ada, dan tidak perlu bahwa benda yang
diambilnya itu benar-benar telah dinikmati atau diberikan kepada orang lain,
dijual, digadaikan atau sebagainya.

Arrest Hoge Raad Tanggal 14 Februari 1938 (N.J. 1938 No. 731):

Adalah disyaratkan untuk maksud bertidak seolah-olah pemilik dari suatu

benda secara melawan hak in casu (dalam hal ini) si pembuat telah
mengambil arus listrik dengan maksud untuk menggerakan alat-alat yang
terdapat dibengkel ayahnya secara melawan hak”.
(P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir , 1981 : 101)

Secara melawan hak

Unsur “secara melawan hak” merupakan unsur subjektif yang terakhir dari kejahatan pencurian, yang dalam Arrest Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan yang melanggar hukum itu adalah:

berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan dengan kepatutan atau tata susila ataupun bertentangan dengan sikap hati-hati yang sepantasnya didalam pergaulan masyarakat atas diri atau barang orang lain” (P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir , 1981 : 108)


Perbuatan melawan hak didalam pencurian tenaga listrik ditegaskan dalam Arrest Hoge Read tanggal 8 Juni 1936 (N.J. 1936 No. 740), yaitu:

Memasang kembali meteran listrik, setelah dibuka untuk memperoleh arus listrik yang banyak, bukan merupakan suatu penguasaan yang melawan hak, jika setelah membuka meteran itu, jumlah pemakaian listrik kemudian didaftarkan pada perusahaan listrik dan dimasukkan ke dalam tagihan padanya. Lain halnya jika arus listrik yang telah dipakai itu, walaupun si pembuat pada saat membuka meteran dimaksudkan untuk dipergunakan secara melawan hak’. (P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir , 1981 : 102)