Sengketa Kepemilikan Laut Cina Selatan

SUDUT HUKUM | Pada 1947, saat Cina masih dikuasai Partai Kuomintang pimpinan Chiang Kai Sek, sudah menetapkan klaim teritorialnya atas Laut Cina Selatan. Saat itu, pemerintahan Kuomintang menciptakan garis demarkasi yang mereka sebut sebagai eleven-dash line. Berdasarkan klaim ini Cina menguasai mayoritas Laut Cina Selatan termasuk Kepulauan Pratas, Macclesfield Bank serta Kepulauan Spratly dan Paracel yang didapat Cina dari Jepang usai Perang Dunia II (PD II). Klaim ini tetap dipertahankan saat Partai Komunis menjadi penguasa Cina pada 1949. Namun, pada 1953, pemerintah Cina mengeluarkan wilayah Teluk Tonkin dari peta eleven-dash line buatan Kuomintang.

Pemerintah Komunis “menyederhanakan” peta itu dengan mengubahnya menjadi nine-dash line yang kini digunakan sebagai dasar historis untuk mengklaim hampir semua wilayah perairan seluas 3 juta kilometer persegi itu. Namun, klaim Cina itu kini bersinggungan dengan kedaulatan wilayah negaranegara tetangga di kawasan tersebut. Kini tak kurang dari Filipina, Brunei Darussalam, Taiwan, Vietnam dan Malaysia memperebutkan wilayah tersebut dengan Cina.

Ada beberapa alasaan mengapa kepemilikan Laut Cina Selatan begitu diperebutkan. Menurut data dari pemerintah AS, Laut Cina Selatan memiliki potensi ekonomi yang sangat luar biasa. Laut ini merupakan lalu lintas perdagangan internasional yang bernilai tak kurang dari 5,3 triliun Dolar AS setiap tahunnya. Selain itu, menurut data Badan Informasi Energi AS, di kawasan ini tersimpan cadangan minyak bumi sebesar 11 miliar barel serta gas alam hingga 190 triliun kaki kubik. Tak hanya itu, 90 persen lalu lintas pengangkutan minyak bumi dari Timur Tengah menuju Asia pada 2035 akan melintasi perairan tersebut.