Kerugian Negara

SUDUT HUKUM | Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi kata rugi, kerugian dan merugikan sebagai berikut:

„kata”rugi”(1) adalah kurang dari harga beli atau modalnya (2) kurang dari modal, (3)‟rugi” adalah, tidak mendapatkan faedah (manfaat), tidak beroleh sesuatu yang berguna, “kerugian” adalah menanggung atau menderita rugi, sedangkan kata “merugikan” adalah mendatangkan rugi kepada…, sengaja menjual lebih rendah dari harga pokok.”

Pengertian kerugian sebagai “hilang, kekurangan atau berkurangnya”, selanjutnya diimpelementasikan kedalam rumusan keuangan negara Pasal 1 dan pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 200341 maka rumusan “kerugian keuangan negara” akan menjadi rumusan sebagai berikut: Hilang atau berkurangnya hak dan kewajiban negara yang nyata dan pasti dapat dinilai dengan uang, akibat perbuatan sengaja melawan hukum dalam bentuk:
  • Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
  • Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
  • Penerimaan negara dan pengeluaran negara;
  • Penerimaan daerah dan pengeluaran daerah;
  • Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.

Pengembalian Kerugian Negara sebagaimana sudah kita ketahui dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, bahwa salah satu unsur dari Tindak Pidana Korupsi adalah dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapus pidananya pelaku tindak pidana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Oleh karena itu, bila pelaku Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 telah memenuhi unsur/elemen pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut.

Dengan demikian, pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu alasan meringankan hukuman (clementie) saja. Sementara sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 banyak kasus korupsi yang apabila kerugian keuangan negara telah dikembalikan atau kerugian perekonomian negara telah dikembalikan, maka tindak pidananya dianggap telah hilang.

Pidana tambahan (Pasal 10 huruf b KUHP) terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu (Pasal 35 KUHP) seperti:
  • Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
  • Hak memasuki Tentara Nasional;
  • Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturanaturan umum;
  • Hak menjadi penasihat (readsman) atau pengurus menurut hukum, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anak sendiri.
  • Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri.
  • Hak menjalankan pekerjaan yang ditentukan.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur ketentuan lain tentang Pidana Tambahan tersebut yang diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut.

Adapun hukuman tambahan itu dapat berupa:
  1. Perampasan barang bergerak yang terwujud atau tidak berwujud, atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang tersebut;
  2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi tersebut;
  3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk paling lama 1 (satu) tahun;
  4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada Terpidana;
  5. Dalam hal Terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan (Pasal 18 ayat (2)) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal Terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti (Pasal18 ayat (3)), maka dipidana penjara lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokonya sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Tindak Pidana Korupsi yang Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara Diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 yang menyebutkan:

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Unsur-unsurnya:
  1. Pelaku (manusia dan korporasi).
  2. Melawan hukum.
  3. Memperkaya diri sendiri atau orang lain.
  4. Dapat merugikan negara atau perekonomian negara

Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Unsur-unsurnya:
  1. Pelaku (manusia dan korporasi).
  2. Menguntungkan diri sendiri, orang lain, pelaku, atau korporasi.
  3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanyakarena jabatan atau kedudukan.
  4. Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara.