Latar Belakang Timbulnya Golput

SUDUT HUKUM | Golput (non-voting behaviour) dalam konteks politik Indonesia memiliki rentang sejarah yang panjang. Sebagaimna disebutkan di atas, pemerintahan Orde Baru ingin merombak sistem kepartaian di Indonesia, dengan mendasarkan pada konsep Ali Murtopo. Inti dari konsep tersebut adalah gagasan ”massa mengambang”. Konsep bahwa rakyat akan menyibukkan dirinya dalam usaha-usaha pembangunan mengingatkan sesorang pada gagasan “perkakas yang bersuara” yang biasa terdapat dalam
masyarakat perbudakan. Rakyat pedesaan, yang merupakan mayoritas penduduk pada tahun 1965-75, benar-benar diarahkan hanya untuk bekerja, berproduksi dan tak memiliki kesempatan berperan dalam ranah politik.
Pada giliranya konsep tersebut membawa petaka besar bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Upaya perampingan konstestan pemilu lewat sistim try kepartaian ini nyatanya mengubah dari partisipasi politik aktif ke partisipasi politik pasif. Akibatnya menguatnya posisi negara dan rakyat terus tersubordinasi. Kenyatan ini bentuk dari intervensi negara dan hilangnya kebebasan rakyat ditengah penegakan demokrasi.

Latar Belakang Timbulnya Golput


Jika pada awalnya golput hanya sebagai gerokan moral atas suatu keprihatinan, maka gerakan golput pada pemilu-pemilu berikutnya lebih dari sikap kekecewaan. Karena segala kekuatan partai dan lembaga negara dijadikan tameng kekuasaan semata. Para elit politik hanya menjadi corong penguasa. Pada era ini golput menjadi bentuk kekecewaan dan perlawanan, karena rakyat tidak cukup berani melawan dalam bentuk revolusi berhadapan dengan kekuatan militer. sebagaimana dikatakan Closky bahwa:

Ada yang tidak ikut pemilihan karena sikap acuh tak acuh dan tidak tertarik oleh, atau kurang paham mengenai, masalah politik. Ada juga karena tidak yakin bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah akan berhasil dan ada juga yang sengaja tidak memanfaatkan kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam lingkungan dimana ketidak ikut sertaan merupakan hal yang terpuji”.

Pada Pemilu 2004, angkat golput begitu tinggi dan angka ini juga menjalar kepemilihan kepala daerah. Golput selain dipicu oleh kekecewaan terhadap elit-elit partainya serta pada pemerintah juga sebagai bentuk perlawanan. Di samping itu, golput terjadi sebagai akibat dari polarisasi kepemimpinan politik dalam masyarakat atas dasar simbiosis antara patron dan klient-nya manakala sang patron tidak terakomodasi dalam struktur politik tertentu.
Menurut Varma tejadinya golput dinegara berkembang seperti Indonesia lebih disebabkan oleh rasa kecewa dan apatisme:

Di negara berkembang lebih disebabkan oleh kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan hasil pemilu yang kurang amanah dan memandang nilai-nilai demokrasi belum mampu mensejahterakan masyarakat. Kondisi ini jelas akan mempengaruhi proses demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara, karena terjadi paradoks demokrasi atau terjadi kontraproduktif dalam proses demokratisasi”.

Secara empirik peningkatan angka Golput tersebut terjadi antara lain oleh realitas sebagai berikut:
  • pemilu dan Pilkada langsung belum mampu menghasilkan perubahan berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
  • menurunnya kinerja partai politik yang tidak memiliki platform politik yang realistis dan kader politik yang berkualitas serta komitmen poliik yang berpihak kepada kepentingan publik, melainkan lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau golongannya.
  • merosotnya integritas moral aktor-aktor politik (elit politik) yang berperilaku koruptif dan lebih mengejar kekuasaan/kedudukan daripada memperjuangkan aspirasi publik.
  • tidak terealisasinya janji-janji yang dikampanyekan elit politik kepada publik yang mendukungnnya.
  • kejenuhan pemilih karena sering adanya Pemilu/Pilkada yang dipandang sebagai kegiatan seremonial berdemokrasi yang lebih menguntungkan bagi para elit politik.
  • kurang netralnya penyelenggara Pemilu/Pilkada yang masih berpotensi melakukan keberpihakan kepada kontestan tertentu, di samping juga kurangnya intensitas sosialisasi Pemilu secara terprogram dan meluas.

Karena itu golput mengindikasikan adanya beberapa hal berikut ini:
  1. perlawanan terhadap rejim
  2. ketidakpercayaan terhadap sistem dan calon yang ada
  3. kekecewaan yang besar terhadap pemerintah dan system, serta
  4. putusnya harapan rakyat akan lahirnya sistem dan kepemimpinan yang mampu mengayomi mereka. Dan terkadang, hanya dengan cara demikian kemapanan demokrasi yang mengandalkan berfungsinya check and ballances itu dapat tercipta, kendati tidak selalu demikian adanya.

Selain alasan di atas, nyatanya perilaku golput juga bagian dari refleksi hal-hal sebagai berikut :
  • apatisme politik, yaitu sikap tidak berminat atau tidak menaruh perhatian terhadap orang, situasi, atau gejala-gejala umum yang berkait dengan persoalan politik dan kelembagaannya.
  • sinisme politik merupakan sikap yang dimiliki sebagai penghayatan atas tindakan dan motif orang atau lembaga lain dengan perasaan curiga. Orang-orang sinis selalu menganggap politik itu kotor, bahwa semua politisi tak dapat dipercaya, bahwa rakyat selalu menjadi korban manipulasi partai dan penguasa, dan bahwa setiap rejim selalu dipimpin orang tak amanah.
  • alienasi merupakan perasaan keterasingan dari kehidupan politik dan pemerintahan, sehingga selalu memandang segenap peraturan yang ada sebagai tidak adil dan menguntungkan penguasa, dan keempat, anomi yaitu perasaan kehilangan nilai dan orientasi hidup, sehingga tak bermotivasi untuk mengambil tindakan yang berarti karena hilangnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga politik yang ada.

Berdasarkan kerangka demikian, menurut Hendardi golput juga merupakan pilihan rasional bila dilihat dari kacamata berikut ini:
  1. pilihan golput harus dilihat sebagai upaya membuka ruang kebebasan pemilu yang lain. Memilih atau mencoblos suatu partai atau calon presiden bukanlah satu-satunya pilihan. Warga negara membuka suatu ruang lain dalam mengekspresikan pilihannya untuk tidak memilih partai atau calon presiden apa pun karena pertimbangan-pertimbangan rasional dan teologis.
  2. munculnya golput di Indonesia pada awal dasawarsa 1970-an adalah ekspresi sikap kritis. Ketiga, menyimak perilaku politisi baik di pusat dan daerah, telah banyak mengecewakan warga negara yang telah memilihnya.