Berpuasa dan Berlebaran Bersama-sama

SUDUT HUKUM | Syariah Islam memang menetapkan berbagai metode dalam menetapkan awal bulan Ramadhan, baik lewat ru’yatul hilal, istikmal atau pun dengan hisab. Namun semua metode itu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang punya ilmu dan keahlian, dan tidak semua orang mampu untuk melakukannya.

Medote ru’yatul-hilal misalnya, meski kelihatannya sederhana, tetapi untuk berhasil melakukannya ternyata tidak mudah juga. Apalagi untuk kita yang tinggal di kotakota besar seperti Jakarta, ada begitu banyak hambatan atau halangan, baik asap polusi, awan hujan, mendung, dan lainlainnya. Sehingga kalau kita cermati, team ru’yatul hilal seringkali harus jauh-jauh pergi ke pantai di tepi laut untuk melakukan tugas mereka.

Berpuasa dan Berlebaran Bersama-sama


Artinya hal itu tidak mungkin dilakukan oleh sembarang orang. Dan tidak setiap orang punya kesempatan untuk melakukan ru’yatul hilal dengan dirinya sendiri.

Maka dalam pada itu, cukuplah pekerjaan itu dilakukan oleh mereka yang memang ekspert di bidangnya, sementara sebagian besar umat Islam ini sekedar menerima kabar saja dan tidak perlu berangkat sendiri untuk melakukan ru’yatulhilal.

Lalu apa landasan dan pegangan buat khalayak awam yang tidak punya kemampuan dan kemahiran dalam ru’yatul-hilal? Siapakah pihak berwenang yang dapat dijadikan patokan dalam hal ini?

Untuk itu mari kita cermati hadits nabawi berikut ini :

Hari puasa adalah hari dimana semua kalian berpuasa. Hari berbuka adalah hari dimana semua kalian berbuka. Dan hari Adha adalah hari dimana semua kalian beridul-Adha. (HR. At-Tirmizy)

Para ahli ilmu sepakat mengatakan bahwa pengertian hadits ini menetapkan bahwa tidak boleh seseorang melawan arus sendirian dalam menetapkan awal Ramadhan dan Syawwal. Dia tidak dibenarkan berijtihad sendirian yang hasilnya bertentangan dengan semua orang, lalu dia melakukannya sendirian, sementara orang-orang tidak melakukannya.

Tetapi kecenderungan yang sering Penulis saksikan di tengah kalangan yang bersemangat menjalankan agama, justru semakin berbeda dengan masyarakat, malah semakin dikejar dan dijadikan pilihan utama. Sehingga ada kesan, yang penting berbeda, unik dan tidak sama dengan khalayak.

Padahal sikap-sikap seperti itu justru tidak dibenarkan menurut pandangan syariah. Berpuasa sendirian mendahului khalayak, atau berlebaran sendirian mendahului jamaah, adalah tindakan yang justru ilegal. Kalau pun ada pendapat yang membolehkan seseorang berpuasa sendiri, maka hanya bila orang tersebut dengan mata kepalanya sendiri melihat hilal, bukan lewat informasi pendengarannya, yaitu kabar-kabar yang diterimanya.

Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughni menyebutkan bahwa yang masyhur dari mazhab Hanabilah adalah bila seseorang hanya sendirian melihat hilal, sementara manusia satu negara tak seorang pun dari mereka yang melihat hilal, khusus bagi dirinya yang melihat langsung dengan mata kepala, dia wajib berpuasa sendirian.