Hukum Menjual Harta Wakaf Menurut Para Ulama

SUDUT HUKUM | Dalam hal penjualan harta wakaf ini terdapat perbedaan-perbedaan pendapat yang begitu tajam di kalangan para ulama madzhab. Di kalangan mereka ada yang melarang menjual harta wakaf sama sekali, ada pula yang memperbolehkan untuk kasus-kasus tertentu. Begitu banyaknya pertentangan itu, sehingga sering kali kita temukan seorang faqih menentang pendapatnya sendiri dalam kitab yang sama, misalnya dalam bab jual beli ia mengemukakan suatu pendapat yang ia tentang sendiri pada bab wakaf. Bahkan tidak jarang pendapatnya saling bertentangan dalam kalimat yang sama, pendapatnya di awal kalimat justru ditentangnya sendiri di akhir kalimat.

Menurut ulama Syafiiyyah, wakaf merupakan ibadah yang disyariatkan dan bersifat mengikat, oleh karena itu wakaf tidak bisa ditarik kembali atau diperjualbelikan, digadaikan dan diwariskan. Dalam madzhab Syafii, mereka melarang penjualan dan penggantian secara mutlak, meskipun wakaf khusus, seperti wakaf kepada anak keturunan, walaupun terdapat seribu satu sebab yang menuntut untuk itu. Mereka hanya membolehkan para penerima wakaf untuk menggunakan wakaf khusus hingga habis jika terdapat tuntutan untuk itu, seperti pohon yang mengering dan tidak lagi mendatangkan buah. Dalam hal ini, penerima wakaf boleh menebang pohon tersebut dan menjadikannya sebagai bahan bakar untuk diri mereka sendiri, dan mereka tidak boleh menjualnya dan tidak pula menggantinya.

Menurut mereka, benda wakaf yang sudah tidak berfungsi, tidak boleh dijual, ditukar atau diganti dan dipindahkan. Sikap ini lahir karena pemahaman mereka mengenai ”kekekalan” wakaf. Kekekalan menurut mazhab Syafiiyyah adalah kekekalan bentuk barang wakaf tersebut, sehingga dari pendapat ini mereka terkesan mutlak melarang penjualan wakaf dalam kondisi apapun.

Mereka memperhitungkan, penggantian ataupun penjualan tersebut dapat berindikasi pada penyalahgunaan barang wakaf. Dasar yang digunakan oleh mereka adalah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, dimana dikatakan bahwa benda wakaf tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan.64 Apalagi wakaf itu dalam bentuk masjid, yang mana kepemilikan wakaf masjid tersebut langsung kepada Allah SWT, sehingga mereka sangat mengharamkan untuk mengubah, mengganti, bahkan menjualnya.

Ulama madzhab Maliki juga merupakan madzhab yang keras dalam melarang penjualan harta wakaf, namun mereka tetap memperbolehkannya pada kasus tertentu. Ulama Malikiyah membedakan jenis harta wakaf dalam kaitannya dengan penjualan harta wakaf. Menurut mereka, apabila harta wakaf tersebut berbentuk benda tidak bergerak, maka tidak boleh dijual sekalipun telah hancur atau musnah, dan tidak boleh diganti dengan jenis yang sama. Akan tetapi diperbolehkan untuk dijual, dengan syarat dibelikan lagi sesuai dengan kebutuhan untuk memperluas masjid atau untuk jalan umum.

Apabila harta wakaf itu berwujud masjid, maka haram hukumnya untuk menjualnya. Ketika harta wakaf merupakan jenis benda dalam bentuk lain, seperti benda bergerak atau hewan peliharaan, apabila manfaatnya sudah tidak ada lagi, maka boleh untuk dijual dan hasil penjualannya dibelikan barang atau hewan yang sejenisnya. Mereka memperbolehkan penjualan ini dengan pertimbangan kemashlahatan ummat.

Akan tetapi, di kalangan ulama Malikiyah sendiri terdapat perbedaan pendapat tentang menjual atau menukar harta wakaf. Mayoritas ulama Malikiyah melarang keras tentang penjualan harta wakaf dari segi apapun. Sebagian lagi memperbolehkan penjualan atau penggantian harta wakaf yang tidak bermanfaat lagi dengan harta wakaf yang jauh lebih baik, namun dengan tiga syarat. Pertama, ketika ikrar, si wakif mensyaratkan kebolehan menjual atau menukarnya. Kedua, benda wakaf tersebut berupa benda bergerak dan kondisinya tidak sesuai lagi dengan tujuan semula pada saat diwakafkan, dan ketiga, apabila penjualan atau penggantian benda wakaf tersebut untuk kepentingan umum, seperti masjid, jalan umum, dan sebagainya.

Sedangkan ulama Hanafiyah, membolehkan penjualan harta wakaf pada umumnya, kecuali wakaf masjid. Mereka membedakan antara mewakafkan untuk masjid dan mewakafkan harta benda untuk selain masjid. Wakaf kepada masjid akan menjadi hak Allah SWT sepenuhnya dan tidak sedikitpun hak dari hamba-hamba-Nya kecuali hanya untuk beribadah di dalamnya. Oleh sebab itu, wakaf masjid tidak boleh diwariskan dan dijual.

Diperbolehkannya penggantian ataupun penjualan semua wakaf oleh ulama Hanafiyah, baik khusus maupun umum yang selain masjid, dengan beberapa syarat. Pertama, jika pewakaf mensyaratkan penggantian ataupun penjualan pada saat akad. Kedua, jika harta wakaf sudah tidak memungkinkan lagi untuk dimanfaatkan. Ketiga, jika penggantian maupun penjualan akan mendatangkan manfaat yang lebih besar dan hasil yang lebih banyak, sementara tidak ada syarat dari pewakaf yang melarang penjualan.

Landasan kebijakan ulama Hanafiyah adalah kemaslahatan dan manfaat yang abadi, yang menyertai praktik penjualan. Selama penjualan itu dilakukan untuk menjaga kelestarian dari manfaat barang wakaf, maka syarat ”kekekalan” wakaf terpenuhi dan itu tidak melanggar syariat. Jadi yang dimaksud syarat ”abadi/kekal” disini bukanlah mengenai bentuk barangnya saja, tapi juga dari segi manfaatnya yang terus berkelanjutan.

Ulama Madzhab Hambali lebih bersifat moderat (pertengahan), meskipun tidak seleluasa mazhab Hanafiyah. Mengenai penjualan ini, madzhab Hambali tetap membolehkan dan tidak membedakan berdasarkan barang wakaf bergerak atau tidak bergerak, dan bahkan terkesan sangat mempermudah izin untuk melakukan praktik penggantian maupun penjualan wakaf. Mereka berpendapat bahwa jika barang wakaf dilarang untuk dijual, sementara ada alasan kuat untuk itu, maka kita telah menyia-nyiakan wakaf.

Ibnu Qudamah, salah seorang pengikut madzhab Hambali mengatakan, apabila harta wakaf mengalami kerusakan hingga tidak dapat bermanfaat sesuai dengan tujuannya, hendaknya dijual saja kemudian harta penjualannya dibelikan barang lain yang akan mendatangkan kemanfaatan sesuai dengan tujuan wakaf, dan barang yang dibeli itu berkedudukan sebagaimana harta wakaf seperti semula. Hal ini merupakan qiyas dari ucapan Imam Hambali tentang pemindahan masjid dari satu tanah ke tanah yang lain karena adanya mashlahat.

Ulama Hambali tidak membedakan antara wakaf masjid dengan bendabenda wakaf lainnya. Menurut mereka semua harta yang diwakafkan, baik itu wakaf benda bergerak ataupun wakaf benda tidak bergerak, baik itu wakaf masjid maupun wakaf selain masjid mempunyai hukum yang sama. Kerusakan yang terjadi pada barang wakaf selain masjid yang menyebabkan barang tersebut boleh dijual, berlaku pula pada masjid.

Dari sini terlihat madzhab Hambali tidak memberikan pembatasan yang ketat mengenai penjualan harta wakaf dan masjid sekalipun. Ulama Hanabillah membatasi izin penggantian maupun penjualan harta wakaf dengan adanya pertimbangan kemashlahatan dan kondisi darurat, baik dengan alasan supaya benda wakaf tersebut bisa berfungsi atau mendatangkan maslahat sesuai dengan tujuan wakaf, atau untuk mendapatkan maslahat yang lebih besar bagi kepentingan umum. Mereka memfatwakan bolehnya menjual bagian wakaf yang rusak demi memperbaiki bagian yang lain, dan itu semua demi kemashlahatan.