Perkembangan Kejahatan Korupsi di Indonesia

SUDUT HUKUM | Perkembangan kejahatan korupsi sangatlah terkait kepada tahap perkembangan suatu Negara, demikian juga mengenai strategi penanggulangan. Tidak dapat dipungkiri bahwa kejahatan korupsi hanyalah dapat dikakukan oleh orang- orang yang memiliki akses terhadap kekuasaan Negara dan akses terhadap penguasaan dan pengelolaan kekayaan Negara, termasuk dalam pengertian ini adalah para pengusaha yang berkolusi dengan penguasa dalam penguasaan (monopoli) sumberdaya ekonomi (kekayaan Negara), sehingga mereka memiliki akses untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah (Negara). Berkaitan dengan hal ini, Mardjono Reksodiputro mengemukakan sebagai berikut:

Pengertian korupsi ini jangan hanya diasosiasikan dengan penggelapan keuangan Negara; tidak kalah jahatnya adalah penyuapan (bribery) dan penerimanan komisi secara tidak sah (kickbacks).Kegiatan semacam ini juga dapat dilakukan oleh pihak swasta dan karena itu kita dapat membedakan antara “bureaucratic corruption” dan “private corruption”.Apa yang menyamakan kedua jenis korupsi ini dan juga kejahatan ekonomi, adalah para pelakunya adalah para pemegang kuasa dalam masyarakat, baik kuasa pemerintahan (public power) maupun kuasa ekonomi (economic power).”

Perkembangan Kejahatan Korupsi di Indonesia

Negara yang masih tergolong muda (baru merdeka), sudah tentu masih disibukkan dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan menjaga kelangsungan hidup Negara yang bersangkutan, sehingga wajar saja jika sifat hukumnya masih sangat represif (tangan besi), karena fungsi hukum hanya untuk menciptakan ketertiban sosial. Penjelasan ini sangat tampak dalam gambaran perkembangan Negara Indonesia di awal kemerdekaan sampai dengan awal pemerintahan rezim orde baru, itulah sebabnya peran hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan korupsi pada masa itu tidak begitu menonjol. Praktiknya, meskipun sudah ada beberapa bentuk peraturan yang tujuannya untuk mengendalikan prilaku para penguasa dalam kaitannya dengan pengelolaan keuangan Negara, tetapi penerapan perundang-undangan korupsi tersebut juga terpulang pada sikap penguasa pada masa itu, artinya apa yang merupakan hukum dan apa yang bukan hukum adalah tergantung pada tafsir penguasa pada saat itu.

Setelah bangsa Indonesia berhasil melalui masa transisi yaitu sebagai Negara yang baru lahir dan masuk kedalam tahap negara yang memulai pembangunan maka persoalan pengamanan keuangan negara mulai muncul yaitu di awal pemerintahan rezim orde baru, artinya keberadaan penguasa sebagai suatu ancaman terhadap keselamatan kekayaan negara mulai tampak, dan fenomena pengawasan terhadap para penguasa negara mulai terasa penting. fenomena ini sejalan dengan penjelasa Presiden Amerika Serikat ke-4 James Madison (1751-1836), yang mengatakan (dalam terjemahan bebas), bahwa “sebuah pemerintah tidak lain dari cermin yang terbesar dari semua cermin sifat manusia. Jika manusia adalah malaikat, maka tidak perlu pemerintahan. Jika malaikat yang memerintah manusia, maka tidak perlu pengawasan atas pemerintah, dari luar maupun dari dalam”.


Pendapat James Madison di atas ingin menunjukkan bahwa sifat dasar manusia (penguasa) adalah cenderung korup, dalam hal ini Madison ingin menegaskan bahwa arti pentingnya pengawasan terhadap penguasa. Tidak aneh didalam negara yang masih lemah atau Negara yang baru merdeka biasannya menghadapi masalah masih lemahnya pengawasan, meskipun demikian didalam negara yang masih lemah isu mengenai korupsi tidak terlau mengemuka di masyarakat, namun potensi korupsi tetap ada dalam sekala yang kecil. Gambaran ini sejalan dengan perkembangan korupsi di Indonesia di masa orde lama.

Berita-berita tentang skandal-skandal korupsi ini telah memancing reaksi masyarakat yang beragam, yaitu dari bentuk yang terbilang lunak dan rasional, keras (demonstrasi), dan bahkan sampai pada bentuk yang anarkis (emosional). Terlepas dari penilaian mengenai baik buruknya reaksi-reaksi ini, dapat digaris bawahi bahwa seluruh elemen masyarakat sangat membenci para pelaku tindak pidana korupsi, dan berharap agar Negara melaui alat-alat penegak hukumnya menjatuhkan hukuman (pidana) yang seberat-beratnya kepada para pelaku tindak pidana korupsi.

Penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi tidak terlepas dari peran pemerintah sebagai aparat penegak hukum seperti Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat. Hakim sebagai penegak keadilan di masyarakat diharapkan dapat memberikan putusan pidana yang dinilai adil bagi masyarakat. Menurut Sudarto dalam hal memberikan suatu keputusan, hakim memiliki dasar pertimbangan yang kuat karena putusan hakim merupakan puncak klimaks dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh seorang hakim.