Tindak Pidana Penggelapan Dalam Keluarga

SUDUT HUKUM | Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) mengatur tentang tindak pidana penggelapan.
Bagi tindak pidana penggelapan ini berlaku ketentuan dalam Pasal 367 KUHP, yaitu:

  1. Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab ini adalah suami (istri) dan orang yang terkena kejahatan dan tidak terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu tidak mungkin diadakan tuntutan pidana.
  2. Jika dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, atau jika dia adalah keluarga sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan jika ada pengaduan yang terkena kejahatan.
  3. Jika menurut lembaga matriarkal, kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain daripada bapak kandung (sendiri), maka ketentuan ayat di atas berlaku juga bagi orang itu.

Sehingga, dari ketentuan di atas dapat kita lihat bahwa dalam hal penggelapan dilakukan oleh suami/istri yang tidak terpisah meja, ranjang maupun harta kekayaannya, maka tidak dapat dilakukan penuntutan terhadap pelaku.
Sedangkan, bila penggelapan dilakukan oleh suami/istri yang melakukan pisah meja, ranjang atau harta kekayaan atau apabila pelakunya merupakan keluarga sedarah atau semenda baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap pelaku tersebut hanya dapat dilakukan penuntutan bila pihak yang dirugikan (yang hartanya digelapkan) mengadukannya ke pihak kepolisian. Misalnya, seorang anak yang menggelapkan barang ayahnya atau keponakan yang menggelapkan barang pamannya. Ketentuan tersebut berlaku baik dalam adat istiadat patriarkal maupun matriarkal. Dalam kondisi-kondisi tersebut berarti berlaku delik aduan.
Delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya “Hukum Pidana II”, dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian.
Namun, perlu digaris bawahi bahwa tindak pidana penggelapan merupakan delik aduan hanya dalam lingkup keluarga (sebagaimana telah kami jelaskan di atas). Dalam hal tindak pidana penggelapan dilakukan di luar lingkup keluarga tersebut, tindak pidana penggelapan bukanlah merupakan delik aduan. Sehingga, meskipun laporan di kepolisian kemudian dicabut oleh korban, proses penuntutan akan terus berjalan. Hal ini sesuai dengan tujuan hukum acara pidana untuk mencari kebenaran materiil yaitu kebenaran yang sesungguhnya mengenai siapa pelaku tindak pidana yang sesungguhnya yang seharusnya dituntut dan didakwa.
Dan dalam hal pengaduan telah dilakukan, namun kemudian korban hendak mencabut pengaduannya (dalam hal korban termasuk lingkup keluarga sebagaimana tersebut dalam Pasal 367 KUHP), maka pengaduan dapat ditarik kembali/dicabut dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan (lihat Pasal 75 KUHP).
Jadi, pencabutan laporan/pengaduan di kepolisian tidak akan menghentikan penuntutan terhadap tindak pidana penggelapan, kecuali hal tersebut terjadi dalam lingkup keluarga seperti yang telah kami paparkan di atas.