SUDUT HUKUM | Adagium yang dikutip di muka bab ini amat tampak menarik bilamana kita menyandingkannya dengan hadits perihal Muadz bin Jabal yang diutus Nabi untuk menjadi hakim di daerah Yaman dan sekitar. Nabi bertanya, “Bagaimana nanti Anda memberi keputusan?”. Muadz menjawab, “Aku memberi putusan dengan (berdasarkan) Kitabullah. “Bagaimana kalau tidak ada dalam Kitabullah?”, tanya Nabi. “Dengan Sunnah Rasulullah”, jawabnya. Nabi balik bertanya, “Bagaimana kalau tidak ada dalam Sunnah Rasulullah?”. “Aku akan mencarinya dengan ra’yu-ku (akal) dan tidak akan menyerah.” Demikian Jawab Muadz.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan Sunan Ad-Darimi ini menegaskan bahwa al-Qur’an memiliki keterbatasan, dalam hal cakupan masalah dan bahkan tawaran problem solving. Sedang Sunah Nabi sendiri terbelenggu problem historis, filologis, kultur, dan sosiologis. Sebagai teks, keduanya telah meng-abadi dan membeku dalam kematian narasi.
Menghadapi kematian teks, (nash/ al-Qur’an dan as-Sunnah) Muadz kemudian menawarkan penggunaan ra’yu. Ia melakukan ijtihad. Dan Rasul justru mengafirmasi pilihan Muadz ini dengan menepuk dada Muadz dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah.” Sedang Imam Ali bn Abi Thalib menyindir, “Wa innamâ yatakallam bihi ar-rijâl. Dan manusialah yang membuat teks berbicara!
Perihal kematian, kebuntuan, atau keterbatasan teks ini bisa dijelaskan sebagai berikut. Segala yang ada dalam benak kita (dzihn), tidak semuanya bisa dikatakan11. Tidak semua yang kita katakan akan kita tuliskan dalam bentuk teks (tertulis). Mungkinkah ilmu Allah swt yang teramat luas itu bisa terangkum secara utuh dan detil dalam segepok mushaf? Jelas, teks telah mereduksi dan mengerucutkan realita ke dalam penjara huruf yang sempit, beku, dan membelenggu.