Kewarganegaraan

Pengertian Warga Negara dan Kewarganegaraan


Salah satu persyaratan diterimanya sebuah negara adalah adanya unsur warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warganegara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warganegara lain. Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu prinsip ‘ius soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’.
Dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini, kita menyaksikan banyak sekali penduduk suatu negara yang berpergian keluar negeri, baik karena direncanakan dengan sengaja ataupun tidak, dapat saja melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula terjadi, karena alasan pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja melahirkan anak di rumah sakit di luar negeri yang dapat lebih menjamin kesehatan dalam proses persalinan.
Dalam hal negara tempat asal seseorang dengan negara tempat ia melahirkan atau dilahirkan menganut sistem kewarganegaraan yang sama, tentu tidak akan menimbulkan persoalan, akan tetapi apabila kedua negara yang bersangkutan memiliki sistem yang berbeda, maka dapat terjadi keadaan yang menyebabkan seseorang menyandang status dwi-kewarganegaraan (double citizenship) atau sebaliknya malah menjadi tidak berkewarganegaraan sama sekali (stateless).

Kewarganegaraan

Muhammad Tahir Azhary berpendapat bahwasannya suatu negara biasanya harus memiliki tiga unsur pokok yaitu:
  • rakyat atau sejumlah orang;
  • wilayah tertentu;
  • Pemerintahan yang berwibawa dan berdaulat.

Sebagai unsur komplementer dapat ditambahkan pengakuan oleh masyarakat internasional atau negara-negara lain.49 L. Oppenheim dalam bukunya yang berjudul Hukum Internasionaljuga berpendapat bahwa terdapat 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi untuk berdirinya suatu negara, yaitu adanya:
  1. Rakyat, yang terdiri dari kumpulan orang-orang, lelaki maupun perempuan yang hidup dalam suatu masyarakat sungguhpun mereka berasal dari suku/keturunan yang berlainan dan warna kulit berlainan;
  2. Daerah/wilayah, tak perduli berapapun luasnya dan di mana orang-orang menetap;
  3. Pemerintah, yang terdiri dari orang-orang yang mewakili rakyatnya dan memerintah berdasarkan hukum dari daerah / wilayah tersebut;
  4. Pemerintah yang berkuasa yang tidak tunduk pada kekuasaan apapun di atas dunia baik di dalam maupun di luar wilayahnya.

Sebagaimana telah kita ketahui dalam Ilmu Tata Negara, bahwa rakyat merupakan salah satu unsur bagi terbentuknya suatu negara, di samping unsur wilayah dan unsur pemerintahan. Suatu negara tidak akan terbentuk tanpa adanya rakyat walaupun memiliki wilayah tertentu dan pemerintahan yang berdaulat, demikian pula kalau rakyatnya ada yang berdiam pada wilayah tertentu akan tetapi tidak memiliki pemerintahan sendiri yang berdaulat ke dalam dan ke luar, maka negara itupun jelas tidak bakal ada. Sehingga ketiga unsur itu sangat diperlukan bagi persyaratan terbentuknya suatu negara.
Pengertian rakyat sering dikaitkan dengan pengertian warganegara. Warganegara adalah rakyat yang menetap di dalam suatu wilayah dan rakyat tertentu dalam hubungannya dengan negara.51 Sedang dalam pengertian penduduk dapat mencakup pengertian yang lebih luas, baik meliputi warga negara maupun bukan warga negara yang kesemuanya jelas bertempat tinggal dalam suatu wilayah negara.

Secara tegas penduduk dapat dibagi atas:
  • penduduk warganegara;
  • penduduk bukan warganegara, yaitu orang asing.

Keduanya sangat berbeda dalam hubungannya dengan negara yang didiaminya yaitu:
  1. Setiap warganegara memiliki hubungan yang tidak terputus dengan tanah airnya, dengan Undang-Undang Dasar Negaranya, walaupun yang bersangkutan berada di luar negeri atau selama yang bersangkutan tidak memutuskan hubungannya atau terikat oleh ketentuan hukum internasional.
  2. Penduduk yang bukan warganegara (orang asing) hubungannya hanya selama yang bersangkutan bertempat tinggal dalam wilayah negara tersebut. Tetapi kalau dilihat dari sudut kewajiban negara untuk melindungi kepentingan penduduknya, maka baik warganegara maupun orang asing mendapat perlindungan hukum yang sama dari Negara.

Warganegara adalah salah satu tiang daripada adanya negara, di samping kedua tiang yang lain, yaitu wilayah dan pemerintah negara. Karena warganegara merupakan tiang atau sokoguru negara, maka kedudukan daripada warganegara itu sangatlah penting dalam suatu negara.
Menurut Black’s Law Dictionary, “citizen is a person who, by either birth or naturalization, is a member of a political community, giving allegiance to the community and being entitled to enjoy all its civil rights and protections; a member of the civil state, entitled to all its privileges.
Bila dibicarakan mengenai hubungan warganegara dengan negara atau keanggotaan dalam negara, maka hubungan tersebut dinyatakan dengan istilah kewarganegaraan yang menyatakan hubungan atau ikatan hukum antara seorang individu dengan suatu negara atau keanggotaan daripada suatu negara.
Dalam menyatakan hubungan atau ikatan hukum tersebut di masing-masing negara tidak dinyatakan dalam istilah yang sama dalam arti dan isinya. Terkadang digunakan istilah citizen, national atau subject yang penggunaannya sering membingungkan.
Kewarganegaraan (citizenship) adalah suatu status menurut hukum dari suatu negara yang memberi keuntungan-keuntungan hukum tertentu dan membebankan kewajiban-kewajiban tertentu kepada individu. Sedangkan kebangsaan (nationality) sebagai istilah hukum internasional menunjuk kepada ikatan yaitu ikatan seorang individu terhadap suatu negara yang memberi kepada suatu negara hak untuk mengatur atau melindungi nationals-nya, meski di luar negeri sekalipun.
Sehingga Sudargo Gautama menyimpulkan bahwa pengertian pokok dari kewarganegaraan ialah ikatan antara individu dengan negara, yaitu individu merupakan anggota penuh secara politik dalam negara itu dan berkewajiban untuk tetap setia kepada negara (permanence of allegiance), tetapi sebaliknya negara berkewajiban melindungi individu tersebut di manapun ia berada.
Pengertian kewarganegaraan sendiri menurut Kho Wan Sik dapat dibedakan atas:
  • Kewarganegaraan dalam arti yuridis (juridische nationaliteit) dan sosiologis (sociologische nationaliteitsbegrip).

Kewarganegaraan dalam arti yuridis adalah ikatan hukum (derechtsband) antara negara dengan orang-orang pribadi (natuurlijke personen) yang karena ikatan itu menimbulkan akibat, bahwa orang-orang tersebut jatuh di bawah lingkungan kuasa pribadi dari negara yang bersangkutan atau dengan kata lain warga dari negara itu (burgers van die Staat zijn).
Kewarganegaraan dalam arti sosiologis adalah kewarganegaraan yang tidak berdasarkan ikatan yuridis, tetapi sosial politik yang disebut natie. Kewarganegaraan yang sosiologis adalah kewarganegaraan yang terikat pada suatu negara oleh karena adanya perasaan kesatuan ikatan karena satu keturunan, kebersamaan sejarah, daerah/tanah (wilayah) dan penguasa berkembang dalam suatu persekutuan daerah atau negara tempat ia tinggal.
Dari sudut kewarganegaraan sosiologis dapat dilihat bahwa kewarganegaraan yuridis mungkin tidak memiliki persyaratan kewarganegaraan sosiologis, sedangkan dari sudut kewarganegaraan sosiologis hanya satu persyaratan yang tidak dipenuhi yaitu persyaratan yuridis yang merupakan ikatan formal dengan negara tersebut dalam bentuk antara lain surat bukti. Terkadang kedua ikatan tersebut tidak bersamaan, sehingga sangatlah ideal apabila kewarganegaraan yuridis dan kewarganegaraan sosiologis itu manunggal dalam diri seorang
warganegara.

  • Kewarganegaraan dalam arti formal dan materil (formal en materiil nationaliteitsbegrip).

Kewarganegaraan dalam arti formal (gatranya) adalah tempat kewarganegaraan itu dalam sistematika hukum karena menyangkut salah satu sendi dari negara, yaitu rakyat negara, maka kewarganegaraan itu terletak di bidang hukum publik, sebab kaidah-kaidah yang mengenai adanya negara semata-mata bersifat publik (publiekrechtelijk).
Kewarganegaraan dalam arti materiil (isinya) adalah akibat hukum dari pengertian kewarganegaraan itu, yaitu apakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang konkrit terhadap seseorang yang timbul dari pengertian kewarganegaraan itu atau dengan kata lain, apakah perbedaan yang timbul dari ikatan hukum antara kedudukan seorang warganegara dengan orang asing.
Kho Wan Sik, melukiskan sifat hukum dari pengertian kewarganegaraan sebagai pertalian hukum antara negara dengan seorang (manusia) dengan akibat hukum, bahwa orang itu menjadi warganegara dan jatuh di bawah lingkungan kekuasaan pribadi (personengebeid atau personal jurisdiction) negara tersebut. Menurutnya juga bahwa kewarganegaraan itu bersifat baik suatu pertalian hukum maupun suatu status (apabila dilihat dari sudut perseorangan).
Dalam Black’s Law Dictionary juga disebutkan pengertian citizenship adalah:
  • the status of being a citizen;
  • the quality of a person’s conduct as a member of a community.

Sedang menurut M. Said Nizar, seorang anggota KOMNAS HAM R.I mengemukakan bahwa hubungan antara negara dengan warganegara tidak mungkin dapat dibahasakan secara lengkap tanpa diikutsertakan pembahasan soal “nasionalisme”. Nasionalisme adalah suatu “state of mind” atau suatu sikap kejiwaan yang mengikat rakyat menjadi suatu bangsa dengan satu tanah air. Tali pengikat ini menuju kepada suatu cita-cita masa depan dengan cakrawala luas. Seorang sastrawan Perancis “Ernest Renan” menjelaskan bahwa nasionalisme itu adalah “suatu jiwa dan suatu prinsip spiritual” (Une ame, un principe spiritual).
Jika konsep kewarganegaraan itu adalah suatu “Jiwa” berarti citizenship bukanlah symbol”. Sebab dia adalah jiwa yang menyatu dan berkualitas. Tetapi pemahaman seperti ini tidak pernah dibicarakan secara rinci. Bahkan di zaman kolonial diskusi tentang kewarganegaraan tidak pernah menyentuh apa yang dikatakan oleh Ernest Renan yaitu soal keterikatan jiwa. Diskusi kewarganegaraan tersebut dikerdilkan dan disederhanakan, dipatok dalam pemahaman yang sempit.

Prinsip-Prinsip Penentuan Kewarganegaraan

Tiap-tiap negara adalah berdaulat untuk menentukan tentang siapa-siapa yang dapat menjadi warganegaranya dan siapa pula yang tidak atau tentang perolehan dan kehilangan kewarganegaraan dari warganegaranya. Dalam hal kedaulatan negara ini termasuk juga, bahwa tidak ada negara yang berhak mengatur masalah-masalah kewarganegaraan negara lain. Pembatasan ini berdasarkan kepada “general international law”, yaitu asas “pacta sunt servanda” dan “of mutual recognition of each other souvereignity” berupa konvensi-konvensi internasional, kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum yang umum dan secara internasional telah diakui di bidang kewarganegaraan.
Pelaksanaan peraturan lalu lintas orang tersebut merupakan derivasi dari hak negara untuk memberi izin atau melarang orang asing masuk kedalam wilayahnya dan merupakan atribut esencial dari pemerintahan negara yang berdaulat. Oleh karena itu orang asing yang memasuki wilayah suatu negara akan tunduk pada hukum negara tersebut sebagaimana halnya warganegara itu sendiri.
Dalam ketentuan-ketentuan kewarganegaraan terdapat dua asas yang utama yaitu:

a.Asas daerah kelahiran (lus Soli)
Ditinjau dari istilah bahasa latin, maka ius berarti hukum, sedangkan soli berarti tanah, sehingga dalam pengertian sepenuhnya maka ius soli adalah hukum yang mengikuti tanah kelahiran. Maksudnya adalah kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya yaitu seseorang adalah warganegara dari suatu negara berdasarkan tempat dimana ia dilahirkan. Jadi asas ini merupakan asas dalam pewarganegaraan yang mengikuti di tempat mana seseorang itu dilahirkan. Asas kelahiran (ius soli) di dalam wilayah Republik Indonesia juga diterapkan untuk menghindarkan adanya orang yang “tanpa kewarganegaraan” (Stateless).
Apabila anak yang dilahirkan di Indonesia tidak memperoleh kewarganegaraan ibunya maupun dari ayahnya, maka anak itu dapat memiliki kewarganegaraan RI untuk menghindari anak menjadi tanpa kewarganegaraan.
Asas ius soli lazim dimanfaatkan oleh negara-negara yang jumlah rakyatnya kecil atau sedikit, kebanyakan penduduk di negara itu adalah pendatang yang diterima untuk melaksanakan berbagai pekerjaan bagi perkembangan perekonomiannya, atau para imigran yang diterima dengan baik di negara yang bersangkutan.
Menurut Sudargo Gautama bahwa kepentingan negara-negara yang termasuk negeri-negeri imigran adalah bagaimana kepentingan warga-warga asing yang telah masuk dalam negeri mereka secepat mungkin diasimilasi menjadi rakyat mereka. Terutama dalam negeri-negeri yang masih kekurangan warga. Hubungan pertalian dengan negara asal secepat mungkin harus dilepaskan. Para imigran ini secepat mungkin harus dijadikan warganegara dari Negara baru yang telah dipilih oleh mereka sebagai tempat mencari kehidupan. Jadi untuk negeri-negeri semacam ini sudah tentu ius soli adalah yang paling tepat .
Orang-orang yang tadinya termasuk warga asing menetap dalam wilayah negara yang menganut ius soli dan melahirkan anak-anaknya disitu, maka anak-anak tersebut haruslah dipandang sebagai warga dari negara bersangkutan dan negara dimana ia dilahirkan dan hidup. Anak-anak yang dilahirkan di negara itu lazimnya diberi pewarganegaraan pasif. Sehingga dalam hal ini ius soli selalu dikaitkan dengan pewarganegaraan pasif. Dalam pewarganegaraan pasif sendiri adalah bahwa seseorang yang tidak mau diwarganegarakan oleh sesuatu negara atau tidak mau diberi dan dijadikan warganegara sesuatu negara, maka yang bersangkutan dapat menggunakan hak repudiasi.
Jika diperhatikan negara Amerika Serikat, Kanada, Australia termasuk negara yang menerapkan asas ius soli dan memanfaatkan asas tersebut dalam pewarganegaraan pasif terhadap keturunan-keturunan berbagai suku bangsa yang berimigran ke negara-negara tersebut. Negara Indonesia pada masa penjajahan (Hindia Belanda) membuat peraturan kewarganegaraan dengan menganut asas ius soli. Walaupun demikian Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia No.62 Tahun 1958 yang berlaku sekarang menganut juga asas ius soli terbatas dengan tujuan untuk menghindari terjadinya seseorang menjadi tanpa kewarganegaraan (stateless).

b. Asas Keturunan (Ius Sanguinis)
Menurut istilah bahasa latin, ius berarti hukum, sedangkan sanguinis dapat berarti keturunan atau darah, jadi asas ini mengikuti hukum atau ketentuan-ketentuan dari keturunan atau darah orangtuanya. Artinya bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh keturunan dari pada orang yang bersangkutan. Penganutan asas ius sangunis ini memang sangat penting apalagi pada masa sekarang dimana hubungan antara suatu negara dengan negara lainnya berlangsung dengan pesat dan sangat baik, yang memungkinkan orang-orang untuk berpindah atau bermukim sementara waktu di negara lain dalam rangka pekerjaan, pendidikan atau tugas tugas kenegaraan yang diembannya.
Terlebih bila diperhatikan bahwa negara-negara yang memilih asas ius sanguinis pada umumnya termasuk negara-negara emigran.69 Sebagai contoh negara yang menganut asas ini adalah negara RRC, India, Indonesia yang terkenal sebagai negara yang banyak jumlah warganya.
Dalam kaitannya sebagai konsekuensi asas ius sanguinis ini, apabila adanya keinginan seseorang warganegara untuk berpindah kewarganegaraan harus ditempuh melalui proses pewarganegaraan atau naturalisasi. Jika persyaratan-persyaratan tersebut dapat dipenuhi oleh yang bersangkutan maka terkabullah kehendaknya.
Dalam penentuan apakah seseorang menjadi warganegara suatu negara ataukah tidak, dengan menggunakan asas ius sanguinis atau ius soli tidak dapat dilepaskan dari keadaan-keadaan yang menjadi latar belakang penentuan itu, yaitu keinginan pembentuk negara atau pemerintah masing-masing negara untuk menjadikan warganegaranya sebagaimana yang mereka kehendaki dan dicitacitakan.
Tetapi tidak jarang dalam kenyataannya kita menemui negara-negara yang memanfaatkan kedua asas tersebut. Artinya tidak memilih salah satu asas secara konsekuen (taat asas) melainkan dipakai suatu kombinasi dari kedua asas. Kedua asas dipergunakan namun hanya saja yang satu lebih dikedepankan dari yang lain. Negara-negara yang pertama-tama mementingkan asas ius sanguinis (keturunan) juga tak mengabaikan sama sekali asas ius soli (tempat kelahiran).
Juga karena masing-masing negara berdaulat untuk menentukan siapakah warganegaranya, maka dalam kenyataannya terdapat ketidakseragaman peraturanperaturan mengenai kewarganegaraan. Ketidakseragaman ini dapat terjadi bahwa apabila seseorang yang telah ditentukan menjadi warganegara dari suatu negara tertentu adalah pula warganegara dari negara lain, berdasarkan asas penentuan kewarganegaraan dari negara itu atau dapat pula terjadi seseorang menjadi tanpa kewarganegaraan. Di sinilah akan timbul permasalahan benturan asas yang mengakibatkan seseorang memiliki dwikewarganegaraan/dual citizenship/bipatridie/ kewarganegaraan ganda atau bahkan multipatridie (memiliki. lebih dari dua kewarganegaraan) dan atau menjadi tanpa kewarganegaraan (apatridie/stateless).
3. Apatridie dan Bipatridie
Dalam kenyataannya terdapat keanekaragaman peraturan dan asas-asas kewarganegaraan apakah ius soli atau ius sanguinis, karena negara bebas untuk memilih asas-asas manakah yang hendak dipakainya dalam menentukan siapakah yang menjadi warganya. Kemudian menimbulkan apatridie, bipatridie bahkan mungkin multipatridie karena dari benturan asas-asas kewargarnegaraan yang tidak seragam. Akibatnya timbul peraturan-peraturan di bidang kewarganegaraan yang tidak sama di semua negara. Menurut istilah Sudargo Gautama hal ini menggambarkan seolah-olah terjadi “pertentangan”. Namun untuk lebih mempertajam pembahasan pada tulisan ini, tidak akan dikemukakan lebih jauh hal-hal berkenaan dengan multipatridie.
Yang dimaksud dengan apatridie yaitu orang-orang yang tidak mempunyai suatu kewarganegaraan (tanpa kewarganegaraan). Pada akhir-akhir ini, apatridie banyak kemungkinan terjadi, karena perkembangan hubungan antara negara dan hubungan politis. Beberapa negara tertentu telah mulai mempergunakan pencabutan kewarganegaraan sebagai semacam hukuman. Apabila orang-orang yang terkena dinyatakan hilang kewarganegaraan oleh negara yang bersangkutan, dan mereka ini belum dapat memperoleh kewarganegaraan pengganti, maka mereka ini bertatus tanpa kewarganegaraan.
Keadaan tanpa kewarganegaraan ini adalah menyedihkan bagi yang harus mengalami. Sama sekali tidak ada perlindungan dari sesuatu negara. Tidak dapat memiliki paspor negara tertentu. Seandainya mereka harus diusir dari negara tempat mereka berdomisili, kemana mereka harus dikirim. Sedangkan Bipatridie atau dwikewarganegaraan akan terjadi apabila seseorang memiliki dua kewarganegaraan.
Kenyataan terjadinya bipatridie kerapkali sering berlaku yaitu kalau seseorang penduduk pada suatu negara yang berasal dari kewarganegaraan lain diberi pewarganegaraan oleh negara yang didiaminya, tanpa ia menyatakan malepaskan kewarganegaraan aslinya (leluhurnya). Jika satu negara menganut asas ius sanguinis dan negara lain menganut asas soli maka kemungkinan akan timbul kewarganegaraan ganda/dwi kewarganegaraan/bipatridie sangatlah besar. Walaupun pada umumnya soal dwikewarganegaraan timbul karena perbedaan-perbedaan dalam peraturanperaturan kewarganegaraan berbagai bangsa yang disebabkan oleh benturan asas penentuan kewarganegaraan suatu negara adalah tidak seragam. Terkadang dapat pula terjadi seorang menjadi bipatridie dengan adanya penerapan prinsip kewarganegaraan yang sama dalam negara-negara bersangkutan.
Seiring dengan semakin berkembangnya jalur informasi dan transportasi mengakibatkan hubungan antar bangsa juga menjadi semakin berkembang. Orang asing, datang dan pergi ke suatu negara tertentu merupakan suatu hal yang lumrah, baik untuk bekerja, sekolah, berdagang atau hanya sekedar sebagai turis. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia.
Dalam kehidupan sehari-hari, mereka sudah pasti berhubungan satu sama lain, baik dengan warga negara setempat atau dengan warga negara asing lainnya, hubungan mana seringkali diakhiri dengan suatu perkawinan. Keadaan berkewarganegaraan ganda sering pula terjadi akibat dari perkawinan campuran antar bangsa yang otomatis menganut hukum perkawinan dan kewarganegaraan yang berbeda. Di mana masing-masing pihak terkait dalam perkawinan campuran tersebut oleh negara asalnya ada yang mengizinkan anak yang
dihasilkan dari perkawinan tersebut untuk memiliki kewarganegaraan kedua orangtuanya (kewarganegaraan ganda/dwikewarganegaraan).
Dari pengertian warga negara diatas, dikatakan bahwa warga negara mempunyai kedudukan resmi sebagai anggota penuh suatu negara karena mereka memiliki semua hak dan kewajiban sebagai anggota negara sesuai dengan hukum yang berlaku di negara tersebut. Berikutnya sebagai warga negara mereka dituntut untuk memberikan kesetiaannya kepada negara dimana mereka tercatat sebagai warga negara.