Pengertian Hukum Islam, Fiqh dan Syari’ah

SUDUT HUKUM | Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama Islam. Sebagai sistem hukum ia memiliki beberapa istilah penting yang perlu dijelaskan terlebih dahulu, sebab kadang membingungkan apabila tidak mengetahui persis maknanya. Istilah penting yang dimaksud adalah hukum, syari’ah dan fiqh.

Hukum

Jika berbicara tentang hukum, maka sepintas akan terlintas dalam pikiran kita sebuah peraturan-peraturan atau norma-norma yang mengatur segala tingkah laku manusia, baik berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat atau memang peraturan itu sengaja dibuat dan ditegakkan oleh penguasa.
Hukum dalam konsepsi Barat adalah hukum yang sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur kepentingan manusia sendiri dalam masyarakat tertentu. Dalam konsepsi perundang-undangan (Barat), yang diatur oleh hukum hanyalah hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat.
Di samping itu ada konsepsi hukum lain, diantaranya adalah hukum Islam. Dasar dan kerangka hukumnya ditentukan oleh Allah, yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan alam sekitarnya.

Sehingga istilah hukum Islam jelas mencerminkan konsep yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa. Ada dua pandangan mengenai hukum Islam, yaitu pandangan keabadian dan pandangan keberubahan.
Pertama, pandangan keabadian sebagaimana yang dipegangi oleh sejumlah besar Islamisis seperti C.S. Hurgronje dan Josep Schacht, serta oleh kebanyakan juris muslim lain yang hadits oriented (tradisionalis). Mereka berpendapat bahwa dalam konsep dan perkembangannya serta metodologinya, hukum Islam bersifat abadi. Mereka mempertahankan pendapat bahwa hukum Islam mencari landasannya pada wahyu Tuhan melalui Nabi Muhammad sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan hadits. Sehingga hukum bersifat statis, final dan tidak menerima perubahan.

Kedua, pandangan keberubahan yang berpendapat bahwa hukum Islam memiliki ciri yang dinamis, fleksibel dapat berubah dan dalam kenyataannya juga hukum selalu berubah sesuai dengan kondisi ruang dan waktu. Yang menekankan aktivitas ijtihad.

Di dalam al-Qur’an dan Sunnah, istilah al-Hukm al-Islamy tidak pernah kita jumpai. Istilah yang sering dipergunakan adalah al-Fiqh al-Islamy atau al-Syari’at al-Islamiyyah. Untuk itu pemahaman terhadap istilah syari’ah dan fiqh akan sangat membantu untuk memahami pengertian hukum Islam secara utuh.

Syari’ah

Secara harfiah, kata syari’ah adalah jalan ke sumber (mata) air yang digunakan untuk minum, yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim. Menurut ulama ushul fiqh, syari’ah adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (muslim, baligh, dan berakal sehat, baik berupa tuntutan, pilihan, atau perantara (sebab, syarat dan penghalang).

Al-Qur’an menggunakan kata syir’ah dan syari’ah, dalam arti din (agama), dengan pengertian jalan yang telah ditetapkan Tuhan bagi manusia, atau dalam arti jalan yang jelas yang ditunjukkan Tuhan kepada manusia.
Fazlur Rahman mengemukakan bahwa syari’ah erat hubungannya dengan ad-diin, bahkan kadang keduanya dapat saling dipertukarkan. addiin menurutnya berarti kepatuhan dan ketaatan. Sedangkan syari’ah merupakan penentu jalan dan subyeknya sendiri adalah Tuhan, maka addiin adalah tindakan mengikuti jalan tersebut dan subyeknya adalah manusia. Dalam al-Qur’an disebutkan: “Tuhan telah menetapkan jalan yang harus kamu ikuti”, dan juga “Lalu apakah mereka mempunyai Tuhan-tuhan lain yang telah menetapkan jalan yang harus mereka ikuti.
Kalau kita kembalikan pada asal rujukannya yaitu Tuhan dan kepada manusia, maka syari’ah dan ad-diin adalah identik selama menyangkut jalan tersebut dan apa yang terkandung di dalamnya.

Sementara Abu Hanifah membedakan antara ad-diin dan syari’ah. Ad-diin menurutnya tidak pernah berubah sementara syari’ah selalu mengalami perubahan sesuai perjalanan sejarah. Yang dimaksud dengan ad-diin adalah pokok-pokok iman, seperti kepercayaan pada keesaan Allah, iman pada Rasul-rasul, percaya hari akhir dan lain-lain, sedangkan syari’ah merupakan kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan.
As-Syatibi dalam bukunya al-Muwafaqat mendefinisikan syari’ah sebagai aturan-aturan bagi orang mukallaf, baik mengenai perbuatan, ucapan maupun keyakinan mereka. Manouchehr Paydar, dalam Legitimasi Negara Islam, mendefinisikan syari’ah sebagai seperangkat hukum-hukum suci untuk mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupannya serta mempersiapkan diri mereka dalam menghadapi hari akhir kelak.

Fiqh

Setelah mengetahui pengertian syari’ah, selanjutnya beralih ke fiqh. Fiqh secara harfiah berarti paham atau mengerti sesuatu secara mendalam. Dalam pengertian ini antara fiqh dan fahm adalah sinonim. Setelah mengalami perkembangan fiqh digunakan untuk nama dalam hukum-hukum agama, baik yang mengenai hukum aqidah maupun mengenai hukum amaliah.
Kata fiqh dalam al-Qur’an dipergunakan dengan pengertian “memahami” secara umum pada beberapa tempat. Ungkapan ليتفقهوافى الدين (agar mereka melakukan pemahaman dalam agama), menunjukkan bahwa di masa Rasulullah istilah fiqh tidak hanya dikenakan dalam pengertian hukum saja, tetapi mempunyai arti yang lebih luas mencakup semua aspek dalam Islam, yaitu teologis, politis, ekonomis dan hukum.

Namun dalam perjalanannya, makna fiqh kini hanya sebagai istilah teknis untuk menyebut suatu disiplin ilmu yang khusus membahas aspek hukum di dalam Islam. Dari pemaparan di atas, maka dapat dipahami bahwa fiqh adalah ilmu tentang perilaku manusia yang landasan utamanya adalah nash/wahyu al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka dapat dikatakan bahwa antara syari’ah dan fiqh merupakan dua konsep yang berbeda namun keduanya saling terkait. Karena syari’ah merupakan hukum Tuhan, sedang fiqh aktualisasi dari syari’ah atau formula yang dipahami dari syari’ah. Syari’ah tidak dapat dijalankan dengan baik, tanpa dipahami melalui fiqh atau pemahaman yang memadai, dan diformulasikan secara baku.
Fazlur Rahman dalam bukunya Islam, menyebutkan bahwa fiqh adalah merupakan bagian dari syari’ah. Ia menjelaskan bahwa sumber (metode) untuk menjelaskan syari’ah pada awal periode setelah Rasulullah ada dua. Pertama, sumber tradisional, yang sudah diketahui otoritasnya, yakni al-Qur’an dan sunnah Rasul sebagai dasar pegangan hukum Islam. Kedua, berupa akal dan pemahaman manusia yang timbul karena sifat otoritatif dari prinsip pertama tidak mampu memenuhi kebutuhan perkembangan zaman dari generasi ke generasi. Prinsip pertama oleh Rahman disebut ‘ilmu’ (dalam bahasa Arab: ’ilm; bukan pengetahuan seperti yang telah diartikan), sedang prinsip kedua disebut fiqh yang berarti pengertian dan pemahaman.

Rujukan:

  1. Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, edisi VI, cet. X, 2002,
  2. Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah (Implikasinya Pada Perkembangan Hukum Islam), Semarang: Aneka Ilmu, 2000,
  3. Manouchehr Paydar, Aspect of The Islamic Religious Norms and Political Realities, terj. M. Maufur el-Khoiry, Legitimasi Negara Islam, Problem Otoritas Syari’ah dan Politik Penguasa, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002,
  4. Tengku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, Jakarta: Tintamas, 1975,
  5. Al-Ghazaly, al-Mustasfa Min ‘Ilm al-Usul, Mesir: Maktabah al-Jundiy, 1971,
  6. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. IV, 2000,
  7. Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Islam, Bandung: Pustaka, cet. II, 1994,
  8. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Qalam, cet. XII, 1978,
  9. Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, terj. Agah Garnadi, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka, cet. II, 1994.
  10. Abi Ishaq as-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Usul al-Syari’ah, jilid I, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.
  11. A. Qodri A. Azizy, Redefinisi Bermadzhab Dan Berijtihad, al-Ijtihad al-‘Ilmi al-‘Asri, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Islam IAIN Walisongo,Semarang 12 Juli 2003,