Syarat materiil gugatan

SUDUT HUKUM | Bentuk dan isi gugatan secara garis besarnya terdiri dari tiga komponen, yaitu:

  • Identitas pihak-pihak
  • Fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara kedua belah pihak, biasanya disebut bagian “posita” (jamak) atau “positum” (tunggal).
  • Isi tuntutan yang biasa disebut bagian “petita” (jamak) atau”petitum” (tunggal).
Identitas pihak-pihak memuat nama berikut gelar atau alias atau julukan, bin/bintinya, umur, agama, pekerjaan, tempat tinggal terakhir dan statusnya sebagai penggugat 1, penggugat 2, dan seterusnya. Jika ada pemberian kuasa, tentunya sekaligus dicantumkan identitas pemegang kuasa. Alias ataua gelar atau julukan, berikut bin/binti diperlukan agar terhindar kekeliruan orang karena kesalahan nama.

Umur diperlukan karena banyak relevansinya, misalnya pasangan suami isteri yang sudah amat tua minta pengesahan nilah untuk keperluan pension, kerna dahulunya perkawinan mereka belum memakai surat menyurat. Di depan sidang, ia memakai saksi yang baru berumur 20 tahun, tentu saja saksi belum dewasa bahkan mungkin belum lahir ketika keduanya kawin dulu.

Agama dicantumkan sehubungan dengan kekuasaan Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam. Begitu pula tempat tinggal diperlukan sehubungan dengan tempat mengajukan gugatan dan keperluan pemanggilan dan sebagainya.

Tempat tinggal hendaknya dicantumkan sampai minimal nama kabupaten, sebab hakim tingkat banding (kalau banding) dan hakim tingkat kasasi (kalau kasasi) mungkin tidaj begitu jelas, kalau hanya menyebutkan nama kecamatan.

Kalimat yang memisahkan antara identitas pihak penggugat dan pihak tergugat diterangkan kata-kata “berlawanan dengan”, yang diletakkan di baris tersendiri di tengah-tengah.

Selajutnya bagian yang memuat fakta-fakta atauh hubungan hukum yang terjadi (bagian Posita) hendaknya singkat, kronologis, jelas, tepat, dan sepenuhnya terarah untuk mendukung isi tuntutan (bagian petita nantinya). Misalnya isteri menggugat nafkah selama dalam masa iddah dan juga nafkah anak dari tergugat (suaminya). Pada bagian posita tentunya dicantumkan kapan keduanya bercerai, nomor dan tanggal berapa surat cerainya, berapa orang dan siapa saja nama anak-anaknya serta umur masing-masingnya, lalu sejak kapan anak itu tidak diberi nafkah, berapa besar nafkah iddah dan nafkah anak yang patut/mencakupi dan sebagainya yang relevan lainnya.

Kalimat pertama dari bagian posita berbunyi “duduk perkaranya”, yang diletakkan dalam baristersendiri di tengah-tengah. Kalimat terakhir dari bagian posita biasanya didahului dengan kalimat “berdasarkan uaraian di atas, dengan segala kerendahan hati menggugat mohon kepada Pengadilan Agama untuk”. Sesudah kalimat ini, gugatan masuk kebagian petita.

Butir pertama dari setiap petita selalu tentang formal perkara, belum boleh langsung meloncat ke materi perkara. Butir pertama itu berbunyi “mohon agar Pengadilan Agama menerima gugatan penggugat”, maksudnya adalah, karena syarat-syarat formal gugatan sudah cukup, penggugat mohon agar secara formal gugatanya dinyatakan diterimah. Butir terakhir dari bagian petita selalu tentang permintaan agar pihak lawan dibebankan biaya perkara, misalnya “agar pengadilan menghukum tergugat untuk membayar segala biaya perkara”. Atau bisa juga disingkat dengan kalimat “biaya perkara menurut hukum”, maksudnya adalah sesuai dengan hukum, yaitu siapa yang kalah akan dihukum untuk membayar perkara.

Perlu diperhatikan bahwa menurut pasal 89 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989, khusus dalam semua perkara dibidang perkawinan, biaya perkara dibebankan pada penggugat atau pemohon. Butir ditengah-tengah dari bagian petita adalah tuntutan mengenai materi perkara (pokok perkara). Tuntutan disini boleh tunggal dan boleh juga terdiri dari beberapa tuntutan yang digabung (sesuai dan asal didukung oleh posita). Gabungan tuntutan ini disebut “kumulasi obyektif”.

Menurut acara perdata, kumulasi obyektif diperkenankan asal berkaitan langsung yang erat merupakan satu rangkaian kesatuan (biasanya kausalitet). Mereka yang mengerti beracara selalu akan mempergunaan kemungkinan kumulasi obyektif itu untuk waktu, biaya dan sekaligus tuntas semua. Perlu diingat sehubungan dengan petita ini, yaitu pengadilan dilarang mengabulkan tuntutan melampaui apa yang dituntut oleh penggugat, sebaliknya pengadilan dilarang tidak mengadili semua terhadap apa yang dituntutnya, walaupun mungkin ada yang dikabulkan dan ada yang ditolak, atau ada yang dikabulkan sebagian dan ditolak sebagian lainnya.

Surat gugatan umumnya juga mengandung:

  1. Tanggal
  2. Ditujukan kepada pengadilan mana
  3. Tanga tangan penggugat dan kuasa khusus yang ditentukannya.
Sekalipun surat gugatan atau permohonan sudah dibuat tetapi untuk mendaftarkan di Pengadilan Agama tentunya harus dilengkapi dengan syarat-syarat lainnya. Syarat kelengkapan gugatan atau permohonan, ada syarat kelengkapan umum dan ada syarat kelengkapan khusus. Syarat yang pertama adalah syarat kelengkapan umum, yaitu syarat minimal untuk dapat diterimah atau didaftarkannya suatu perkara di pengadilan ialah:

  • Surat gugatan permohonan tertulis, atau dalam hal buta huruf, catatan gugat atau catatan permohonan.
  • Surat keterangan kependudukan/tempat tinggal/domisili bagi penggugat atau pemohon.
  • Vorshcot biaya perkara, kecuali bagi yang miskin dapat membawa surat keterangan miskin dari lurah/kepala desa yang disahkan sekurang-kurangnya oleh camat.
Menurut prinsip hukum acara perdata, apabila tiga hal diatas sudah dipenuhi, pengadilan secara formal tidak boleh menolak untuk menerima pendaftaran perkaranya, sebab syarat-syarat kelengkapan selainya, sudah merupakan syarat untuk pemeriksaan bahkan mungkin untuk syarat pembuktian perkara. Sedangkan syarat yang kedua adalah syarat kelengkapan khusus. Syarat ini tidaklah sama untuk semua kasus perkara, jadi tergantung kepada macam atau sifat dari perkara itu an sich.

Contohnya sebagai berikut:

  • Bagi anggota ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan kepolisian yang mau kawin atau mau bercerai harus melampirkan ijin komandan.
  • Mereka yang mau kawin lebih dari seorang (selain anggota ABRI Kepolisian dan Pegawai Negeri Sipil), harus melampirkan:

  1. Surat persetujuan tertulis dari isterinya yang telah ada.
  2. Surat keterangan tentang penghasilan suami, seperti daftar gajinya atau harta yang dijadikan usahanya dalam mencari nafkah atau penghasilan-penghasilan lainya, untuk bukti bahwa suami tersebut mampu beristeri lebih dari seorang.
  3. Surat pernyataan dari suami bahwa ia sanggup berlaku adil terhadap isteri atau iseri-isterinya dan anak-anaknya.

  • Untuk keperluan tersebut pada poin (b) di atas, atau jika mau bercerai, kalau suami itu Pegawai Negeri Sipil maka syarat tersebut pada poin (b) harus ditambah lagi dengan adanya izin dari pejabat yang berwenang (atasanya).
  • Perkara-perkara perkawinan harus melampirkan kutipan akta nikah, seperti perkara gugat cerai, permohonan untuk menceraikan isteri dengan cerai talak, gugatan nafkah isteri dan sebagainya.
  • Perkara-perkara yang berkenaan dengan akibat perceraian harus melampirkan kutipan akta cerai, seperti perkara gugatan nafkah iddah, gugatan tentang mut’ah (pemberian dari suami kepada bekas isteri yang di ceraikan berhubung kehendak bercerai datangnya dari suami) dan lain sebagainya.
  • Mereka yang hendak bercerai harus melampirkan surat keterangan untuk bercerai dari kelurahan/kepala desa masing-masing yang disebut model “tra”.
  • Gugatan waris harus di sertakan surat keterangan kematian pewaris dan lain sebagainya.
Syarat kelengkapan khusus di atas mungkin saja gabungan (kombinasi) misalnya seorang Pegawai Negeri Sipil mau bercerai, maka ia harus memenuhi syarat yang tersebut di butir 3, 4, dan 6. Bagi anggota ABRI dan Kepolisian yang mau bercerai, ia harus memenuhi syarat di butir 1, 4, dan 6.

Khusus bagi Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permohonan ke pengadilan untuk bercerai atau untuk kawin lebih dari seorang, yang menurut PP Nomor 10 tahun 1983, harus melampirkan izin dari pejabat yang berwenang (atasanya). Oleh Mahkama Agung dengan surat edaranya Nomor 5 tahun 1984 tanggal 17 april 1984, diberikan petunjuk bahwa kepada pemohon diberikan kesempatan untuk menyampaikan izin pejabat yang berwenang tersebut dalam waktu 6 bulan sejak perkara terdaftar di pengadilan. Jika waktu itu lewat, maka pengadilan dapat memeriksa perkara tersebut, terlepas daripada ada atau tidaknya izin dimaksudkan. Jadi jelas sekali bahwa izin pejabat yang berwenang di sini bukanlah syarat kelengkapan umum untuk boleh atau tidaknya perkara didaftarkan di pengadilan, melainkan suda termasuk syarat kelengkapan matrial atau syarat kelengkapan khusus.

Dari syarat kelengkapan khusus tersebut keseluruhanya, jelas sekali kelihatanya bahwa apa yang tersebut di butir 1 sampai 7, sebenrnya tidak lain sudah merupakan syarat untuk pemeriksaan atau pembuktian perkara, sama sekali bukan syarat untuk boleh atau tidaknya perkara diterima pendaftaranya di pengadilan. Sebagaimana kita ingat bahwa menurut Asas Acara Perdata, bahan bukti dalam perkara perdata adalah tugas dan kewajiban pihak itu sendiri untuk mencari dan mengahdirkannya. Pengadilan hanya membantu memanggil saksi misalnya. Pengadilan hanya memeriksa apakah terbukti atau tidak, kalau terbukti akan dikabulkan, kalau tidak terbukti akan ditolak. Walau bagaimanapun, jika syarat kelengkapan umum sudah sekaligus dilengkapi dengan syarat kelengkapan khusus pada waktu mendaftarkan perkara, tentulah lebih baik dan itulah yang ideal.