Sejarah Dan Perkembangan Fidusia

Jaman Romawi

Ada dua bentuk jaminan fidusia, yaitu fidusia cum creditore dan fidusia cum amicco. Keduanya timbul dari perjanjian yang disebut pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cessio. Dalam bentuk yang pertama, seorang debitur menyerahkan barang dalam dalam pemilikan kreditur, kreditur sebagai pemilik mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pemilikan atas barang itu kepada debitur bila debitur telah memenuhi kewajibannya.

Sedangkan fiducia cum amico terjadi bilamana seorang menyerahkan kewenangannya kepada pihak lain atau menyerahkan barang kepada lain untuk diurus. Dalam bentuk ini, berbeda dengan fiducia cum creditore kewenangan diserahkan kepada pihak pemberi atau dengan kata lain penerima menjalankan kewenangannya untuk kepentingan pihak lain.

Di Negara Belanda

Pada pertengahan abad ke-19 terjadi krisis pertanian yang melanda negara-negara Eropa, terjadi penghambatan pada perusahaan-perusahaan pertanian untuk memperoleh kredit. Pada waktu itu sebagai jaminan kredit menjadi agak kurang populer, kreditur menghendaki jaminan tambahan di samping jaminan tanah tadi. Kondisi ini menyulitkan perusahaan-perusahaan pertanian dengan menyerahkan alat-alat pertaniannya sebagai jaminan gadai dalam pengambilan kredit. Untuk mengatasi hal tersebut dicari terobosan-terobosan dengan mengingat konstruksi hukum yang ada, yaitu jual beli dengan hak membeli kembali dengan sedikit penyimpangan.

Bentuk ini dikenakan untuk menutupi suatu perjanjian peminjaman dengan jaminan. Pihak penjual (penerima kredit) menjual barangnya kepada pemberi (pemberi kredit) dengan ketentuan bahwa dalam jangka waktu tertentu penjual akan mambeli kembali barang-barang itu dan barangbarang tersebut masih tetap berada dalam penguasaan penjual dengan kedudukan sebagai peminjam pakai.

Akhirnya di negeri Belanda mulai dihidupkan kembali bentuk pengalihan hak milik secara kepercayaan atas barang-barang bergerak, yang pernah dipraktekan di jaman Romawi, yaitu fiducia cum creditore. Setelah fidusia pada jaman Romawi sekian Iama berkembang dalam praktek bisnis, maka diakui lembaga jaminan tersebut dalam yurisprudensi, yang dikenal dengan nama Bierbrowerij Arrest dalam kasus seorang cape houder yang membutuhkan kredit dari pabrik bir, tetapi tidak mempunyai benda lain untuk diperanggunkan dari inventarisnya. Jika inventarisnya diserahkan sebagai jaminan, maka dia tidak dapat bekerja lagi, kemudian sebagai jalan keluarnya pemillk cape menyerahkan hak milik atas barangnya dengan perjanjian bahwa penyerahan hak milik atas dasar kepercayaan.

Di Indonesia

Di Indonesia pada tahun 1932 barulah terdapat petunjuk bahwa dalam sistem hukumnya mengikuti praktek di negeri Belanda. Yang dimaksud adalah keputusan Hooggerechtshof (HGH) tanggal 18 Agustus 1932. Keputusan yang dimaksud adalalah keputusan perkara antara Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) sebagai penggugat melawan Pedro Clignett sebagai tergugat. Dikenal dengan BPM-Clignett Arrest keadaan demikian lahirlah yurisprudensi yang pertama mengenai lembaga jaminan fidusia.

Pada perkembangan selanjutnya benda-benda yang tidak dapat diikat dengan hipotik atau gadai dapat diikat dengan fidusia, misalnya bangunan yang berdiri di atas tanah milik orang lain, dalam UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun dan UU No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman.