Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian

SUDUT HUKUM | Melalui optik pengertian dan sifat dari hukum acara pidana, pada dasarnya tujuan hukum acara pidana itu adalah mencari, menemukan, dan menggali “kebenaran materil/materieele waarheid” atau kebenaran yang sungguh-sungguhnya. Tegas dan singkatnya, hukum acara pidana berusaha mewujudkan “kebenaran Hakiki”. Dengan demikian, berkorelatif aspek tersebut secara teoritik dan praktik peradilan guna mewujudkan materieele waarheid maka suatu alat bukti mempunyai peranan penting dan menetukan sehingga haruslah dipergunakan dan diberi penilaian secara cermat agar tercapai “kebenaran Hakiki” sekaligus tanpa mengakibatkan hak asasi terdakwa.


Para ahli hukum memiliki banyak pandangan tentang hukum, bahkan sebagian ahli hukum mengatakan, bahwa hukum itu tidak dapat didefinisikan karena luas sekali ruang cakupannya dan meliputi semua bidang kehidupan masyarakat yang selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Kansil memberikan definisi hukum secara luas tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses (process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan (Kansil, 1989: 11).


Hukum sebagai kaidah sosial tidak lepas dari nilai (value) yang berlaku di suatu masyarakat, bahwa dapat dikaitkan pula hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (R Tresna, 1975: 22). Hukum merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, pendapat ini memiliki maksud, bahwa jika nilai-nilai dalam masyarakat berubah, maka selayaknya hukumpun mengikuti perubahan tersebut. Akan tetapi, permasalahan yang muncul adalah, apakah hukum yang senantiasa mengikuti perubahan tersebut dengan konsekuensi hukum akan selalu tertinggal di belakang, ataukah hukum yang memprakarsai perubahan tersebut.


Berbicara tentang perubahan hukum ini, kita mengingat kembali pemeo yang sangat terkenal yaitu UBI SOCIETAS IBI IUS yang bermakna dimana ada masyarakat di situ ada hukum, maka perlu digambarkan hubungan antara perubahan sosial dan penemuan hukum. Masyarakat ada dan menciptakan hukum, masyarakat berubah, maka hukumpun berubah. Perubahan hukum melalui dua bentuk, yakni masyarakat berubah terlebih dahulu, baru hukum datang mengesahkan perubahan itu (perubahan pasif) dan bentuk lain yaitu hukum. sebagai alat untuk mengubah ke arah yang lebih baik (law as a tool of sosial engineering).


Terlepas dari pandangan hukum berubah mengikuti perubahan masyarakat atau hukum sebagai alat mengubah masyarakat, para ahli hukum sepakat, bahwa hukum harus bersifat dinamis, tidak boleh statis dan harus dapat dijadikan penjaga ketertiban, ketentraman dan pedoman tingkah laku dalam kehidupan masyarakat. Hukum harus dijadikan pembaru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus dibentuk dengan berorientasi pada masa depan, hukum tidak boleh berorientasi kepada masa lampau.


Menurut Kansil (1989: 215), tidak perlu diperdebatkan bagaimana hukum menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat dan bagaimana hukum menjadi penggerak ke arah perubahan masyarakat. Kenyataannya, dimanapun dalam kegiatan perubahan hukum, hukum telah berperan dalam perubahan tersebut dan hukum telah berperan dalam mengarahkan masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia.


Perubahan hukum yang terjadi merupakan konsekuensi logis dari hukum yang bersifat dinamis. Perubahan tersebut, baik melalui konsep masyarakat berubah terlebih dahulu maupun konsep law as tool sosial engineering mempunyai tujuan untuk membentuk dan memfungsikan sistem hukum nasional yang bersumber pada dasar negara Pancasila dan konstitusi negara. Perubahan hukum hendaknya dilaksanakan secara komprehensif yang meliputi lembagalembaga hukum, peraturan-peraturan hukum dan juga memperhatikan kesadaran hukum masyarakat.


Peraturan-peraturan yang ada saat ini kadangkala memiliki keterbatasan dalam pengaturan, baik dalam substansi maupun dalam ruang lingkup berlakunya peraturan tersebut. Jika penyusunan peraturan baru merupakan salah satu solusi untuk menutupi keterbatasan peraturan yang ada, maka solusi yang lain untuk menutupi keterbatasan peraturan tersebut yaitu dengan penemuan hukum.


Apabila suatu perkara dibawa ke pengadilan dan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak ada ketentuan yang dapat diterapkan sekalipun ditafsirkan menurut bahasa, sejarah, sistematis dan sosiologis sedangkan di lain pihak hukum kebiasaan atau hukum adatpun tidak ada peraturan yang dapat membawa hakim pada penyelesaian perkara itu, berarti persoalan ini bersangkutan dengan kekosongan hukum dalam sistem formil dari hukum. Untuk memenuhi ruang kosong ini, hakim harus berusaha mengembalikan identitas antara sistem formil hukum dengan sistem materiil dari hukum. Berdasarkan beberapa ketentuan yang mengandung persamaan, hakim membuat suatu pengertian hukum (rechtsbegrip) dan menurut pendapatnya, pengertian hukum itu adalah asas hukum yang menjadi dasar lembaga yang bersangkutan.


Cara kerja atau proses berpikir hakim demikian dalam menentukan hukum disebut konstruksi hukum yang terdiri dari konstruksi analogi, konstruksi penghalusan hukum dan konstruksi argumentum a contrario.


Penyusunan alat-alat bukti di negara-negara common law seperti Amerika Serikat lain dari pada yang tercantum dalam KUHAP di Indonesia. Alat-alat bukti menurat Criminal Procedure Law Amerika Serikat yang disebut forms of evidence terdiri dari:

  • Real evidence (bukti sungguhan)
  • Documentaiy evidence (bukti dokumenter)
  • Testimonial evidence (bukti kesaksian)
  • Judicial notice (pengamatan hakim).

Menurut Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti ialah:

  1. keterangan saksi
  2. keterangan ahli
  3. surat
  4. petunjuk
  5. keterangan terdakwa.

Apabila dibandingkan dengan alat bukti dalam HIR, maka ada penambahan alat bukti baru, yaitu keterangan ahli. Selain daripada itu ada perubahan nama alat bukti yang dengan sendirinya maknanya menjadi lain, yaitu “pengakuan terdakwa” menjadi keterangan terdakwa. Alat-alat bukti yang tercantum dalam Pasal 295 HIR memang dipandang sudah kuno, karena sama dengan Ned. Sv. yang lama. Belanda sendiri sudah lama (1926) mengubahnya dalam Sv. yang baru, berikut :

Sv. yang baru itu disebut alat-alat bukti dalam Pasal 339 sebagai berikut:

  • eigen waameining van de rechter (pengamatan sendiri oleh hakim),
  • verklaringen van de verdachte (keterangan terdakwa),
  • verklaringen van een getuige (keterangan seorang saksi),
  • verklaringen van een deskundige (keterangan seorang ahli),
  • schriftelijke bescheiden (surat-surat).

Apabila dibandingkan antara ketentuan dalam Pasal 184 KUHAP dan Pasal 339 Ned. Sv. tersebut, maka ternyata bahwa tidak semua pembaruan dalam Ned. Sv. ditiru oleh KUHAP. Selain tata susunannya berbeda, juga masih tetap tercantum dalam KUHAP petunjuk (aanwijzing) sebagai alat bukti sama dengari HIR dan Ned. Sv. yang lama.


Keterangan Saksi

Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Keterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 ke-27 KUHAP) Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Kekecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 168 KUHAP berikut:

  1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa
  2. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga
  3. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersamasama sebagai terdakwa.

Menurut KUHAP, keterangan satu saksi intinya hanya berlaku bagi pemeriksaan biasa dan pemeriksaan singkat, tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal tersebut dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut;

Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah.” Jadi, ini berarti satu saksi, satu keterangan ahli, satu surat, satu petunjuk, atau keterangan terdakwa disertai keyakinan hakim cukupsebagai alat bukti untuk memidana terdakwa dalam perkara cepat”.

Keterangan Ahli

Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan seorang ahli keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Jadi, pasal tersebut tidak menjawab siapa yang disebut ahli dan apa itu keterangan ahli. Pada penjelasan pasal tersebut juga tidak menjelaskan hal ini. Dikatakan sebagai berikut:

Keterangan seorang ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum maka pasca pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim.”
Keterangan ahli berbeda dengan keterangan saksi, tetapi sulit pula dibedakan dengan tegas. Kadang-kadang seorang ahli merangkap pula sebagai saksi. KUHAP menentukan bahwa saksi wajib mengucapkan sumpah (Pasal 160 ayat (3)), tanpa menyebutkan ahli. Tetapi pada Pasal 161 ayat (1) dikatakan:

Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji”

Di sinilah dapat dilihat bahwa ahli yang dimintai keterangannya tersebut harus mengucapkan sumpah atau janji. Pada penjelasan ayat (2) pasal tersebut dikatakan: “Keterangan saksi alau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah. tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.

Surat

Surat adalah pembawa tanda tangan, bacaan yang berarti yang menterjemahkan suatu pikiran. Selain Pasal 184 yang menyebut alat-alat bukti maka hanya ada satu pasal saja dalam KUHAP yang mengatur tentang alat bukti surat yaitu Pasal 187. Pasal 187 KUHAP membedakan akta autentic, akta dibawah tangan dan surat biasa. Pasal itu terdiri atas 4 ayat:

  1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat. atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
  2. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan
  3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi daripadanya
  4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Berdasarkan konteks diatas maka pada hakikatnya dimensi “surat” sebagai alat bukti sah menurut undang-undang dapatlah disebutkan hendaknya memenuhi kriteria berikut:

  • Surat tersebut dibuat atas sumpah jabatan.
  • Surat itu di buat dengan sumpah.

Petunjuk

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat,

keterangan terdakwa.


Petunjuk disebut oleh Pasal 184 KUHAP sebagai alat bukti yang keempat. Jadi, masih mengikuti HIR Pasal 195, HIR Pasal 295. Hal ini berbeda dengan Ned. Sv. yang baru maupun Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1950 yang telah menghapus petunjuk sebagai alat bukti.


Petunjuk dihapus sebagai alat bukti sebagai inovasi dalam hukum acara pidana karena menurut van Bemmelen petunjuk (aanwijzing) sebagai alat bukti tidak ada artinya. Apabila kita bertitik tolak pada pada esensi alat bukti petunjuk, selengkapnya secara intens ketentuan Pasal 188 KUHP menentukan bahwa:

  • Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidan itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
  • Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat diperoleh :

  1. Keterangan saksi
  2. Surat
  3. Keterangan terdakwa.

  • Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Keterangan Terdakwa

Dapat dilihat dengan jelas bahwa “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar. Apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. Tidak perlu hakim mempergunakan seluruh keterangan seorang terdakwa atau saksi, demikian menurut HR dengan arrest-nya tanggal 22 Juni 1944. NJ. 44/45 No. 589.


Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan, karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat berikut:

  1. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan
  2. Mengaku ia bersalah.
  3. KUHAP jelas dan sengaja mencantumkan “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti dalam Pasal 184 butir c. Berbeda dengan peraturan lama yaitu HIR yang menyebut ”pengakuan terdakwa” sebagai alat bukti menurut Pasal 295. Disayangkan bahwa KUHAP tidak menjelaskan apa perbedaan antara “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti. Sekali lagi ditemuinya adanya kesenjangan dalam KUHAP, yang mana seharusnya diisi nanti dengan yurisprudensi yang baku.