Teori Penjenjangan Norma Hukum

SUDUT HUKUM | Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (Stufenbau des Rechts), Hans Kelsen50 berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (Grundnorm). Pemikiran Hans Kelsen lebih lanjut, ditemui dalam bukunya berjudul General Theory of Law and State. [1]

Dari pernyataan ini, poin-poin yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:
  • Validitas hukum ditentukan oleh norma hukum lainnya.
  • Sistem norma terkoordinasi dengan norma lain
  • Penciptaan norma ditentukan oleh norma yang lebih tinggi
  • adanya hirarki dalam berbagai tingkatan norma

Pemikiran Kelsen demikian, menunjukkan bahwa hukum diciptakan oleh hukum lainnya yang lebih tinggi. Pengertian ini menunjukkan bahwa Kelsen memahami hukum sebagai suatu “tatanan”. Dengan demikian yang paling dasar menjadi aturan tertinggi yang akan selalu dijadikan acuan dalam pembentukannya. Pemikiran ini sangat berkaitan erat dengan pandangannya dalam teori hukum murni, bahwa penciptaan hukum juga dijauhkan dari anasir-anasir lain. Keterkaitannya dengan “basic norm”, sesungguhnya sarat dengan nilai keadilan. Sebagai contoh, dalam pemikiran Kelsen pada hukum internasional, menempatkan salah satu asas “pacta sun servanda”[2] sebagai grundnorm (basic norm). Jika melihat asas ini, sebenarnya ada titik taut dengan keadilan dan moral.

Hamid Attamimi yang bertitik tolak pada ajaran Hans Nawiasky, membedakan norma hukum negara dalam 4 (empat) kategori pokok, yaitu Staatsfundamentalnorms (Norma fundamental negara), Staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara), Formell Gesetz (undang-undang formal) dan Verordnung & Autonoe Satzung (Aturan pelaksana dan Aturan otonom).[3]

Hamid Attamimi berpendapat bahwa UUD dan TAP MPR tidak termasuk jenis aturan hukum, melainkan sebagai aturan dasar negara atau aturan pokok negara (Staatsgrundgesetz), untuk aturan hukum adalah undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu), peraturan pemerintah (PP), keputusan Presiden, peraturan daerah dan seterusnya. Pendapat ini didasarkan pada pertimbangan bahwa UUD yang berisi Pancasila adalah tidak sama dengan undangundang formil.[4] Teori penjenjangan norma ini tepat dijadikan rujukan, sebab dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, para pembentuk harus mendasarkan pada aturan yang lebih tinggi.

Pasal 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menentukan Pancasila harus dijadikan sumber dari pembentukan hukum. Kaitannya dengan teori ini, banyak kalangan yang beranggapan bahwa grundnorm yang di pahami oleh Kelsen termuat dalam Pancasila sehingga dianggap sebagai cita hukum. Deskripsi tentang cita hukum akan diuraikan pada bab selanjutnya. Esensi dari teori ini memberikan legitimasi kepada para pembentuk undang-undang yang merupakan penyelenggara negara untuk tunduk pada aturan yang lebih tinggi saat membentuk aturan yang lebih rendah. Hal ini sejalan dengan pemahaman kepastian hukum dalam arti legalitas demi mewujudkan kepastian norma hukum.

Rujukan:

[1] Hans Kelsen 1949, General Theory of Law and State, Harvard University Press, h. XIV
[2] Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, 2002, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, h. 34
[3] Hamid Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analis: Keputusan Presiden Yang Berfungsi Peraturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita V, Disertasi PPS Universitas Indonesia, h. 287
[4] Ibid, h. 287-288