Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

SUDUT HUKUM | Indonesia merupakan negara yang menerapkan Hirearki Norma Hukum (Stufenbau Theory) yang dicetuskan oleh Hans Kelsen dan dikembangkan oleh Hans Nawiasky. Hans Kelsen mengembangkan sebuah Teori Hukum Murni (General Theory of Law and State). Aliran Teori Hukum Murni merupakan suatu pengembangan dari teori mazhab positivisme, yang menitikberatkan pada inti ajarannya mengenai hukum dapat dibuat dari undang-undang. Menurut W. Friedman, 33 inti ajaran Teori Hukum Murni adalah:

  • Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan;
  • Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengai hukum yang seharusnya;
  • Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam;
  • Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum;
  • Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus;
  • Hubungan antara teori hukum dan sistem yang kas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.
Selain ajaran Hukum Murni, Hans Kelsen mengemukakan teori Hirearki Norma Hukum (Stufenbau Theory-Stufenbau des Recht). Hans Kelsen dalam teori hirarki norma (stufenbau theory) berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang dalam suatu tata susunan hirarki.

Suatu norma yang lebih rendah berlaku dan bersumber atas dasar norma yang lebih tinggi dan norma yang lebih tinggi itu berlaku dan bersumber kepada norma yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri, yang bersifat hipotetis dan fiktif yaitu yang dikenal dengan istilah grundnorm (norma dasar).

Hans Nawiansky menyempurnakan Stufenbau Theory yang dikembangkan oleh gurunya, Hans Kelsen. Hans Nawinsky mengembangkan teori tersebut dan membuat Tata Susunan Norma Hukum Negara (die Stufenordnung der Rechtsnormen) dalam empat tingkatan. Keempat tingkat tersebut, yaitu:

  1. Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) atau Grundnorm (menurut teori Kelsen);
  2. Staatsgrundgezets (Aturan Dasar/Pokok Negara);
  3. Formell Gezets (Undang-Undang Formal); dan
  4. Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana dan Aturan Otonomi).
Menurut teori Kelsen-Nawiansky, grundnorm atau staatsfundamentalnorm adalah sesuatu yang abstrak, diasumsikan (presupposed), tidak tertulis, ia tidak ditetapkan (gesetz), tetapi diasumsikan, tidak termasuk tatanan hukum positif, berada di luar namun menjadi dasar keberlakuan tertinggi bagi tatanan hukum positif, dan bersifat meta-juristic.

Hierarki Peraturan Menurut Undang-Undang

Bentuk peraturan perundang-undangan yang dikenal dalam UUD 1945 adalah Undang-Undang, Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah. Dalam Penjelasan juga disebutkan bahwa UUD adalah bentuk konstitusi yang tertulis. Disebut sebagai konstitusi tertulis, karena selain itu masih ada pengertian konstitusi yang tidak tertulis yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat.

Dalam Konstitusi RIS yang berlaku mulai tanggal 27 Desember 1949, pengertian konstitusi diidentikan dengan pengertian UUD. Bentuk-bentuk peraturan yang tegas disebut di dalamnya, yaitu:

  1. Undang-Undang Federal;
  2. Undang-Undang Darurat; dan
  3. Peraturan Pemerintah.
Adapun dalam UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara) yang berlaku mulai tanggal 17 Agustus 1950, penyebutannya berubah lagi menjadi:

  1. Undang-Undang;
  2. Undang-Undang Darurat; dan
  3. Peraturan pemerintah.
Dengan kata lain dalam ketiga konstitusi ini, kita mengenal adanya Undang-Undang Dasar, Undang-Undang atau Undang-Undang Federal, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) atau Undang-Undang Darurat40, dan Peraturan Pemerintah.


Setelah periode kembali ke UUD 1945, berdasarkan Surat Presiden No. 2262/HK/1959 tertanggal 20 Agustus 1959 yang ditujukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, dinyatakan bahwa di samping bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan di atas, dipandang perlu dikeluarkan bentuk-bentuk peraturan yang lain, yaitu sebagai berikut:

  • Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli 1959 tentang Kembali Kepada UUD 1945,
  • Peraturan Presiden, yaitu peraturan yang dikeluarkan untuk melaksanakan penetapan Presiden, ataupun peraturan yang dikeluarkan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945,
  • Peraturan Pemerintah, yaitu untuk melaksanakan Peraturan Presiden, sehingga berbeda pengertiannya dengan Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945,
  • Keputusan Presiden yang dimaksudkan untuk melakukan atau meresmikan pengangkatan-pengangkatan,
  • Peraturan Menteri dan Keputusan menteri yang dibuat oleh kementerian-kementerian negara atau Departemen-Departemen pemerintahan, masing-masing mengatur sesuatu hal dan untuk melakukan atau meresmikan pengangkatan-pengangkatan.
Dalam susunan diatas jelas terdapat kekacauan antara satu bentuk dengan bentuk peraturan yang lain. Sering banyak materi yang seharusnya diatur dalam Undang-Undang justru diatur dengan Penetapan Presiden ataupun Peraturan Presiden. Untuk itulah perlu dilakukan penataan kembali bentuk peraturan perundang-undangan juga dengan maksud mengadakan pemurnian terhadap pelaksanaan UUD 1945, sehingga dikeluarkanlah Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara di Luar Produk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang Tidak Sesuai dengan UUD 1945.


Sebagai kelanjutan dari Ketetapan MPRS tersebut, ditetapkanlah sumber tertib hukum dan tata urut Peraturan Perundangan Republik Indonesia dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, dengan ketentuan bentuk peraturan dengan tata urut sebagai berikut:

  1. Undang-Undang Dasar;
  2. Ketetapan MPR;
  3. Undang-Undang/Perpu;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Keputusan Presiden;
  6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain.
Kemudian pada tahun 2000, setelah terjadi gejolak reformasi yang begitu kuat dan diamandemennya UUD 1945, maka untuk menata kembali struktur dan hierarki peraturan perundang-undangan tersebut, berdasarkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 disusun suatu struktur baru peraturan perundang-undangan dengan urutan sebagai berikut:

  • Undang-Undang Dasar dan Perubahan UUD;
  • Ketetapan MPR/S;
  • Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
  • Peraturan Pemerintah (PP);
  • Keputusan presiden (Keppres); dan
  • Peraturan Daerah.
Tidak berselang lama, dikeluarkan lagi tata urut peraturan perundangan melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang didalamnya berisi hierarki peraturan perundang-undangan, dengan urutannya sebagai berikut:

  1. Undang-Undang dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945);
  2. Undang-undang/Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  3. Peraturan Pemerintah;
  4. Peraturan Presiden; dan
  5. Peraturan Daerah:
  • Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubenur;
  • Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
  • Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama.
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 sebenarnya telah menjadi upaya penyempuranaan dalam rangka penataan kembali sumber tertib hukum dan bentuk-bentuk serta tata urut peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. Namun berselang 7 tahun, pada tahun 2011 dikeluarkan lagi tata urut peraturan perundang-undangan yang baru dengan dimasukkannya lagi Ketetapan MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Selain itu Undang-Undang ini juga mengakui jenis peraturan perundang-undangan selain yang disebutkan diatas, mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.